tirto.id - Status sebagai pejabat tinggi tidak menghalangi pria muda itu untuk turun langsung ke gelanggang perang. Bagindo Aziz Chan namanya, Walikota Padang. Belum genap setahun menjabat, ia sudah harus menghadapi serbuan Belanda, berdaya-upaya sekuat tenaga turut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
“Langkahi mayat saya dulu, baru Kota Padang dapat kalian duduki!” tantang sang walikota dengan lantang seperti dikisahkan dalam buku Bagindo Aziz Chan 1910-1947 karya Mestika Zed (2007).
Tanggal 19 Juli 1947 atau genap 70 tahun yang lalu, Bagindo Aziz Chan gugur dalam suatu pertempuran di ranah Minang. Masa depan yang sejatinya masih panjang membentang dipungkasinya dengan pengorbanan, demi harga diri nusa dan bangsa.
Murid Setia Haji Agus Salim
Bagindo Aziz Chan adalah putra Minang asli, lahir di Padang tanggal 30 September 1910 Selepas menyelesaikan pendidikan dasarnya di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Padang, ia langsung merantau ke Jawa untuk menempuh pendidikan sekolah menengah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Surabaya (Arya Ajisaka & Anna Maria Fitrawati, Mengenal Pahlawan Indonesia, 2008:221).
Setelah lulus, Bagindo Aziz Chan meninggalkan Surabaya untuk menempuh pendidikan sekolah menengah atas di AMS (Algemeene Middelbare School) di Batavia. Setamat AMS, ia memilih masuk sekolah tinggi hukum yakni di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS). Dari sinilah, Bagindo Aziz Chan sempat membuka praktik sebagai advokat.
Pergaulannya yang luas semasa menetap di Jawa membuat Bagindo Aziz Chan kerap berhubungan dengan para aktivis pergerakan. Ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) yang digagas oleh seniornya dari Sumatera Barat, Haji Agus Salim.
Bagindo Aziz Chan merupakan murid sekaligus pengikut setia Agus Salim (Emizal Amri, dkk., Bgd. Azizchan, 1910-1947: Pahlawan Nasional dari Kota Padang, 2007:181). Agus Salim adalah tokoh sentral Sarekat Islam (SI) atau yang kemudian berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Aziz Chan turut menjadi anggota partai politik Islam terbesar pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto itu.
Setelah Tjokroaminoto wafat pada 1934, mulai terjadi perbedaan pendapat di kalangan para petinggi PSII yang kemudian membuat Agus Salim terpaksa membentuk wadah perjuangan baru bernama Barisan Penyedar. Bagindo Aziz Chan pun ikut dalam gerbong sempalan PSII ini.
Tahun 1935, Bagindo Aziz Chan pulang ke kampung halaman. Ia mengabdi sebagai guru di Padang serta beberapa kali dipindah-tugaskan di berbagai wilayah lain di Sumatera Barat. Meskipun sudah punya pekerjaan tetap, gairah pergerakan Aziz Chan tidak lantas padam. Ia aktif di Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Namun, organisasi ini dibubarkan paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1937.
Darah Juang Walikota Padang
Bagindo Aziz Chan ditunjuk sebagai Wakil Walikota padang pada 24 Januari 1946 untuk mendampingi Walikota Padang pertama setelah kemerdekaan RI, Abubakar Jaar. Beberapa bulan berselang, tepatnya 15 Agustus 1946, ia naik posisi sebagai orang nomor satu di pemerintahan Kota Padang setelah Abubakar Jaar dialih-tugaskan menjadi Residen Sumatera Utara.
Usia Bagindo Aziz Chan masih sangat muda saat itu sehingga penunjukannya sebagai Walikota Padang sempat menimbulkan pertanyaan. Beberapa kalangan menilai, terlalu berisiko menempatkan Bagindo Aziz Chan yang belum terlalu berpengalaman (Madjalah Penerangan Sumatera Tengah, 15 Juli 1953).
Padang saat itu memang salah satu kota paling strategis di negeri ini sehingga rawan dijadikan sebagai sasaran pasukan Sekutu dan Belanda yang datang lagi tak lama setelah Republik Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Namun, Presiden Sukarno tetap mempercayakan posisi tersebut kepada Bagindo Aziz Chan. Ia percaya, pria muda itu sudah cukup piawai dalam memimpin Kota Padang di tengah tekanan Sekutu dan Belanda yang turut membonceng dengan topeng Netherland Indies Civil Administration atau NICA. Bung Karno rupanya yakin, didikan Haji Agus Salim pasti bisa diandalkan.
Di hari yang sama pelantikan dirinya sebagai Walikota Padang, Bagindo Aziz Chan sudah harus menghadapi perundingan dengan pihak Sekutu yang diwakili oleh Inggris. Disepakati dalam pertemuan tersebut bahwa pasukan Sekutu akan bekerjasama dengan pemerintah Kota Padang untuk menjaga keamanan.
Namun, ternyata Sekutu, terutama Belanda atau NICA, seringkali melanggar kesepakatan. Kerap terdengar letusan senapan, dentaman mortir, bahkan ledakan granat di beberapa titik Kota Padang. Tak hanya itu, orang-orang yang dicurigai sebagai ekstrimis pun ditangkapi oleh tentara Belanda.
Tragedi Sebelum Agresi
Situasi semakin memanas ketika Inggris berencana menarik pasukannya dari seluruh wilayah Indonesia selambat-lambatnya tanggal 30 November 1946 (Ide Anak Agung Gde Agung, Persetujuan Linggarjati, 1995:100). Tugas selanjutnya diserahkan kepada Belanda atau NICA untuk melucuti serdadu Jepang serta mengambil-alih kekuasaan yang ditinggalkan Sekutu/Inggris.
Salah satu daerah yang akan diambil-alih Belanda adalah Kota Padang sehingga ketegangan semakin meningkat. Hingga akhirnya, Belanda merencanakan agresi militer pada 21 Juli 1947 secara serempak dengan target Jawa dan Sumatera (Dwi Pratomo Yulianto, Militer & Kekuasaan, 2005:111).
Bagi Belanda, Padang memiliki nilai strategis tersendiri, dan sebenarnya sayang jika harus menjadi ajang pertempuran. Belanda pun beberapa kali telah mendekati Bagindo Aziz Chan agar bersedia diajak bekerjasama. Tapi sang walikota selalu menolak mentah-mentah ajakan tersebut.
Dua hari jelang pelaksanaan Agresi Militer Belanda I, Bagindo Aziz Chan mengadakan pertemuan di rumahnya dengan mengumpulkan sejumlah pejabat terkait (Marah Joenoes, Mr. H. Sutan Mohammad Rasjid, 2001:67). Walikota muda itu rupanya mencium gelagat buruk bahwa akan segera terjadi sesuatu yang kurang baik.
Dan benar, malam hari tanggal 19 Juli 1947, pasukan Belanda tiba-tiba menyerang sehingga terjadilah kontak senjata dengan tentara republik di Padang. Bagindo Aziz Chan terlibat langsung dalam bentrokan bersenjata tersebut.
Sayang, Bagindo Aziz Chan gugur. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tiga luka tembakan di wajah, ada pula bekas pukulan benda berat yang meremukkan tulang kepala bagian belakangnya (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Volume 4, 2004:85).
Di usia yang baru menginjak 36 tahun, pemimpin muda pemberani itu menghembuskan nafas terakhir sebagai kusuma bangsa. Bagindo Aziz Chan disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Bahagia Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sumbangsihnya untuk negara pun diabadikan sebagai nama jalan di Bukittinggi dan Padang. Dibangun pula monumen untuk mengenang jasa-jasa sang walikota. Tanggal 9 November 2005, pemerintah RI menganugerahi Bagindo Aziz Chan dengan gelar Pahlawan Nasional.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya