tirto.id - Di antara kesempurnaan ajaran Islam adalah aturannya yang lengkap, di mana Islam mengatur segala perkara kehidupan manusia, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Mulai dari pertama kali lahir ke dunia hingga menghembuskan napas terakhirnya. Bahkan, Islam juga mengatur harta yang ditinggalkan si mayat usai dijemput ajalnya.
Pengertian Kewarisan / Mawaris
Ketentuan mengenai harta yang ditinggalkan ini dikenal dengan sebutan kewarisan atau mawaris.
Secara istilah, kewarisan adalah pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Dasar hukum kewarisan dalam Islam ini tercantum dalam Alquran surah An-Nisa ayat 7:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian [pula] dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan,” (An-Nisa [4]: 7).
Di Indonesia, hukum kewarisan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 yang mengatur tentang pengertian pewaris, harta warisan, dan ahli waris.
Aturan mengenai kewarisan juga bersumber pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Karena pentingnya urusan kewarisan ini, terdapat beberapa aturan dasar yang harus diketahui, mencakup syarat-syarat, rukun kewarisan, serta manfaatnya dalam Islam.
Syarat-syarat Kewarisan
Dilansir dari NU Online, terdapat empat syarat dan tiga rukun dalam ketentuan kewarisan dalam Islam sebagai berikut:
1. Yang mewariskan harta sudah meninggal
Kendati orang yang akan mewariskan hartanya sudah koma atau sakit keras berkepanjangan, namun jika belum benar-benar meninggal, maka hartanya tidak boleh diwariskan.
Status meninggal ini juga bisa dinyatakan oleh hakim. Sebagai misal, jika seseorang telah lama hilang dan tidak ada kabarnya, kemudian atas pengajuan pihak keluarga ke pengadilan, lalu hakim memutuskan bahwa orang tersebut meninggal dunia, maka setelah itu harta warisan boleh dibagikan.
2. Ahli waris masih hidup
Jika yang mewariskan harta sudah meninggal dunia, maka yang berhak menerima warisan syaratnya harus dalam keadaan hidup. Setelah itu, barulah harta warisan bisa diatur pembagiannya.
3. Terdapat hubungan antara ahli waris dan pewaris harta
Kewarisan dinyatakan sah jika terdapat hubungan antara si mayat dan ahli waris. Hubungan itu dapat berupa hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak (wala').
4. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
Rukun-Rukun Kewarisan
Selain syarat-syarat kewarisan, terdapat tiga rukun yang harus terpenuhi agar harta warisan dapat dibagi yaitu:
1. Terdapat orang yang mewariskan (Al-Muwarist)
Orang yang mewariskan adalah si mayat yang memiliki harta warisan.
2. Terdapat orang yang berhak mewarisinya (Al-Warist)
Orang yang berhak menerima warisan adalah orang yang memiliki hubungan dengan si mayat, baik itu hubungan kekerabatan, perkawinan, dan lain sebagainya.
3. Terdapat harta warisan (Al-Maurust)
Rukun ketiga dari kewarisan adalah adanya harta yang diwariskan setelah kematian si mayat.
Manfaat Kewarisan dalam Islam
Dalam uraian "Meraih Berkah dengan Mawaris" yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dijelaskan sejumlah manfaat kewarisan dalam Islam.
Intinya, ketentuan mengenai waris-mewarisi harta ini bertujuan untuk menciptakan jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris.
Aturan kewarisan yang sudah diatur dengan tegas dan rinci dapat menumbuhkan ketentraman dan suasana kekeluargaan yang harmonis.
Ketentuan kewarisan juga mencegah konflik dan pertikaian keluarga. Jika aturan tersebut diterapkan dengan bijaksana, maka akan terhindar pertikaian antara angota keluarga satu dengan yang lainnya.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno