tirto.id - Ada rutinitas yang dilakukan Mohammad Hatta setiap menjelang malam Minggu. Bukan kencan dengan perempuan yang ditaksirnya. Bukan. Saban Sabtu senja, kalau tidak hujan, Hatta menjemput Bahder Djohan. Orang ini adalah sahabat kentalnya, sama-sama perantauan asal Minangkabau di Batavia. Mereka sudah saling mengenal sejak masih bocah.
Juga Sabtu sore pada 1920 itu. Seperti biasa, sepulang sekolah, Hatta menyambangi asrama Djohan yang bersekolah di STOVIA (sekolah dokter bumiputera, kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), di bilangan Salemba. Hatta menitipkan sepedanya di situ dan baru diambilnya untuk pulang malam nanti.
Keduanya lalu berjalan kaki ke Pasar Baru untuk bersenang-senang, terkadang nonton bioskop, makan-makan, atau sekadar menikmati keramaian saja. Pulangnya, mereka mampir dulu ke Senen, menghabiskan malam sedikit lagi dengan menyeruput kopi di warung langganan, sembari berbincang tentang banyak hal, biasanya bertukar pikiran ihwal masa depan.
Kebiasaan itu berlangsung lebih dari 2 tahun lamanya. Hingga tiba saatnya mereka harus berpisah. Tahun 1921, Hatta lulus dari sekolah tinggi dagang Prins Hendrik School, dan akan segera berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Sementara Djohan tetap di Batavia.
Meski tidak lagi bisa bersama-sama, persahabatan keduanya tak pernah luntur, bahkan sampai di titik nadir sekalipun. Kelak, mereka turut menegakkan Indonesia sebagai negara yang merdeka, sama-sama menjadi bapak bangsa, kendati nama Djohan hanya terdengar lamat-lamat, berbeda dengan Hatta yang melegenda.
Hatta terlebih dulu meninggal pada 14 Maret 1980. Nyaris sewarsa berselang, pada 8 Maret 1981, tepat hari ini 37 tahun lalu, Djohan menyusul. Ia meninggalkan sepenggal kisah muram lantaran sempat berbeda pandangan dengan belahan jiwa Hatta yang lain: Sukarno.
Dokter Muda yang jadi Aktivis
Bahder Djohan putra asli Minangkabau, lahir di Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat, pada 30 Juli 1902. Ia berasal dari keluarga terkemuka. Ayahnya, Mohammad Rapal gelar Soetan Boerhanoedin, adalah seorang jaksa terpandang.
Djohan dan Hatta sama-sama masih berusia 11 saat pertama kali berjumpa. Mereka berkenalan ketika bersekolah di Bukittinggi. Sejak saat itu, keduanya bersahabat baik, hingga merantau ke Batavia hampir satu dekade kemudian.
Berangkat dari semangat yang sama, Djohan dan Hatta, juga anak-anak muda asal Minangkabau lainnya, bahu-membahu mendirikan Jong Sumatranen Bond (JSB) di Batavia yang berdiri sejak 9 Desember 1917. Meski bernama kedaerahan, tujuan JSB bersifat kebangsaan dan dibentuk sebagai wadah perjuangan di era pergerakan nasional.
Seperti dituliskan Solichin Salam dalam Wajah-Wajah Nasional (1990), sekalipun Djohan dan Hatta berasal dari Sumatera Barat, namun keduanya tidak mempunyai perasaan kesukuan dan kedaerahan. Baik Hatta maupun Bahder Djohan adalah pejuang nasionalis (hlm. 248).
Sejak Hatta pergi ke Belanda pada 1921, Djohan mencurahkan segenap perhatiannya untuk berjuang bersama JSB. Ia terlibat aktif dalam upaya mempersatukan kekuatan generasi muda dengan digelarnya Kongres Pemuda I pada 30 April 1926. JSB dan barisan laskar atau perkumpulan pemuda dari berbagai daerah melebur dalam kongres ini.
Menurut Mardanas Safwan dalam Prof. Dr. Bahder Djohan: Karya dan Pengabdiannya (1985), Djohan turut tampil di podium dengan menyerukan orasi berjudul "De Positie van de Vrouw in de Indonesiche Samvening" atau “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia”. Namun, pemerintah kolonial Hindia Belanda menganggap isi pidato Djohan itu meresahkan sehingga dilarang untuk disebarluaskan (hlm. 16).
Selain bergelut di ranah pergerakan, termasuk kembali terlibat dalam Kongres Pemuda II pada 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda, Bahder Djohan tidak melupakan studinya di STOVIA. Pada 1927, seperti dikutip dari buku Drama Kedokteran Terbesar (1976) karya Moh. Ali Hanafiah, ia lulus dan diangkat menjadi dokter (hlm. 28).
Selanjutnya, Djohan bekerja di rumah sakit terbesar di Hindia Belanda kala itu, Centrale Burgerlijke Zienkenhuis (CBZ) atau yang kini bernama Rumah Sakit Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, di Jakarta Pusat, tak jauh dari kampusnya dulu.
Safwan menyebutkan, meski Bahder Djohan bekerja di rumah sakit milik pemerintah kolonial, ia tidak pernah lupa berjuang. Djohan tetap menjadi pejuang yang gigih di bidang kedokteran untuk menaikkan derajat bangsanya. Kala itu, sebenarnya telah terjadi “pertarungan” yang hebat antara dokter pribumi dengan dokter Belanda dan pemerintah kolonial pada umumnya (hlm. 17).
Bahder Djohan menjadi motor penolakan terhadap sejumlah kebijakan yang dianggap tidak adil. Salah satunya, tidak setiap dokter pribumi bisa berlangganan majalah kedokteran Genuskundig Tijdschrift van Nederlandsch Indie, kecuali anggota luar biasa di organisasi dokter yang didominasi dokter berkebangsaan Belanda.
Djohan, yang sebenarnya termasuk dokter yang boleh berlangganan, menentang aturan itu dan menuntut agar seluruh dokter pribumi diperbolehkan berlangganan majalah tersebut. Upaya Djohan membuahkan hasil karena aturan tersebut kemudian dihapuskan.
Selain itu, sesuai amanat Sumpah Pemuda 1928, Bahder Djohan juga memperjuangkan agar bahasa Indonesia bisa dipergunakan dalam dunia kedokteran yang waktu itu masih memakai bahasa Belanda sebagai bahasa ilmiah. Berkat kegigihan Djohan dan beberapa rekan dokter lainnya, dokter-dokter pribumi mulai berani menggunakan bahasa Indonesia dan pemerintah kolonial pun tidak kuasa melarangnya.
Membidani PMI Demi Republik
Setelah Indonesia merdeka, seperti diungkap Haji Amura dalam Bahder Djohan: Pengabdi Kemanusiaan (1980), Bahder Djohan bersama beberapa orang dokter pribumi lainnya membentuk panitia untuk menggagas lahirnya Palang Merah Indonesia (PMI). Organisasi ini akhirnya berhasil didirikan pada 17 September 1945 (hlm. 89).
Selain Djohan, ada sejumlah nama lain yang turut membidani lahirnya PMI, termasuk R. Mochtar, Mr. Santoso, Djoehana Wiradikarta, Marzuki, Sitanala, juga Hatta, karib lamanya yang telah kembali ke tanah air dan kini menjadi Wakil Presiden mendampingi Sukarno.
Gebrakan pertama Djohan dan kawan-kawan langsung dilakukan dalam peringatan satu bulan kemerdekaan RI di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas). Djohan dan orang-orang PMI mendirikan pos-pos pertolongan pertama di sekitar lokasi rapat raksasa itu sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Selama masa Revolusi (1945-1949), termasuk saat Belanda dua kali melancarkan agresi militernya, Djohan dan PMI berperan penting. Selain berjuang selama perang, orang-orang PMI juga melatih penduduk, terutama kaum perempuan, untuk menjadi tenaga medis yang setiap saat dibutuhkan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah (2010) memaparkan cukup rinci peran dan sumbangsih PMI, di mana Bahder Djohan menjadi salah seorang tokoh intinya. Selama beberapa tahun yang mencekam itu, PMI berperan besar dalam bidang pertolongan pertama, pengungsian, dapur umum, pencarian dan pengurusan repatriasi, termasuk mengurusi puluhan ribu tahanan perang (hlm. 92).
Sesudah pengakuan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, bahkan setelah diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 6 September 1950, Bahder Djohan tidak lantas mengabaikan tugasnya sebagai dokter.
Ketika keutuhan negara terancam dengan dideklarasikannya Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 1950, misalnya, Djohan memimpin PMI mengadakan rumah sakit terapung di Ambon. Sejak 1952, Bahder Djohan terpilih sebagai Ketua Umum PMI, jabatan yang diembannya hingga 1954.
Dicap Pro-PRRI dan Anti-Sukarno
Bahder Djohan dua kali menempati posisi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Periode pertama berlangsung dari 6 September 1950 hingga 20 Maret 1951 di Kabinet Natsir. Periode kedua pada 3 April 1952 sampai 30 Juli 1953 di Kabinet Wilopo.
Djohan juga menjabat kepala Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Jakarta—sekarang Rumah Sakit Tjipto Mangoenkoesoemo—pada 1953. Di almamaternya yang sudah berubah menjadi Universitas Indonesia, ia menempati posisi presiden (rektor) sejak 1954.
Namun, sebelum masa jabatannya sebagai pemimpin UI usai, Djohan mengundurkan diri. Alasannya, ia tidak sepakat dengan keputusan Presiden Sukarno dalam menyikapi berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan di Bukittinggi pada 15 Februari 1958.
PRRI—yang semula muncul untuk menuntut keadilan terkait otonomi daerah—disikapi frontal oleh Sukarno. PRRI dianggap gerakan yang hendak memisahkan diri dari negara kesatuan dan akhirnya dituntaskan dengan cara-cara represif. Serangkaian operasi militer pun dikerahkan untuk membasmi PRRI.
Bahder Djohan, menurut R. Darmanto Djojodibroto dalam Pandu Ibuku: Mengajarkan Budi Pekerti, Membangun Karakter Bangsa (2012), tidak setuju dengan penyerbuan militer ke Sumatera Barat itu. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar menyelesaikan masalah ini dengan perundingan (hlm. 182).
Djohan melihat persoalan ini bukan dari sudut politik, tetapi dari sudut kemanusiaan semata-mata. Penggunaan senjata, bagi Djohan, justru akan menimbulkan kehancuran bagi bangsa Indonesia sendiri. Rakyat yang telah menderita selama perang (1945-1949) akan lebih sengsara lagi jika pecah perang saudara.
Bung Karno, seperti diungkap Wawan Tunggul Alam dalam Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta (2003), sempat meminta saran Hatta sebelum mengambil sikap terhadap PRRI. Hatta—yang sudah mundur dari jabatan wakil presiden sejak 1955—dua kali bertemu dengan Sukarno untuk urusan ini, yakni pada 20 Februari dan 3 Maret 1958 (hlm. 281).
Namun, situasi yang mendesak membuat Sukarno terpaksa menindak PRRI dengan melancarkan serangkaian operasi militer yang berlangsung hingga 1961. Hatta, dan tentunya Djohan, sangat kecewa dengan keputusan itu. Djohan pun meletakkan jabatannya sebagai Rektor UI sekaligus mundur dari gelanggang politik nasional.
Setelah itu, mulai terdengar desas-desus bahwa Djohan pro-PRRI dan anti-Sukarno. Sebagaimana ditulis Amura, Berulangkali datang ancaman, lewat telepon maupun surat, termasuk ancaman penculikan (hlm. 396).
Beragam ancaman itu memang tidak terbukti, namun mental Djohan terlanjur terluka. Ia sakit-sakitan kendati masih bisa susah-payah bertahan. Pada usia 78, Bahder Djohan meninggal dunia di Jakarta tanggal 8 Maret 1981. Namanya seolah terlupakan meskipun perjuangan dan pengabdiannya untuk negara tidak terbantahkan.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan