tirto.id - Media sosial dibuat ramai dengan pernyataan salah satu Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta, Dharma Pongrekun, soal Covid-19, yang disebutnya sebagai agenda politik global. Hal tersebut ia sampaikan saat mengisi acara bincang-bincang yang cuplikannya tersebar di media sosial.
"Covid, Certificate Of Vaccine Identity Digital. 19-nya apa? AI, satunya sama dengan A, sembilan sama dengan I. Artificial Intelligence," ujarnya dalam video unggahan salah satu akun di X (dulu Twitter) pada 30 Oktober 2024.
Cuitan tersebut bernada bergurau. Namun, Dharma, dalam video tersebut, terlihat sangat serius dalam menyampaikan pesannya.
Dharma menyimpulkan, virus Covid-19 adalah buatan manusia, dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Menurutnya, virus tersebut disebarluaskan oleh pihak tertentu.
Dia juga melanjutkan dengan membedah istilah lain, seperti "Virus" yang disebut sebagai kepanjangan, Vibration of Us, kemudian "Viral" yang dikatakan kepanjangan dari Virus for All. Dia menutup dengan mengatakan dirinya tidak pernah divaksin dan meremehkan virus.
Unggahan tersebut mengumpulkan 1,2 juta views, 636 reposts, 743 quotes, dan lebih dari 2 ribu tanda suka, sampai dengan 1 November 2024, atau dalam hitungan dua hari.
Pembawa acara tayangan siniar (podcast) tersebut, Merry Riana, juga membagikan cuplikan video serupa di akun TikTok dan Instagram-nya yang mengumpulkan atensi penonton cukup besar.
Lalu bagaimana faktanya? bagaimana kebenaran pernyataan Dharma terkait Covid-19 tersebut?
Pemeriksaan Fakta
Menanggapi komentar dari Dharma tersebut, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan, menyampaikan bantahannya.
“Pernyataan Dharma Pongrekun tentang Covid-19 merupakan singkatan dari Certificate Of Vaccine Digital Identity dan 19 = AI (Artificial Intelligence) adalah salah dan tidak ada dasar ilmiahnya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (31/10/2024).
Menurut Iwan, disinformasi ini sudah menyebar sejak tahun 2021, bersamaan dengan mulai beredarnya vaksinasi Covid-19 dan kewajiban sertifikat vaksinasi untuk syarat perjalanan.
“Kelompok anti-vaksin merupakan pelopor penyebaran hoaks ini. Singkatan yang benar dari Covid-19 adalah Corona Virus Disease 2019. Nama penyakit yang disebabkan oleh virus korona, mulai menyebar Desember 2019, sampai menjadi pandemi pada tahun 2019-2023,” terang dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memuat penjelasan dalam situs resminya soal asal usul penyakit dan virus penyebab Covid. Covid-19 adalah nama penyakit, yang merupakan akronim dari Coronavirus Disease, yang kasus pertamanya ditemukan pada tahun 2019. Sementara nama virus penyebabnya adalah severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penamaan ini secara resmi diumumkan pada 11 Februari 2020. Sebelumnya, penyakit ini dikenal sebagai "2019 novel coronavirus" alias 2019-nCoV.
Dalam video penjelasan singkat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menjabarkan kalau nama coronavirus karena bentuknya yang menyerupai mahkota, atau dalam Bahasa Inggrisnya, "crown".
Lebih lanjut, soal terkait akronim yang disebut oleh Dharma, kami juga menemukan unggahan berikut yang tersebar tahun 2020, yang menyebut teori konspirasi serupa, yakni bahwa Covid-19 adalah kepanjangan dari Certificate of Vaccination Identification, dengan rujukan angka 19 yang berarti AI, seperti yang disampaikan Dharma. Unggahan ini telah ditandai sebagai hoaks. Pada tahun 2020, Reuters melakukan pemeriksaan fakta dan menyimpulkan informasi ini tidak tepat.
Kembali ke video pendek yang menampilkan Dharma, dia juga menjabarkan singkatan untuk "Virus" sebagai "Vibration of US". Menurut Iwan dari FKM UI, ini juga tidak ada dasar ilmiahnya.
“Hoaks ini disebarkan oleh kelompok orang yang percaya dengan teori konspirasi dan anti-vaksin. Kata Virus berasal dari bahasa Latin yang berarti “racun” atau “cairan kental”, yang kaitannya dengan penyebab infeksi. Virus adalah penyebab infeksi submikroskopik yang hanya dapat memperbanyak diri di dalam sel mahluk hidup lainnya,” begitu penjelasan Iwan.
Lebih lanjut, soal singkatan "Viral" sebagai "Virus for All", disebut juga tidak ada dasar ilmiahnya. “Pada ilmu kedokteran, istilah viral digunakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang disebabkan oleh virus. Sedangkan di internet dan media sosial, istilah viral berarti konten yang menyebar secara cepat dan luas,” terang Iwan.
Iwan juga menyoroti komentar Dharma soal vaksin Covid-19 yang disebut tidak ada manfaatnya. Hal itu menurutnya sama sekali tidak benar. Iwan mengatakan, vaksinasi Covid-19 telah terbukti pada penelitian uji klinik maupun data terkait kematian pasien. Vaksin Covid-19 mencegah keparahan dan kematian orang yang terinfeksi penyakit itu.
“Data di Indonesia menunjukkan orang yang terinfeksi Covid-19, yang sudah memperoleh vaksin booster, memiliki risiko kematian 5-10 kali lebih kecil dari orang yang tidak memperoleh vaksin,” tutur Iwan.
Pada tahun 2022, Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes) menyebut, vaksinasi Covid-19 lengkap, ditambah booster, dapat memberi perlindungan hingga 91 persen dari kematian. Angka tersebut berasal dari analisis pasien terjangkit Covid-19 yang berada di bawah pengawasan Kemenkes.
Sementara American Medical Association (AMA) pada Maret 2023 menyebut, orang yang mendapat suntikan dosis booster Covid-19, memiliki kemungkinan meninggal 14 kali lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima vaksin apa pun.
Kesimpulan
Hasil pemeriksaan fakta menunjukkan, pernyataan Dharma Pongrekun soal akronim Covid-19, virus, dan viral, serta klaim vaksin tidak ada manfaatnya, bersifat salah dan menyesatkan (false & mileading).
Terkait penamaan penyakit dan virus, WHO telah menjelaskan bahwa Covid-19 adalah coronavirus disease yang pertama kali ditemukan pada tahun 2019.
Sementara terkait tidak efektifnya vaksin, beberapa sumber telah membuktikan vaksin Covid-19 terbukti efektif menekan angka kematian.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty