tirto.id - Jef Last geleng-geleng kepala usai mendengar pemuda bernama Islam Basari itu sangat lancar lagi fasih berbahasa Inggris. Keheranan jurnalis asal Belanda ini sangat beralasan. Islam tidak pernah mengenyam sekolah formal namun memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Melihat Jef Last terkaget-kaget dengan rasa tidak percaya, ayah Islam berujar: “Apakah Anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris, dan Islam pun ikut meringkik juga dalam bahasa Inggris.”
Si ayah dari bocah bernama Islam ini tidak lain dan tidak bukan adalah Haji Agus Salim, bapak bangsa yang namanya bertebaran di buku-buku sejarah Indonesia itu. Dan memang, Agus Salim tidak pernah memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal. Ia mendidik putra-putrinya sendiri di rumah, metode pengajaran yang kini dikenal dengan istilah homescholling.
Jalan Berlumpur Pendidikan Kolonial
Bukan berarti Agus Salim mengharamkan pendidikan formal, sama sekali tidak. Ia sendiri menapaki jenjang sekolah dari dasar hingga menjadi salah satu orang paling jenius yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Bahkan, Agus Salim pernah meraih prestasi yang sangat jarang mampu dilakukan oleh siswa-siswa sebangsanya, menjadi lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) tahun 1903 di tiga kota besar: Batavia, Semarang, dan Surabaya (Agus Salim, Pesan-Pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat, 2014).
HBS adalah sekolah menengah setara SMA milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah ini hanya menerima siswa berkebangsaan Belanda atau Eropa, serta sedikit anak lokal yang orangtuanya terpandang atau punya pangkat.
Sayangnya, titel sebagai lulusan HBS terbaik ternyata tak menjamin dirinya bisa melanjutkan studi ke luar negeri. Ia melamar untuk mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda yang sangat diminatinya (Haji Agus Salim 1884-1954: Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, 2004).
Namun, harapannya kandas karena ia seorang pribumi, bukan sinyo apalagi berdarah Eropa murni. Jawaban dari pihak berwenang yang diperolehnya berbunyi: “Tak ada beasiswa untuk inlander.”
Pengalaman pahit itulah yang barangkali membuat Agus Salim merasakan trauma yang amat sangat dengan sekolah Belanda. Ia menganggap pendidikan kolonial bentukan Belanda sebagai “jalan berlumpur” sehingga ia tidak mau anak-anaknya ikut berkubang di dalamnya seperti yang dulu pernah dirasakannya. Selain itu, Agus Salim merasa sanggup mendidik anak-anaknya di rumah.
Dari ke-8 anaknya, hanya si bungsu Mansur Abdurrahman Sidik yang mengenyam sekolah formal. Itu pun lebih karena Mansur dilahirkan setelah era kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Tidak demikian halnya dengan anak-anaknya yang lahir terlebih dulu: Violet Hanisah, Yusuf Taufik, Ahmad Syauket, Theodora Atia, Islam Basari, Siti Asiah, dan Maria Zenibiyang.
Sekolah Rumah Agus Salim
Bukan hal yang aneh jika anak-anak Agus Salim sangat lancar berbahasa Inggris. Bahasa harian di keluarga itu memang bahasa-bahasa asing. Andai saja Jef Last tahu, ia mungkin tak akan terlalu heran melihat Islam Basari cas cis cus dengan bahasa Inggris.
Agus Salim sendiri menguasai selusin bahasa bangsa lain, di antaranya adalah Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, Turki, dan lainnya. Tak hanya sekadar berbicara, ia kerap berpidato bahkan melontarkan guyonan dengan bahasa-bahasa asing itu (Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 2006).
Metode pendidikan yang diterapkan Agus Salim di rumah sangat menyenangkan tapi tetap mendidik. Anak-anaknya sebagai “murid” tak harus duduk di dalam kelas seperti di sekolah formal. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung dibiasakan secara santai, seolah-olah seperti sedang bermain. Sedangkan nilai-nilai budi pekerti, pelajaran sejarah, dan materi ilmu sosial lainnya diberikan melalui bercerita dan obrolan sehari-hari.
Agus Salim juga memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk bertanya, mengkritik, bahkan membantah jika tak sependapat dengan apa yang ia sampaikan. Tampaknya ia punya cara jitu yang merangsang anak-anaknya untuk tidak hanya menerima pelajaran saja, ia ingin para “muridnya” memiliki daya kritis. Agus Salim sendiri dikenal sebagai sosok vokal dan jago debat berjuluk singa podium.
Menjadi Cerdas Tak Harus di Kelas
Salah satu kebiasaan menyenangkan sekaligus mencerdaskan yang diterapkan Agus Salim di keluarga adalah membaca. Ia menyediakan buku-buku berbahasa asing. Hasilnya, kecerdasan anak-anak Salim berkembang pesat. Di usia, balita mereka sudah lancar baca-tulis dengan banyak bahasa.
Maka jangan heran jika anak-anak Salim sudah melahap banyak bacaan berbahasa asing di usia yang masih sangat dini. Theodora Atia alias Dolly, misalnya, pada umur 6 tahun sudah menggemari bacaan-bacaan anak remaja, semisal kisah-kisah detektif Nick Carter atau Lord Lister (100 Tahun Haji Agus Salim, 1996).
Yusuf Taufik atau Totok lain lagi. Di usia 10 tahun, ia sudah merampungkan bacaan Mahabarata yang ditulis dalam buku berbahasa Belanda. Tidak hanya membaca, Totok bahkan piawai menjelaskan makna yang terkandung dalam epos kepahlawanan India nan legendaris itu.
Belum lagi apa yang pernah dialami oleh Mohammad Roem. Tokoh pergerakan nasional yang kelak bersama-sama Agus Salim turut menegakkan kedaulatan RI ini dibikin takjub oleh Dolly dan Totok. Dua bocah itu mampu meladeninya saat berdebat tentang pengetahuan yang diajarkan di sekolah tingkat atas. Padahal, usia mereka saat itu masih awal belasan tahun.
Agus Salim memang punya alasan mendasar mengapa ia tidak memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal, juga lantaran ia sendiri memiliki kualitas pengetahuan dan pengajaran yang mumpuni untuk mendidik putra-putrinya di rumah.
Apa yang pernah dilakukan Agus Salim setidaknya memberi gambaran di luar keumuman di Indonesia: untuk menjadi cerdas tidak harus di dalam kelas. Bersekolah di rumah atau di tempat-tempat lainnya pun bisa, tentu jika dilaksanakan dengan cara dan guru yang tepat.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani