Menuju konten utama
Mozaik

Kamp Klapa Noenggal, Proyek Pertanian yang Gagal di Masa Jepang

Proyek Klapa Noenggal mula-mula adalah janji pelatihan pertanian, pekerjaan, dan gaji yang layak. Namun segera berubah menjadi kamp kerja paksa yang brutal.

Kamp Klapa Noenggal, Proyek Pertanian yang Gagal di Masa Jepang
HEADER Mozaik Kamp Klapa Noengga. tirto.id/Tino

tirto.id - Sebelum Batavia diguncang Glodok Affair pada Januari 1945, telah berlangsung sebuah eksperimen sosial yang lebih senyap namun tak kalah mencurigakan: pembentukan koloni pertanian Klapa Noenggal.

Pada Desember 1944, sekitar 80 anak laki-laki Indo-Eropa berusia 16-23 tahun dikirim ke sebuah perkebunan karet di tenggara Batavia. Mereka menjalankan praktik pertanian seperti memelihara kebun sayur dan menggembala ternak selama enam bulan ke depan. Di atas kertas, proyek ini tampak idealis.

Para pemuda yang dikirim dijanjikan mendapatkan lahan garapan setelah proyek selesai, lalu mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak. Para peserta pada awalnya bersifat sukarela yang dikoordinasi oleh Piet Hein van den Eeckhout, seorang Indo-Eropa yang dibebaskan dari Kamp Interniran Tjimahi pada pertengahan 1944 karena menyuarakan sentimen pro-Jepang.

Namun, pelatihan pertanian yang dijanjikan segera berubah menjadi kerja paksa yang brutal.

Kelahiran Proyek Klapa Noenggal

Di masa pendudukan Jepang, orang-orang Indo-Eropa berada dalam posisi yang tak pasti. Mereka tidak sepenuhnya diterima oleh otoritas kolonial Belanda, dicurigai oleh Jepang sebagai “orang Barat”, dan tidak dianggap bagian dari gerakan nasionalis Indonesia.

Mereka ditempatkan di kamp-kamp penampungan khusus, seperti Kamp Tjideng di Batavia, Kamp Kesilir di Banyuwangi, serta kamp lainnya seperti Tjimahi, Kedungbadak, dan Tjihapit.

Sebaliknya, sebagian warga pribumi naik kelas, terutama mereka yang memiliki keahlian khusus. Mereka dipekerjakan di lembaga pemerintahan, hal yang sulit didapat saat pendudukan Belanda. Langkah tersebut menunjukkan usaha Jepang untuk menarik simpati pribumi.

Pada Agustus 1943, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Kantor Oeroesan Peranakan (KOP) di Batavia, sebuah institusi yang dirancang untuk mengintegrasikan orang-orang Indo-Eropa ke dalam struktur masyarakat yang dikuasai Jepang.

Van den Eeckhout diberi misi khusus untuk mencari pemuda Indo-Eropa yang bersedia mendukung Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tugas tersebut terbukti lebih sulit dari yang diperkirakan. Melalui apa yang mereka sebut sebagai “polling loyalitas” di antara pemuda Indo-Eropa berusia 16-23 tahun, Van den Eeckhout dan kelompoknya menghadapi perlawanan yang signifikan.

Sebelum menjadi lokasi eksperimen sosial Jepang, Klapa Noenggal adalah bagian dari lanskap agrikultur kolonial Hindia Belanda yang khas: wilayah perkebunan karet dan kelapa yang dikelola oleh perusahaan swasta Eropa dan pemilik tanah Indo-Eropa.

Berdasarkan arsip peta topografi tahun 1900 yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, Klapa Noenggal tercatat sebagai wilayah perkebunan aktif yang terhubung dengan jalur distribusi menuju Batavia dan wilayah pedalaman Jawa Barat.

Merujuk data Nationaal Archief, wilayah tersebut ditandai dengan berdirinya landhuis (rumah perkebunan) Klapa Noenggal milik perusahaan keluarga bernama Maatschappij tot Exploitatie van Rijstlanden op Java Michiel-Arnold N.V.

Lebih lanjut, di atas lahan seluas 6.600 hektare itu, gua-gua dieksploitasi. Warisannya yang paling terkenal adalah budidaya burung walet yang pernah dijalankan Mayor Jantje.

“Sarang burung ini merupakan makanan lezat bagi orang Tionghoa,” lanjut laporan arsip tersebut.

Jurnal Sejarah Citra Lekha juga mencatat dalam arsip Hindia Belanda dan catatan Indo-Europeesch Verbond (IEV), wilayah seperti Klapa Noenggal sering digunakan sebagai tempat pelatihan kerja agrikultur bagi pemuda Indo-Eropa yang tidak memiliki akses ke pendidikan formal atau pekerjaan administratif.

Mereka diajarkan keterampilan dasar pertanian, pengelolaan tanah, dan produksi komoditas seperti karet, kopi, dan kelapa. Tetapi pelatihan ini bersifat terbatas dan sering kali dimaksudkan untuk mempertahankan struktur sosial kolonial yang menempatkan Indo sebagai “kelas menengah” antara pribumi dan Eropa totok.

Seiring waktu, untuk melengkapi perekrutan, didatangkan sejumlah anak laki-laki dari rumah sakit jiwa dan mereka yang sebelumnya telah mengisi survei dengan jawaban anti-Jepang.

“Saya ditanya di KOP apakah saya pro atau anti-Jepang. Ketika saya mengatakan ‘anti’ saya diberi waktu istirahat seminggu, jika tidak saya akan pergi ke salah satu kamp di mana mereka membuat anak-anak kelaparan. Kemudian saya dijemput dari rumah dan dikirim ke Klapa Noenggal,” ujar seorang saksi dalam arsip Forces Intelligence Service (NEFIS) yang dikutip Java Post.

Kondisi Brutal di Klapa Noenggal

Klapa Noenggal harus dipahami dalam konteks yang lebih luas saat Jepang berkuasa pada Maret 1942. Program romusa Jepang memobilisasi jutaan orang di seluruh wilayah yang mereka kuasai. Di Jawa saja, diperkirakan antara 4-10 juta orang Indonesia direkrut sebagai pekerja paksa, dengan tingkat kematian yang sangat tinggi.

Proyek-proyek serupa dengan Klapa Noenggal tersebar di seluruh Asia Tenggara, sering kali menyamar sebagai program pembangunan ekonomi tetapi sebenarnya berfungsi sebagai pusat hukuman untuk orang-orang yang diangap pembangkang, atau sebagai sumber tenaga kerja gratis untuk proyek-proyek perang Jepang.

Pembangunan jalur kereta api Saketi-Bayah di Banten selatan yang terkenal, yang hampir 100.000 pekerja paksanya meninggal, adalah contoh paling ekstrem dari sistem ini.

Kehidupan di kamp Klapa Noenggal jauh dari yang digembar-gemborkan. Para peserta dipaksa bekerja dalam jadwal yang brutal: dari jam 7 pagi hingga 1 siang, kemudian dilanjutkan lagi dari jam 2 hingga 6 sore untuk memproduksi arang.

Pekerjaan pembuatan arang untuk gasogen (generator gas kayu) yang digunakan untuk bahan bakar kendaraan militer ini menjadi kebutuhan mendesak Jepang di tengah blokade Sekutu.

Tidak ada alat berat, tidak ada pelatihan agrikultur, hanya kerja fisik yang melelahkan dan berulang. Mereka mengenakan pakaian lusuh, tanpa alas kaki, dan tidur di barak-barak kayu yang lembap dan penuh serangga.

Makanan yang diberikan hanya 150cc sup nasi dan sayuran per hari, cukup untuk bertahan hidup, tapi tidak cukup untuk bekerja. Tubuh mereka kurus, kulit terbakar matahari, dan luka-luka akibat kerja keras tidak pernah diobati. Tidak ada perawatan medis, tidak ada istirahat yang layak.

Pada awalnya, pengelola kamp mengizinkan anggota keluarga untuk menjenguk para peserta dengan layanan terbaik. Sayangnya kebijakan itu hanya sementara.

Ilustrasi Romusha

Ilustrasi - Kerja paksa pada zaman penjajahan jepang. (FOTO/Het Nationaal Archief)

Yang paling menyakitkan bukan hanya fisik, tapi mental. Komandan kamp Klaarwater, seorang Indo-Eropa bernama J.B Keller, dikenal karena kekejamannya. Ia memukul anak-anak dengan tongkat, memaksa mereka berdiri berjam-jam sebagai hukuman, dan mempermalukan mereka di depan umum. Komandan Jepang Maehara bahkan lebih brutal: ia memperlakukan anak-anak itu seperti tahanan perang, bukan peserta pelatihan.

Kegagalan Total dan Pelarian Massal

Proyek Klapa Noenggal mengalami kegagalan besar. Suasana kamp dipenuhi ketakutan, keputusasaan, dan rasa terasing. Tidak ada pendidikan, tidak ada harapan, hanya kerja dan hukuman.

Beberapa anak mencoba melarikan diri ke Batavia, berjalan kaki puluhan kilometer tanpa bekal. Sebagian berhasil melarikan diri dari kamp, meninggalkan proyek tersebut dalam keadaan compang-camping. Sebagian lagi tertangkap dan dikirim ke kamp lain yang lebih keras.

Pada akhir perang, hanya sekitar selusin peserta yang masih tersisa di Klapa Noenggal yang menunjukkan tingkat kegagalan proyek, baik dari segi pelatihan pertanian maupun tujuan politik untuk menciptakan kelompok Indo-Eropa yang loyal kepada Jepang.

Pada Januari 1945, beberapa bulan setelah kegagalan Klapa Noenggal, otoritas Jepang melakukan penangkapan massal. Target utamanya adalah para pemuda yang telah menentang deklarasi loyalitas paksa Van den Eeckhout pada bulan September 1944, ditambah dengan sekitar 120 pemuda lainnya dari Batavia. Mereka semua dikirim ke Penjara Glodok yang terkenal kejam hingga akhirnya terjadi Glodok Affair yang memakan korban jiwa.

Meskipun Klapa Noenggal gagal total, Van den Eeckhout tidak menyerah. Sekitar April-Mei 1945, ia mendirikan kamp lain di pinggiran Batavia: Kamp Halimoen.

Halimoen adalah evolusi dari Klapa Noenggal, sebuah upaya untuk memperbaiki kesalahan sebelumnya dengan menerapkan kontrol yang lebih ketat. Di satu sisi, ia mempertahankan elemen kerja paksa, dengan para pemuda dipaksa bekerja di ladang dan kandang. Di sisi lain, ia meningkatkan komponen ideologis secara signifikan.

Sore hari didedikasikan untuk indoktrinasi politik yang terstruktur, latihan militer dengan tongkat, dan propaganda pro-Jepang. Halimoen adalah model yang lebih terkontrol dan militeristik, yang dirancang untuk menanamkan semangat dan kepatuhan yang gagal ditanamkan di Klapa Noenggal.

Secara signifikan, para tahanan yang selamat dari Glodok Affair pada akhirnya dipindahkan ke Halimoen, tetapi ini terjadi hanya setelah kapitulasi Jepang pada Agustus 1945.

Nasib Para Kolaborator Jepang Setelah Perang

Upaya Belanda menuntut kejahatan perang para kolaborator Jepang setelah tahun 1945 adalah proses yang sangat kompleks, kacau, dan pada akhirnya tidak lengkap. Aparat hukum Belanda yang dipimpin oleh Procureur-Generaal di Batavia, harus beroperasi dalam yurisdiksi yang menyusut dan di tengah-tengah perang dekolonisasi yang sengit melawan Republik Indonesia.

Banyak kolaborator Jepang seperti Piet Hein van den Eeckhout berhasil melarikan diri ke daerah yang dikuasai Republik Indonesia selama revolusi (1945-1949). Ia kemudian menikah dengan perempuan asal Manado dan mengganti namanya dengan Amir Daeng Mataram.

Beberapa tahun kemudian, Van den Eeckhout sempat kembali ke Belanda, namun paspornya ditolak karena latar belakangnya. Setelah itu jejaknya tak pernah tercium lagi selain pada 1990-an, ia diperkirakan meninggal di Sukabumi.

Surat kabar Dagblad edisi14 Februari 1947 memberiakan bahwa kepala koloni pertanian Klapa Noenggal, J.B Keller, dijatuhi hukuman penjara 7 tahun lewat keputusan pengadilan militer. Hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 10 tahun penjara. Sementara yang lain berhasil menghilang dalam kekacauan revolusi.

Kamp Klapa Noenggal, meskipun merupakan episode yang relatif kecil dalam sejarah Perang Dunia II, menjadi cerminan awal bagaimana Jepang memanipulasi harapan komunitas Indo-Eropa: menjanjikan masa depan sambil menyiapkan sistem kontrol. Dan ketika Glodok Affair meledak sebulan kemudian, wajah represi itu tak lagi bisa disembunyikan.

Baca juga artikel terkait MASA PENDUDUKAN JEPANG atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi