tirto.id - Terik matahari Jakarta mengiringi langkah Soekro yang tergopoh-gopoh menjemput Nani Kusumasudjana di sebuah kedai. Nani sedang menikmati makan siang kala pegawai administrasi Eijkman Instituut itu datang. Mata tua Soekro tak kuasa menatap langsung ketika mengabarkan bahwa Nani diminta kembali ke Instituut. Soekro menambahkan, dia ditunggu Kenpeitai—satuan polisi militer Jepang.
Benar saja, seorang kenpei muda menyambutnya dengan ramah dan suara lembut saat Nani kembali ke Instituut. Dia lantas meminta Nani masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi. Hari itu, 14 Oktober 1944, analis termuda di laboratorium penyakit tropis terkemuka itu menyusul para sejawatnya yang lebih dulu ditahan di markas besar Kenpeitai dekat Koningsplein.
Sepekan sebelumnya, 7 Oktober 1944, Soekro juga diutus menjemput Ali Hanafiah, pengajar farmasi di perguruan tinggi kedokteran Ika Dai Gaku. Ali Hanafiah bukan satu-satunya yang dibawa ke penjara Kenpeitai hari itu. Setidaknya terdapat 19 orang lain dari Eijkman Instituut, Ika Dai Gaku, dan Djawatan Kesehatan Jakarta yang juga ditahan Kenpeitai. Direktur Instituut Prof. Dr. Achmad Mochtar juga termasuk di antara para tahanan itu.
Para ilmuwan itu terpaksa menjalani hari-hari penuh interogasi dan penyiksaan setelah penangkapan. Jerit memilukan kerap terdengar hingga ke gedung Museum Nasional yang berada di sebelah markas Kenpeitai. Para ilmuwan ini dituduh terlibat dalam kasus sabotase vaksin yang menewaskan ratusan romusha di Klender, Bekasi.
Dokter Achmad Mochtar dituntut bertanggung jawab atas kejadian itu, meski tak ada bukti langsung atas tuduhan itu. Di bawah ancaman dan siksaan, Mochtar menandatangani draf pengakuan yang disiapkan Kenpeitai bahwa dirinya memasukkan toksin tetanus ke dalam vaksin untuk para rōmusha di Klender.
Pada 13 Juli 1945, Dokter Mochtar akhirnya dieksekusi di daerah Ancol. Selain itu, Dokter Marah Arief dan Dokter Soeleiman dari Djawatan Kesehatan Jakarta juga jadi korban tewas akibat siksaan Kenpetai.
Nasib Nani lebih mujur. Dia dibebaskan setelah beberapa tempo dikurung di penjara Kenpeitai. Meski begitu, dia dibekap trauma dan tak pernah lagi menginjakkan kaki di Lembaga Eijkman hingga 2014.
Benarkah Dokter Mochtar atau Eijkman Instituut terlibat dalam produksi vaksin gagal itu?
Jepang Butuh Vaksin
Selain bedil dan peluru, bakteri Clostridium tetani adalah penyebab utama kematian prajurit di medan tempur. Statistik kematian prajurit selama Perang Sipil Amerika pada 1860-an bisa diajukan sebagai contoh. Setiap 100.000 prajurit terluka, sekira 205 di antaranya tewas gara-gara tetanus. Saat itu, antitoksin tetanus belum tersedia.
Jumlah kematian akibat tetanus tercatat menurun pada Perang Dunia I, saat serum antitoksin tetanus telah tersedia. Statistiknya kini menjadi 16 kematian per 100.000 prajurit terluka. Pada saat Perang Dunia II pecah, vaksin tetanus telah berhasil dibuat dan seluruh prajurit Amerika Serikat divaksinasi sebelum berangkat perang. Berkat vaksin, derajat kematian akibat tetanus bisa ditekan hingga 0.44 persen per 100.000 prajurit terluka.
Karenanya, vaksin tetanus menjadi vital dalam kondisi perang. Sayangnya, tentara Jepang tak punya vaksin itu saat Perang Asia Timur Raya berkecamuk. Pun demikian, mereka tidak punya cukup waktu untuk mengembangkan vaksin yang memadai.
Tentara Jepang cukup beruntung di Hindia Belanda ada Pasteur Instituut di Bandung yang merupakan produsen dan pemasok serbaneka jenis vaksin untuk kawasan Asia. Sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda, Pasteur Instituut sedang dalam fase awal pengembangan vaksin tetanus. Proyek itu tak sempat diselesaikan karena Jepang keburu menduduki Hindia Belanda.
Jepang lalu mengubah Pasteur Instituut menjadi Bo’eki Kenkyujo. Tak hanya ganti nama, Jepang juga mengganti semua peneliti Eropa lembaga itu dengan peneliti Jepang. Mereka lalu memanfaatkan catatan pengembangan vaksin lembaga ini untuk melakukan eksperimen vaksin sendiri. Langkah ini dianggap dapat menghemat waktu dan sumber daya mengingat saat itu Jepang kurang menguasai teknologi pembuatan vaksin.
Seturut penelusuran Sangkot Marzuki dan Kevin Baird inilah mula dari tragedi yang menimpa para romusha Klender dan kemudian membuat Dokter Mochtar dieksekusi. Kedua saintis ini menjabarkan hasil investigasi teknis mereka dalam War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine (2015). Pada September tahun ini, Komunitas Bambu menerbitkan edisi bahasa Indonesianya dengan judul Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945.
Kematian Misterius di Kamp Klender
Setelah melakukan uji coba vaksin pada hewan laboratorium, para peneliti Bo’eki Kenkyujo memulai tahap uji klinis pada manusia. Jepang memerlukan suatu kelompok populasi yang cukup sehat dan terkontrol untuk melakukan uji klinis. Maka dipilihlah para romusha di kamp transit Klender sebagai target uju coba vaksin itu.
Sebelum adanya eksperimen ini, para romusha di kamp Klender memang selalu mendapat vaksinasi berkala. Vaksinnya disediakan oleh Bo’eki Kenkyujo sementara petugas vaksinasinya berasal dari Djawatan Kesehatan Jakarta. Di antara tenaga kesehatan yang biasa dikirim ke Klender untuk tugas ini adalah Dokter Marah Arief dan Dokter Soeleiman.
Sekira akhir Juli atau awal Agustus 1944, dua dokter itu datang ke kamp Klender untuk melakukan vaksinasi rutin. Sebagaimana biasanya pula, mereka menyuntikkan vaksin yang disediakan oleh Bo’eki Kenkyujo.
Sepekan kemudian—pada 6 Agustus 1944, Rumah Sakit Pendidikan Ika Dai Gaku (kini RSCM) menerima laporan dugaan wabah meningitis di kamp Klender. Dokter Tamija, Direktur RS Pendidikan, lantas memerintahkan Dokter Bahder Djohan untuk membentuk tim dan menangani kasus tersebut. Dokter Bahder Djohan pun meminta Eijkman Instituut untuk membantu melakukan diagnosis.
Setelah melakukan pengamatan klinis, tim Dokter Bahder Djohan menyimpulkan bahwa para romusha itu mengalami gejala tetanus, bukan meningitis. Seorang penjaga kamp juga melaporkan bahwa sepekan sebelumnya para rōmusha mendapatkan vaksinasi dari Bo’eki Kenkyujo. Penjaga kamp itu menunjukkan ampul kosong berlabel TCD—yang merupakan vaksin tifus dan kolera—sebagai buktinya.
Sejarawan Aiko Kurasawa menyebut, peristiwa itu juga dilaporkan kepada Rōmu Shorihan—lembaga yang menangani rōmusha. Namun, seakan tak pernah terjadi apa-apa, otoritas Jepang tetap melanjutkan proses imunisasi di kamp Klender pada keesokan harinya, 7 dan 8 Agustus 1944.
Tindakan sembrono itu pun memakan korban lebih banyak. Dokter Bahder Djohan memperkirakan 900 romusha tewas. Sebanyak 90 romusha sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi tak satu pun dari mereka selamat.
Ali Hanafiah dalam Drama Kedokteran Terbesar (1976, hlm. 30) menyebut, Dokter Bahder Djohan lantas meminta Kepala Bagian Patologi Anatomi Ejikman Instituut Soetomo Tjokronegoro mengambil sampel jaringan di sekitar bekas suntikan vaksin pada jenazah korban.
Sampel jaringan itu kemudian dibawa ke Eijkman Instituut dan diteliti oleh Jatman, analis bakteriologi lembaga itu. Pemeriksaan itu dilakukan tanpa sepengetahuan otoritas Jepang. Pasalnya, beberapa hari kemudian dokter sipil dilarang masuk kamp Klender dan pemeriksaan hanya boleh dilakukan oleh otoritas Jepang.
Pada pertengahan Agustus 1944, Dokter Mochtar menyampaikan laporan resmi ke RS Pendidikan tentang temuan toksin tetanus dalam vaksin TCD kiriman Bo’eki Kenkyujo.
Meski Bo’eki Kenkyujo diketahui sebagai produsen vaksin TCD yang tercemar basil tetanus, tudingan justru diarahkan kepada Eijkman Instituut. Otoritas Jepang mengeksploitasi fakta bahwa ampul-ampul vaksin itu sempat disimpan di ruang dingin Eijkman Instituut untuk mencegah kerusakan.
“Cerita keterlibatan Laboratorium Eijkman diciptakan oleh bagian medis Angkatan Darat ke-16 dan Kenpeitai,” tulis Aiko Kurosawa dalam artikelnya yang terbit di majalah Tempo (29/6/2015).
Letnan Nakamura, dokter Angkatan Darat Jepang dari satuan pencegahan wabah, dalam laporan rahasianya menunjuk Dokter Mochtar dan rekannya harus bertanggung jawab atas kasus Klender. Sementara itu, Bo’eki Kenkyujo justru tak diusik sama sekali.
Eksperimen Vaksin Ugal-ugalan
Aktivis pergerakan nasional dan tokoh Masyumi Abu Hanifah mencurigai vaksin kiriman Bo’eki Kenkyujo itu sebenarnya cacat produksi. Dalam autobigrafi Tales of A Revolution (1972, hlm. 126), dia menyebut pernah mendapati beberapa rōmusha yang menderita tetanus di RS Pendidikan pada 1943. Sebelumnya, para romusha yang semestinya diberangkatkan dengan kapal laut ke lokasi kerja di luar pulau atau luar negeri ini telah mendapat suntikan vaksin di Tanjung Priok.
Ampul vaksin dari Tanjung Priok itu akhirnya diperiksa di Eijkman Instituut. Hasilnya, ampul itu rupanya tercemar bakteri tetanus. Kasus kematian ratusan romusha di Klender itu agaknya juga berhubungan dengan eksperimen vaksin ugal-ugalan yang dilakukan otoritas Jepang.
Kedokteran milter Jepang memang terkenal dengan eksperimen-eksperimen pengembangan senjata biokimia dan wabah penyakit. Selama Perang Dunia II, setiap markas Angkatan Darat Jepang memiliki Bō’eki Kyūsuibu alias Unit Pencegahan Epidemi dan Pemurnian Air. Salah satu unit eksperimen militer Jepang yang paling terkenal adalah Unit 731.
Unit 731 diketahui beroperasi di Manchuria, China, dan melakukan berbagai eksperimen sadis kepada tawanan yang masih hidup. Di antara eksperimen yang pernah dilakukan di sana adalah percobaan efektivitas senjata, efek bahan peledak dalam berbagai radius, persebaran wabah, hingga ketahanan tubuh manusia di suhu ekstrem. Unit 731 bahkan pernah meneliti efek yang terjadi bila kedua tangan dipasang bertukar.
Setelah menjadikan Eijkman Instituut sebagai kambing hitam, otoritas Jepang rupanya terus melanjutkan eksperimen vaksinnya. Terlebih, vaksin tetanus tetap menjadi kebutuhan mendesak bagi militer Jepang yang kian babak belur dihajar Sekutu di front Pasifik.
Pada Januari 1945, Angkatan Laut Jepang di Surabaya diketahui sedang mengembangkan vaksin tetanus. Dokter-dokter Angkatan Laut juga meminta serum antitoksin tetanus kepada Angkatan Darat yang berbasis di Bandung. Angkatan Darat menolak permintaan itu yang kemudian jadi alasan Angkatan Laut melakukan eksperimen sendiri.
Pada tahap uji klinis kepada manusia, Angkatan Laut memilih 17 tahanan dari Lombok yang tengah menanti hukuman mati sebagai target. Mereka tentu saja tak punya hak untuk menolak disuntik vaksin eksperimen. Hasilnya, 15 orang di antara tahanan itu tewas. Dua tahanan lain yang tetap hidup rupanya mendapatkan dosis berbeda. Pada akhirnya, mereka tewas juga di tangan algojo Jepang.
Setelah perang usai, eksperimen ugal-ugalan di Surabaya itu disidangkan dalam Pengadilan Perang Australia. Dalam sidang yang digelar pada 1951 di Pulau Manus, Papua Nugini, tiga dokter Jepang didakwa bersalah oleh hakim. Namun, insiden di Klender tak pernah disentuh oleh Pengadilan Perang Sekutu. Begitu pun, sampai kini, tak ada upaya resmi untuk merehabilitasi nama baik Dokter Mochtar yang dikriminalisasi Jepang.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi