tirto.id - Pemerintah Indonesia menetapkan Kabupaten Lebak di Provinsi Banten sebagai warisan geologi. Kawasan ini mempunyai 32 situs geologi yang tersebar di seluruh kabupaten yang membentuk kerangka besar bernama Geopark Kubah Bayah atau Bayah Dome.
Nama ini sudah dikenal sejak ahli geologi Belanda, Van Bemmelen, menerbitkan buku tentang geologi Indonesia pada 1949. Sejak dulu, kawasan yang berada di bagian selatan Banten ini terkenal kaya akan kandungan bahan tambang.
Menurut Iwan Hermawan dalam jurnal berjudul "Lubang Tambang Batu Bara Bayah: Jejak Romusha di Banten Selatan", penelitian tentang geologi di Banten selatan, khususnya Bayah dan Cikotok, sudah dilakukan sejak tahun 1839-1916 oleh para peneliti Eropa.
Selain batu bara, penelitian-penelitian tersebut menemukan indikasi endapan emas di daerah Bayah, Cimandiri, dan Cikotok.
Kualitas batu bara dari Bayah dikatakan mirip dengan kualitas batu bara yang dihasilkan tambang Ombilin, Sumatra Barat. Bahkan asap yang dihasilkannya lebih sedikit dibanding batu bara dari Ombilin.
Jenis batu bara ini dinilai cocok dipakai untuk bahan bakar kapal laut. Produksi batu bara di Bayah juga dinilai sangat menguntungkan karena letaknya di Pulau Jawa.
Posisi Bayah cukup strategis untuk mempermudah pengangkutan hasil tambang. Kawasan ini terletak di pesisir selatan Jawa, dekat dengan Pelabuhan Ratu, dan relatif dekat dengan jaringan rel Priangan yang melewati Sukabumi.
Hal ini merujuk pada usaha Pemerintah Hindia Belanda yang membangun jaringan kereta api di Sumatra Barat untuk mendukung pertambangan di Ombilin. Rel kereta api sepanjang 210 km itu dibangun untuk menghubungkan Sawahlunto dan Padang.
Namun, potensi batu bara di Bayah ternyata kurang menarik perhatian perusahaan tambang. Mereka menganggap kawasan ini tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Bahkan dinilai membutuhkan biaya operasional lebih mahal dibanding dengan pendapatan yang akan diperoleh.
Derita Para Romusa
Di masa pendudukan Jepang, batu bara Bayah akhirnya dilirik. Mereka melakukan eksploitasi batu bara di kawasan ini agar tidak bergantung pada pasokan batu bara dari Sumatra dan Kalimantan yang rentan diserang oleh Sekutu.
Untuk mendukung transportasi pengangkutan batu bara dari Bayah, Jepang membangun jalur kereta api sepanjang 89 km. Jalur ini mengambil percabangan di Stasiun Saketi yang berada di jalur Rangkasbitung-Saketi-Menes-Labuan. Jalur ini dibuka oleh Belanda pada 1906 dan ditutup oleh perusahaan kereta api negara sekitar tahun 1984.
Dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1 (1997) disebutkan, pembangunan jalur kereta api lintas Saketi-Bayah dilakukan dengan menggunakan rel-rel hasil bongkaran dari jalur peninggalan Belanda yang ada di Pulau Jawa.
Jalur yang mulai dioperasikan pada bulan April 1944 ini antara lain melewati Stasiun Cimanggu, Kaduhauk, Jalupang, Pasung, Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyaungan, Cisiih, Bayah, dan Gunung Madur.
Pembangunan jalur kereta api Bayah-Saketi ditebus oleh penderitaan dan nyawa para romusa. Mereka dipaksa bekerja di bawah tekanan, di lingkungan yang berat, disertai asupan makanan yang tidak layak.
Menurut Harry A. Poeze, sang juru kunci Tan Malaka, jumlah korban dalam pembangunan jalur ini tidak dapat ditentukan lagi, dan besarnya penderitaan pasti tidak terbatas. Sejarawan Belanda ini menjuluki jalur antara Saketi dan Bayah sebagai “Jalan Menuju Neraka”.
Mengutip dari buku Poeze, J. Kevin Baird menyebut jumlah korban romusa dalam pembangunan proyek tersebut mencapai 90.000 jiwa. Secara kebetulan, angka ini mendekati arti kata dari kota Saketi. Dalam bahasa Sunda, saketi berarti 100.000.
Jalur Saketi-Bayah dikuasai Jepang untuk melayani kepentingan perang mereka. Meski demikian, jalur ini tetap beroperasi ketika mereka sudah hengkang dan Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 1945.
Hanya Wacana
Menurut Pusat Data, Informasi, dan Kepustakaan Kereta Anak Bangsa (PDF) tahun 2016, perjalananan kereta api antara Rangkasbitung dan Bayah menghabiskan waktu setengah hari di tengah kondisi perkerataapian yang kurang layak saat itu.
Warsa 1951, jalur Saketi-Bayah ditutup oleh pemerintah. Pemasukan yang tidak sebanding dengan biaya operasional menjadi alasan penutupan. Kereta api tidak dapat bersaing dengan angkutan jalan raya yang kian lama kian bertambah.
Kiwari, wacana untuk menghidupkan kembali jalur yang memiliki sejarah kelam tersebut mulai muncul. Jalur ini dinilai mempunyai potensi untuk mendorong pembangunan fisik dan ekonomi kawasan Banten selatan yang tertinggal jauh dari Banten utara.
Jalur ini juga diharapkan bisa mendorong wisata di kawasan Banten selatan karena menyajikan pemandangan alam yang cantik, termasuk pemandangan Samudra Hindia. Selepas Sukahujan, jalur kereta api dibangun menyusuri pantai sampai Bayah dan Gunung Madur.
Keberadaan Geopark Kubah Bayah atau Bayah Dome dapat menjadi pendorong bagi pemerintah Provinsi Banten untuk menghidupkan kembali jalur Saketi Bayah. Reaktivasi jalur ini sejalan dengan konsep pengembangan kawasan Banten selatan, terutama di sektor wisata.
Sebelumnya, reaktivasi jalur Rangkasbitung-Saketi-Bayah menjadi salah satu target pemerintah provinsi yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Banten No. 12 Tahun 2015.
Akan tetapi, meski ditargetkan selesai tahun 2030, pembangunan kembali jalur ini masih terus dalam tahap wacana.
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi