tirto.id - “Kami yakin bisa membuat vaksin [COVID-19],” kata Amin Soebandrio, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, membuka obrolan kepada Tirto. “Kami masih punya waktu [sampai] 12 bulan ke depan.”
Sejak kasus pertama dan kedua COVID-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada awal Maret silam, Lembaga Eijkman langsung mendapatkan tugas khusus sekaligus ambisius dari Istana: memproduksi vaksin di bawah satu konsorsium dari berbagai instansi.
Ini adalah tugas sulit. Dunia berkejaran dengan waktu demi menciptakan vaksin yang dapat membunuh virus yang sudah menjangkiti lebih dari 2,5 juta orang (data global per 22 April). Semua pihak menunggu dan bertanya: apakah misi ini sukses?
Keputusan Indonesia untuk bikin vaksin mandiri, menurut Amin, "kita bisa mendapatkan harga sesuai dan kita tidak hanya bergantung ke negara lain." Profesor lulusan Universitas Indonesia ini berkata bahwa negara tanpa memproduksi vaksin sendiri akan bayar lebih mahal karena pada dasarnya vaksin dibikin negara itu untuk pertama-tama memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang berpartisipasi dalam perlombaan bikin vaksin. Sejauh ini, tercatat, ada Cina, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, hingga Israel yang lebih dulu berusaha memproduksi vaksin COVID-19.
Di Jerman, misalnya, ada perusahaan biofarmasi swasta bernama CureVac yang berdiri di garda depan produksi vaksin. Sementara di India, ada Serum Institute of India yang menggandeng Sanofi Pasteur, perusahaan farmasi dari Perancis.
Di Amerika Serikat, vaksin COVID-19 sedang diupayakan oleh US National Institutes of Health dan Moderna Inc., perusahaan bioteknologi asal Massachusetts. Kandidat vaksin ini diberi nama kode mRNA-1273 (messenger ribonucleic acid) dan sudah dilakukan percobaan kepada sejumlah sukarelawan.
Berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebagaimana dilansir South China Morning Post, ada lebih dari 60 tim dari perusahaan farmasi, bioteknologi, badan pemerintah, lembaga penelitian, sampai universitas, yang terlibat dalam upaya pembuatan vaksin COVID-19.
Meski demikian, yang patut digarisbawahi, proses produksi vaksin membutuhkan waktu tidak sebentar. Anthony Fauci, Kepala Institut Nasional Penyakit Alergi dan Menular AS, mengatakan pembuatan vaksin paling sedikit butuh 12 bulan sebelum nantinya dilepas ke pasar.
Laporan yang dirilis Al Jazeeramenerangkan pengujian vaksin biasanya dimulai kepada hewan. Walaupun begitu, “ada yang melewati tahapan ini dan langsung ke pengujian manusia.”
Dalam pengujian terhadap manusia, ada tiga fase yang mesti ditempuh.
Fase pertama melibatkan sekitar 100 peserta dengan tujuan menilai apakah vaksin itu aman atau tidak. Fase kedua adalah jumlah yang diuji ditambah agar mampu mengevaluasi kemanjuran vaksin, yang berlangsung selama beberapa bulan sampai tahunan. Setelahnya, vaksin bisa diuji dalam skala lebih besar, dalam hal ini ke ribuan orang.
Tantangan Berat
“Doa kami sudah habis,” Herawati Sudoyo, Kepala Laboratorium Eijkman, berkata kepada Tirto.
Lulusan PhD dari Monash University ini menggambarkan kondisi riil Indonesia di masa pandemi SARS-CoV-2 tatkala pejabat pemerintah maupun masyarakat lebih percaya doa ketimbang anjuran berbasis sains dan riset para ahli.
“Keyakinan anti-sains itu sulit dipatahkan sampai akhirnya [penyakit] benar-benar menimpa kita,” imbuhnya.
Sebelum COVID-19 meluas sekarang, menjangkiti lebih dari 3.000-an orang dan membunuh 300-an orang (data per 22 April), doa dipakai sebagai upaya buat menyepelekan virus baru corona. Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, misalnya berkata berdoa merupakan hal yang mesti dilakukan agar terhindar dari corona.
Sementara Terawan mengandalkan doa, para pejabat publik lain bikin candaan serupa, misalnya ada yang bilang "kita kebal corona karena doyan makan nasi kucing"; percaya diri mengundang turis mancanegara dengan rencana memberi insentif ke influencer buat mempromosikan wisata; meyakini Indonesia tak bakal terkena corona.
Tak perlu panik berlebihan, beraktivitaslah seperti biasa, dan makan cukup sekaligus sehat, demikian komunikasi krisis pemerintahan Jokowi pada awal tahun. Ia memperlihatkan pola pikir sembrono dalam menghadapi dan menyusun mitigasi wabah.
Pada saat pemerintah masih menyepelekan virus corona, para peneliti di Eijkman sudah was-was atas perkembangan wabah corona.
Sejak 2012, Eijkman mendirikan unit khusus untuk merespons keberadaan virus berbahaya (emerging viruses). Unit ini, kata Herawati, setidaknya punya dua tupoksi: surveillance (pengawasan) dan menjalin kerja sama antarinstansi sehubungan pencegahan pandemi.
“Pemikiran peneliti adalah kami harus siap [dengan segala kemungkinan], termasuk adanya pandemi,” terangnya. “Untuk itulah unit khusus itu dibentuk.”
Sejauh ini, unit emerging viruses sudah mempersiapkan segala upaya agar mampu mengendalikan keberadaan pandemi. Melatih para peneliti secara intens, berkolaborasi dengan lembaga penelitian baik di dalam maupun luar negeri, sampai menyusun langkah-langkah sistematic surveillance adalah beberapa contohnya.
Modal itulah yang lantas membuat Eijkman berani menawarkan diri kepada pemerintah untuk menjadi salah satu lembaga mendeteksi pandemi COVID-19. Namun, jalan Eijkman ternyata tak mudah.
Pada akhir Maret, Jokowi memerintahkan untuk melakukan rapid test COVID-19. Metode ini, klaim pemerintah, mampu mengetahui kurang dari dua menit apakah individu terpapar corona atau tidak. Sebanyak satu juta unit alat tes (kit) kemudian dipersiapkan.
Akan tetapi, bagi beberapa perhimpunan dokter dan lembaga penelitian seperti Eijkman, rapid test tidak efektif dalam mengecek apakah seseorang terjangkit virus atau tidak, sebab tingkat validitas yang dimilikinya; Ia bisa jadi menyebabkan false positive atau false negative.
Sebagai gantinya, pemerintah dianjurkan memakai metode molekuler atau dikenal dengan polymerase chain reaction (PCR), yang menggunakan sampel cairan dari saluran pernapasan bawah untuk bahan pemeriksaan; Ia beda dengan rapid test yang mengandalkan sampel darah.
“Metode rapid test itu bagus untuk screening maupun contact tracing, tapi tidak untuk mengetahui apakah seseorang positif [COVID-19] atau enggak,” jelas Herawati. “Sementara kalau dengan PCR, kita bisa melihat hal itu sebab yang diperiksa di dalam itu virusnya sendiri. Kami sudah bilang ke mereka berkali-kali, dalam berbagai forum diskusi.”
Pemerintah, bagaimanapun, tetap jalan dengan metode rapid test sampai akhirnya beralih ke PCR setelah mengetahui beberapa hasil memperlihatkan ketidakakuratan.
“Ternyata rapid test ini tidak semuanya efektif. Oleh karenanya, ke depan, kita lebih banyak mendatangkan PCR test,” ucap Ketua Gugus Percepatan Penanganan COVID-19, Letjen Doni Monardo saat Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI pada awal April.
Dana Riset Minim, Tapi Eijkman Jalan Terus
Produksi vaksin butuh dana besar. Komisi Uni Eropa, misalnya, menawarkan pendanaan 80 juta Euro kepada CureVac (Jerman) agar produksi vaksin dapat direalisasikan.
Dibandingkan negara lain, mengutip data 2017, Indonesia tertinggal jauh dalam investasi terhadap riset. Indikatornya bisa dilihat dari rasio pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap PDB━Gross Expenditure on R&D (GERD).
Jepang dan Korea Selatan punya GERD 3,2 persen dan 4,55 persen. Di Asia Tenggara, Singapura dan Malaysia mengalokasikan anggaran untuk riset 2,2 persen dan 1,4 persen. Berapa Indonesia? Jumlahnya tak sampai 1 persen atau lebih tepatnya, hanya 0,24 persen.
Meski dana riset di Indonesia minim, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio meyakinkan sejauh ini “sumber daya maupun infrastruktur penunjang yang dimiliki Indonesia sudah siap dalam membikin vaksin sendiri.”
Anggaran yang tak maksimal diperkirakan bakal menambah pelik kerja-kerja Eijkman dalam memimpin konsorsium produksi vaksin COVID-19, mengingat mereka sudah lebih dulu menghadapi tantangan berwujud karakter virus corona yang membingungkan.
“Mutasi mereka bisa di banyak tempat dan ini bikin para peneliti bingung,” terang Herawati Sudoyo, Kepala Laboratorium Eijkman. “Meski begitu, kami belajar dari penanganan [virus] SARS. Ini modal yang penting.”
Baru-baru ini, Eijkman mengabarkan akan mengembangkan metode pengelolaan plasma darah yang diambil dari pasien COVID-19. Nama plasma ini convalescent, yang diambil antara 2-4 pekan setelah pasien sembuh. Plasma ini, kata Amin kepada KBR, mengandung antibodi untuk bisa menetralisir virus dan diharapkan bisa membantu pasien-pasien dalam kondisi berat.
Di sisi lain, Eijkman harus melayani gelombang besar tes spesimen PCR dari pasien-pasien terduga COVID-19. Mereka minim laboratorium standar bio safety level 3 karena mayoritas dipakai untuk tes spesimen. Meski demikian, Eijkman masih percaya diri menargetkan vaksin corona bisa diproduksi pada 2021.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam