tirto.id - Ketika ditanya soal romusa, seperti ditulis dalam autobiografinya Sukarno: An Autobiography, As told to Cindy Adams (1965: 193), Sukarno menjawab bahwa ada dua cara yang bisa ditempuh dalam menghadapi Jepang, yakni melawan seperti pemberontakan PETA atau bekerja sama.
Sukarno menempuh jalan yang kedua. Menurutnya, dia memilih bekerja sama dengan Jepang sambil terus berkonsolidasi dan membangun kekuatan, menunggu hingga saatnya musuh jatuh.
Sukarno dan Mohammad Hatta adalah kolaborator Jepang. Begitu hipotesis yang ditulis Gabriel Kolko dalam bukunya, The Politics of War (1990: 607). Dia menganggap kepentingan asing non-Belanda Sukarno menjadi daya tarik utama taktik menggalang dukungan. Dengan begitu, Sukarno dapat memaksa Jepang memukul mundur Belanda, serta mengabulkan janji kemerdekaan untuk bangsanya.
Namun janji kemerdekaan oleh Jepang tak diberikan secara cuma-cuma. Sukarno mesti membayar mahal jaminan kemerdekaan Indonesia. Bahkan bukan hanya dia seorang, tapi juga ratusan ribu rakyat Indonesia yang diboyong kampanye politik serta agitasi propagandanya.
Sukarno diminta Dai Nippon mengirim rakyat Indonesia sebagai romusa, sebuah kerja paksa ekstrem yang dikomandoi militer Jepang selama Perang Dunia II, khususnya di wilayah Asia-Pasifik. Menanggapi permintaan ngeri itu, Sukarno justru setuju dan mendukung penuh pengiriman romusa, baik di dalam maupun luar negeri.
Aktor dalam Film Propaganda Jepang
Belakangan, di media sosial berseliweran komentar yang merisak Sukarno. Alasannya, lantaran ia dianggap "menjual" rakyat Indonesia kepada Jepang. Ia dicap sebagai mandor romusa yang jauh dari konotasi positif.
Bahkan terdapat cuplikan video berwarna di Youtube yang menampilkan parade barisan romusa yang dipimpin Sukarno hendak membangun jalur kereta api Saketi-Bayah, Banten Selatan. Di sampingnya berjalan Mohammad Hatta, dan Adam Malik di depan. Mereka memakai topi jerami dengan pita terkebat di lengan (pertanda nomor rombongan), serta memanggul tas khas romusa.
Parade barisan romusa terlihat begitu semarak. Spanduk-spanduk dibentangkan dengan slogan yang mendukung Dai Nippon. Diiringi musik latar "Mars Barisan Pekerja", jalan-jalan di Tokubetsu Shi (kini Jakarta) dipenuhi manusia. Mereka menonton dari pinggir jalan, bertepuk riuh mengawal parade menuju kamp romusa di Bayah yang dibuat dari anyaman bambu dan beratapkan rumbia.
Sukarno naik ke atas gundukan pasir, lantas menghadap ke muka barisan romusa dan berpidato.
"...Jikalau saudara ingat akan hebatnya pengorbanan yang dikerjakan oleh prajurit-prajurit Dai Nippon dan prajurit Indonesia di medan peperangan, dan ingat akan hebatnya pengorbanan romusa biasa, maka saudara-saudara tidak akan memandang berat akan pekerjaan ini," pekik Sukarno di hadapan massa.
Video tersebut merupakan film propaganda Jepang yang memperlihatkan tokoh-tokoh besar Indonesia dalam mengikuti romusa. Mereka, Jepang, seolah ingin berkata, "Sukarno saja mendukung romusa, mengapa Anda tidak?"
Beberapa hari setelah syuting film pendek soal kampanye romusa, Sukarno beserta rombongan kembali ke Jakarta. Mereka tak ubahnya sekumpulan aktor bayaran yang bekerja di bawah studio Jepang. Lalu rekamannya disunting, gambar-gambarnya diekspos, disebar di koran-koran dan selebaran sebagai alat kampanye politik fasis. Seolah-olah aktor yang terlibat dalam film ini memberikan persetujuan seluruhnya kepada agenda tersebut.
Sementara rakyat yang didaftarkan dan dikirim sebagai romusa yang asli mesti menggantung nasib dan peluh di atas derita. Mayoritas romusa yang dikirim ke Burma (Myanmar) meregang nyawa. Sementara itu, jumlah korban romusa dalam pembangunan rel kereta api Saketi-Bayah diperkirakan mencapai 93.000 jiwa.
Sukarno Angkat Bicara
Dalam autobiografinya, Sukarno tak menampik tuduhan bahwa dia merupakan kolaborator yang ditunjuk Jepang. Dia mengakui semuanya. Dia menyaksikan orang-orang diangkut menuju gerbong-gerbong tertutup, berjejalan, berimpitan. Orang-orang yang dikirim sebagai romusa, tinggal kulit yang membalut tulang, yang tak akan pernah bisa ia tolong.
Tentu hal demikian menyulut emosi banyak pihak, terkhusus pejuang kemerdekaan yang ingin lepas dari belenggu penjajahan. Tetapi panglima yang memimpin proyek aspal terjal kemerdekaan justru "menjual" rakyatnya untuk disiksa dan menderita dengan cuma-cuma.
Bagi Sukarno, gelisah hatinya cukup sukar dijelaskan. Dia memang terpukul dan khilaf. Tetapi langkahnya memobilisasi barisan romusa kepada Jepang dianggap sebagai sesuatu yang perlu. Konsekuensinya, dia dapat menuntut imbalan yang lebih banyak atas konsesi positif menuju kemerdekaan.
Alasan lain Sukarno yang lebih pragmatis adalah, dengan atau tanpa dirinya yang dijadikan bahan propaganda Jepang, romusa akan tetap dikerahkan Jepang di daerah pendudukannya.
Sebagaimana ditulis sejarawan Peter Kasenda dalam Soekarno di Bawah Bendera Jepang 1942-1945 (2015), romusa merupakan bentuk kerja paksa yang diterapkan Jepang di manapun mereka menjajah. Di Malaya, Taiwan, dan Burma, tak luput dari kekejaman romusa. Jadi pikir Sukarno, cepat atau lambat, romusa pasti akan diberlakukan juga di tanah air.
Langkah Sukarno yang menerima pinangan kerja sama romusa Jepang ditempuhnya untuk meminimalkan dampak kemanusiaan terhadap rakyat. Sukarno berharap ketika dirinya ditunjuk sebagai mandor, dia dapat mengetahui kondisi serta nasib rakyat dan bangsanya kala dipersekusi Jepang.
Namun yang terjadi di lapangan sebaliknya. Misalnya, Sukarno mendulang citra buruk sebab dianggap luput menyelamatkan Achmad Mochtar, direktur pertama Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dari kalangan pribumi, yang dijatuhi hukuman mati oleh Jepang.
Menurut Shigeru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation 1942-1945 (1994), Achmad Mochtar dan koleganya dipaksa kempetai (polisi Jepang) mengakui menyuntik vaksin imunisasi yang membuat tewasnya romusa di kamp Klender, Jakarta. Pada Agustus 1944, sebanyak 478 romusa ditemukan kritis dalam kondisi mengidap gejala penyakit tetanus. Sementara itu 365 orang di antaranya meninggal dunia.
Padahal, kata Shigeru Sato, Achmad Mochtar dan tenaga medis lainnya di LBM Eijkman hanyalah korban kambing hitam picik dan licik militer Jepang. Mereka memang sengaja disingkirkan lantaran sudah dilabeli anti-Jepang.
Namun Sukarno bergeming. Dia tidak dapat membela banyak ketika dinilai lalai terhadap analisisnya terhadap dampak romusa yang cenderung spekulatif.
Tamparan keras lain yang tertuju pada Sukarno juga disebar lewat salah satu pamflet poster bertajuk "Soekakah anak pembatja mendjadi begini?" Poster tersebut menampilkan potret korban romusa dengan kondisi badan kurus kering kerontang. Di sana juga dimuat pernyataan, dari 1.600 romusa yang dibawa heiho (pasukan Indonesia pembantu militer Jepang) ke Pulau Numfor (Papua), yang tersisa hanya 251 jiwa.
Sahabatnya sewaktu bermukim di indekos milik Cokroaminoto di Surabaya, Musso, kerap melontarkan ujaran yang memojokkan Sukarno. Dalam buku Peter Kasenda lain yang berjudul Bung Karno Panglima Revolusi (2014), Musso mengecap Sukarno tidak hanya menjual romusa kepada Jepang, melainkan juga imperialisme Amerika Serikat. Dia menggunakan fakta kelam Sukarno sebagai modal kampanye meraup dukungan massa untuk pemberontakan PKI di Madiun 1948.
"Rakyat sebenarnya menjawab, 'Soekarno-Hatta, budak-budak Jepang dan Amerika! Memang ciri wanci lali ginowo mati!' Rakyat pasti menjawab, 'Musso sebenarnya menghamba rakyat Indonesia! Hidup merdeka! Menang perang!'" ujar Musso (hlm. 235),
Namun ejekan tersebut tak berbuah sebagaimana yang diharapkannya, dan rakyat tetap memilih Sukarno-Hatta sebagai presiden dan wakilnya.
Menyoal segala kritik pedas, ironi, dan sinisme yang ditujukan kepada Sukarno, dia tetap bersikeras langkah yang diambilnya bertujuan untuk kebaikan bersama. Sukarno mengaku dirinya memanglah kolabolator Jepang, tetapi tak sudi mengakuinya sebagai sebuah kesalahan.
"Dengan setiap rambut di tubuhku, aku hanya memikirkan tanah airku. Dan tidak ada perlunya bagiku melepaskan beban dari dalam hatiku kepada setiap pemuda yang datang kemari. Aku telah mengorbankan hidupku untuk tanah ini. Tidak jadi soal kalau ada yang menyebutku kolaborator, karena aku tidak perlu membuktikan kepada mereka atau kepada dunia apa yang telah kulakukan. Halaman-halaman dari Revolusi Indonesia akan ditulis dengan darah Sukarno. Sejarahlah yang akan membersihkan namaku," tulisnya menutup pleidoi dan pengakuan (hlm. 194).
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi