tirto.id - Pada pada 5 November 1930, tepat hari ini 89 tahun lalu, peraih Kusala Nobel bidang kedokteran 1929 Christiaan Eijkman meninggal dunia. Nama dokter asal Belanda itu kini mengkali asing bagi kita. Padahal, di Jakarta—tepatnya di sebelah barat Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo (RSCM)—terdapat Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang merupakan peninggalannya.
Tak banyak yang tahu juga bahwa penelitian yang dilakukannya di Hindia Belanda lah yang menjadi dasar Akademi Sains Swedia mengganjarnya Kusala Nobel. Ketika bertugas sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa, Eijkman meneliti musabab penyakit beri-beri yang jadi epidemi di Kepulauan Melayu. Hasil risetnya kemudian juga menuntun pada penemuan vitamin.
Jelas Eijkman bukan sosok sembarangan, tapi kini masihkah orang mengenalnya betul-betul selain sebagai nama sebuah lembaga riset? Mengapa namanya diabadikan jadi nama lembaga riset di sini?
Tokoh kita ini lahir di Kota Nijkerk, Belanda, pada 11 Agustus 1858. Ia lahir di keluarga terpelajar. Bapaknya adalah seorang guru dan kakaknya, Johann Frederik Eijkman, ketika dewasa dikenal sebagai ahli kimia. Setahun kemudian, ketika Pak Eijkman naik jabatan jadi kepala sekolah, ia memboyong keluarganya pindah ke Kota Zaandam.
Di kota inilah Christiaan Eijkman kecil menempuh pendidikan dasar hingga menengah. Setelah lulus sekolah, pada 1875, Christiaan Eijkman diterima menjadi mahasiswa di Sekolah Kedokteran Militer Universitas Amsterdam.
“Di sana ia dilatih sebagai petugas medis Angkatan Darat Hindia Belanda dan melewati semua ujiannya dengan predikat memuaskan,” tulis Komite Kusala Nobel di laman biografi resminya.
Namun, setelah lulus sarjana pada 1879, ia tak langsung bertugas sebagai dokter. Ia menghabiskan lagi dua tahun untuk menyelesaikan tesis tentang polarisasi saraf sambil bekerja sebagai asisten ahli fisiologi Universitas Amsterdam Profesor T. Place. Eijkman baru dapat penugasan ke Hindia Belanda usai lulus doktoral pada 1883.
Dia pertama kali berdinas di Semarang, lalu dipindahkan ke Cilacap, dan terakhir di Padang Sidempuan. Karier Eijkman sebagai dokter tentara macet gara-gara malaria. Ketika di Cilacap ia terjangkit malaria dan semakin parah ketika pindah ke Padang Sidempuan. Pada 1885 ia terpaksa pulang ke Belanda untuk memulihkan diri.
Selama masa pemulihan itu, Eijkman juga ambil pekerjaan di Laboratorium Bakteriologi Robert Koch di Berlin. Jalannya kembali ke Hindia Belanda terbuka kembali saat ahli patologi C.A. Pekelharing dan ahli neurologi C. Winkler mengunjunginya di Berlin. Dua orang itu mendapat misi menginvestigasi merebaknya penyakit beri-beri di Hindia Belanda. Pekelhering lantas mengajaknya serta sebagai asisten riset. Segera saja Eijkman menyanggupinya.
Dari Asisten hingga Direktur Sekolah Dokter Jawa
“Meskipun beri-beri sudah diidentifikasi pada paruh pertama abad ke-17 oleh ahli pengobatan tropis Bontius, Pandeminya yang mematikan baru terlihat di Kepulauan Melayu sejak sekira 1860-an,” tulis Eijkman dalam naskah pidato pengukuhan Kusala Nobelnya.
Di Hindia Belanda pandemi ini berbarengan dengan kampanye pax neerlandica yang berlangsung pada paruh akhir abad ke-19. Beri-beri menyerang serdadu-serdadu Belanda, baik yang Belanda totok maupun pribumi, di beberapa daerah yang dilanda perang berkepanjangan seperti di Aceh.
Satuan-satuan tentara kolonial yang sehat hanya mampu bertahan setidaknya enam minggu sebelum beri-beri menjangkitinya. Jumlah pasien beri-beri di beberapa rumah sakit militer bahkan bisa melebihi jumlah pasien gonore atau cedera patah tulang.
“Seorang dokter tentara waktu itu bahkan menyebut bahwa di rumah sakitnya, pada suatu hari ada 18 prajurit meninggal karena beri-beri,” kata Eijkman. Itulah sebabnya pemerintah Belanda sampai perlu mengirim misi investigasi khusus.
Misi Pekelharing-Winkler yang diikuti Eijkman berfokus pada riset neurologis dan analisis bakteriologi terhadap pasien Rumah Sakit Militer Weltevreden. Pekelharing-Winkler punya hipotesis bahwa penyakit ini menular. Usai setahun bekerja tim ini menemukan adanya micrococcus dalam darah pasien beri-beri. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan bahwa beri-beri adalah polineuritis (peradangan saraf di beberapa bagian tubuh, terutama anggota gerak) yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Investigasi Pekelharing-Winkler berakhir pada 1887. Sebelum pulang kembali ke Belanda, mereka sempat menginisiasi pembentukan laboratorium medis di Batavia. Proposal itu disetujui pemerintah kolonial dan dibangunlah Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie (laboratorium penelitian patologi dan bakteriologi) yang mulanya terletak di kompleks rumah sakit militer Weltevreden—sekarang RSPAD Gotot Subroto.
Pada 1888 Eijkman mendapat kehormatan ditunjuk sebagai kepala laboratorium medis itu dan sekaligus jadi direktur Sekolah Dokter Jawa. Dia pulalah yang kemudian meneruskan riset dan usaha menekan pandemi beri-beri di Hindia Belanda.
“Selama kepemimpinannya, Sekolah Dokter Djawa menjadi sebuah institusi pendidikan bergengsi. Eijkman membangun laboratorium untuk menyelidiki beri-beri dan untuk pengajaran. Dengan kepercayaan bahwa beri-beri adalah penyakit menular, dia membawa peralatan bakteriologis terbaru dari Belanda,” tulis sejarawan Universitas Sydney Hans Pols dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019: 65-66).
Teori Defisiensi Eijkman
“Setelah kepulangan misi Pekelharing-Winkler, saya dipercayakan dengan tugas melanjutkan investigasinya, tetapi pada akhirnya saya gagal. Langkah-langkah disinfeksi yang direkomendasikan tidak memiliki harapan berhasil,” tulis Eijkman dalam pidato Kusala Nobelnya.
Di tengah kegagalan itu terjadi peristiwa di rumah sakit militer yang kemudian menarik perhatiannya. Secara tiba-tiba ayam-ayam peliharaan laboratoriumnya terserang penyakit yang dalam banyak hal sangat mirip dengan gejala polineuritis pada manusia. Eijkman mengamati ayam-ayam itu mula-mula berjalan terpincang-pincang dan kesulitan bertengger. Kian hari kaki ayam-ayam itu melemah, sendi lutut dan pergelangan kaki ayamnya jadi pengkor, bahkan kemudian lumpuh.
Ia lalu membuat eksperimen dengan berdasar hasil investigasi Pekelharing-Winkler. Eijkman menginjeksikan darah ayam yang sakit ke ayam yang sehat untuk memastikan adanya penularan. Tetapi ternyata ayam itu tetap sehat. Ia pun tak menemukan parasit dalam darah ayam yang sakit itu.
Eksperimen ini membuatnya ambil kesimpulan bahwa ada yang salah dari pendapat Pekelharing-Winkler. Beri-beri kemungkinan bukanlah penyakit menular akibat infeksi bakteri. Jadi, ada penyebab lain ayam-ayam itu terserang polineuritis dan kecurigaanya lalu menitik pada makanan ayam-ayam itu.
Eijkman makin yakin pada hipotesisnya manakala secara kebetulan gejala polineuritis itu berangsur menghilang. Usut punya usut, itu terjadi usai beras pakan diganti. Awalnya ayam laboratorium itu diberi pakan beras suplai untuk pasien rumah sakit militer dan kini beras pakan itu adalah dari pasar umum.
“Eksperimen pemberian pakan yang disengaja kemudian dilakukan untuk memeriksa dengan lebih teliti apakah ada hubungan antara diet pakan dan penyakit yang diderita ayam-ayam itu. Ditemukan pasti bahwa polineuritis adalah karena diet beras pakan,” tulis Eijkman.
Berpijak dari itu Eijkman lalu memulai proyek risetnya sendiri dengan metode yang berbeda dari riset sebelumnya. Dari serangkaian eksperimen pemberian pakan berbeda pada ayam-ayamnya, Eijkman menemukan adanya perbedaan antara beras giling bersih dan giling kasar.
Ayam-ayamnya mengalami polineuritis ketika diberi pakan beras giling bersih. Sementara itu, ketika diberi pakan beras giling kasar, yang masih tersisa kulit arinya, ia tak menemukan kasus polineuritis. Fakta ini menuntun Eijkman sampai pada kesimpulan bahwa ada semacam racun dalam beras yang jadi penyebab beri-beri dan zat penawarnya ada pada kulit ari atau sekam padi.
“Menurutnya, ‘zat protektif’ ini—belakangan dikenal sebagai vitamin—tidak hanya terdapat pada sekam padi, tapi juga pada bahan makanan lain, seperti daging. [...] Dia berasumsi racun itu mungkin terbentuk di saluran pencernaan,” catat W.F. Donath dan A.G. van Veen dalam “A Short History of Beri-beri Investigations in the Netherlands Indies” yang dimuat di buku Science and Scientists in the Netherlands Indies (1945: 76).
Sayang sekali eksperimen Eijkman harus terhenti pada 1896. Ia terpaksa harus pulang ke Belanda, lagi-lagi, karena sakit. Tapi Eijkman tidak menghentikan begitu saja risetnya. Pada 1898—saat ia telah diangkat jadi profesor di Universitas Utrecht—ia menerbitkan sebuah artikel berdasarkan risetnya tentang beri-beri di Hindia Belanda.
Eijkman berteori bahwa muasal beri-beri yang sebenarnya adalah defisiensi menu diet. Sejak itu misteri beri-beri terpecahkan dan ia bisa dicegah dengan membiasakan diet gizi seimbang. Hasil riset Eijkman ini juga mendorong riset-riset baru untuk mengidentifikasi “zat penawar” yang terkandung dalam kulit ari beras.
Di kemudian hari, setelah melalui serangkaian penelitian oleh beberapa ilmuwan lain, zat itu diidentifikasi sebagai vitamin.
“Penemuan ini telah mengarah pada konsep vitamin. Prestasi penting ini membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel dalam bidang Fisiologi atau Kedokteran untuk tahun 1929,” tulis Komite Kusala Nobel.
Editor: Ivan Aulia Ahsan