tirto.id - Sejak catgut atau benang bedah ditemukan, luka tidak lagi ditutup dengan semut. Semut? Ya, dahulu kala, semut-semut berukuran besar kerap digunakan sebagai media menjahit luka, ini pernah lazim dilakukan di pelosok-pelosok Amerika Selatan, juga di pedalaman Afrika.
Selain semut, ada jenis dedaunan tertentu yang juga bisa dipakai untuk menutup luka. Daun itu harus dikunyah terlebih dulu sebelum ditempelkan di atas luka sampai tertutup rapat, dengan harapan luka tersebut cepat mengering.
Catgut mulai dikenal pada pertengahan abad ke-10 atas peran besar Al-Zahrawi. Benang bedah temuan Al-Zahrawi ini dibuat dari jaringan hewan –biasanya dari usus kambing atau sapi– sehingga dapat diterima oleh tubuh manusia dan halal digunakan oleh orang Islam.
Siapakah sebenarnya Al-Zahrawi si penemu catgut itu?
Bapak Ilmu Bedah Modern
Nama panjangnya adalah Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi, biasa dipanggil Al-Zahrawi atau El Zahrawi. Orang-orang Eropa lebih suka memakai nama Abulcasis untuk menyebutnya.
Al-Zahrawi lahir pada 936 Masehi di Zahra, sebelah barat daya Cordoba, Provinsi Andalusia, Spanyol. Inilah pusat pengetahuan, kebudayaan, sekaligus simbol kedigdayaan Islam di Eropa, berjuluk “permata dunia abad ke-10” di bawah naungan Kekhalifahan Dinasti Umayyah.
Kala itu, Cordoba adalah wilayah yang sangat kaya, amat kuat, dan termasuk kota yang paling maju di Eropa Barat (Ana Ruiz, Vibrant Andalusia: The Spice of Life in Southern Spain, 2007:39). Di sinilah yang menjadi tempat munculnya para ilmuwan muslim, Al-Zahrawi salah satunya.
Sumbangsih Al-Zahrawi bagi dunia kedokteran modern –termasuk dan khususnya ilmu bedah– sangat besar. Catgut hanyalah satu dari puluhan penemuan Al-Zahrawi yang sangat berdaya-guna hingga berabad-abad berikutnya, bahkan sampai saat ini, tentunya dengan inovasi demi inovasi seiring kemajuan zaman.
Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah yang semuanya belum pernah ada di masa-masa sebelumnya. Selain catgut, ia juga memperkenalkan alat-alat baru lainnya, sebutlah pisau bedah, sendok bedah, retractor, pengait, surgical rod, specula, bone saw, plaster, dan masih banyak lagi (Robert Kretsinger, History and Philosophy of Biology, 2015:24).
Tak hanya penemuan berupa barang atau peralatan saja, Al-Zahrawi juga merumuskan pemikiran yang sangat membantu perkembangan ilmu kedokteran modern. Banyak dokter dari berbagai penjuru Eropa dan belahan bumi lainnya yang datang kepada Al-Zahrawi untuk belajar.
Maka tidak heran ketika seorang penerjemah asal Italia bernama Pietro Argallata menyebut Al-Zahrawi sebagai “pemimpin dari seluruh ahli bedah” (M.R. Islam, et.al., The Greening of Pharmaceutical Engineering, 2015:257). Dengan kata lain, ia ibarat mahaguru bagi dokter-dokter bedah sedunia.
Perumus Kitab Ilmu Kedokteran
Karya monumental hasil pemikiran Al-Zahrawi adalah sebuah buku setebal 1.500 halaman yang terdiri dari 30 jilid dengan tajuk At-Tasrif liman Ajiza an at-Ta'lif. Inilah kitab suci bagi kaum dokter sedunia yang beberapa pengetahuan di dalamnya bahkan masih dijadikan rujukan dan pedoman sampai sekarang.
Melalui kitab inilah Al-Zahrawi memaparkan kurang lebih 200 peralatan bedah, termasuk 26 alat hasil temuannya itu, ia juga mengupas bermacam teknik dalam operasi bedah. Di atas lembar-lembar Al-Tasrif pula, ia mengklasifikasikan 325 macam penyakit beserta gejala dan cara pengobatannya.
Tak hanya tentang bedah dan daftar penyakit saja yang dipaparkan Al-Zahrawi lewat kitab tebal itu, banyak sekali pengetahuan lainnya terkait ilmu kedokteran yang terhimpun di dalamnya. Al-Tasrif telah diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, Perancis, hingga Ibrani, dan menjadi acuan utama kalangan medis di Eropa kala itu.
Ahli bedah ternama abad ke-14 asal Prancis, Guy de Chauliac, bahkan mengutip isi ajaran Al-Tasrif lebih dari 200 kali (Fred Ramen, Abulcasis: Renowned Muslim Surgeon of the Tenth Century, 2006:90). Sampai abad ke-16, Al-Tasrif masih dijadikan rujukan utama hingga diambil-alihnya kembali maskot ilmu pengetahuan Eropa oleh bangsa barat sejak masa Renaisans yang mulai menggejala sejak dua abad sebelumnya.
Al-Zahrawi meninggal dunia pada 1013 M dalam usia 77 tahun dan sempat mengabdi untuk keluarga penguasa Andalusia dari Dinasti Umayyah saat itu, Khalifah Al-Hakam II, sebagai dokter khusus kerajaan (Yahya Muhammad, Islam and Science, 2007: 63).
Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi termasuk generasi emas Islam Andalusia yang terakhir. Tidak seberapa lama setelah ia wafat, era gemilang Dinasti Umayyah di Cordoba juga turut purna yang sekaligus menjadi sinyal bakal berakhirnya keperkasaan Islam di Eropa.
Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam -- melalui para sarjana dan pemikir muslim -- pernah, sedang dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti