Menuju konten utama

Kala Jepang Membangun Jalur Maut Thailand-Burma

Pembuatan jalur kereta api maut yang menghubungkan Thailand dengan Burma di era pendudukan Jepang melibatkan sejumlah pekerja Indonesia.

Kala Jepang Membangun Jalur Maut Thailand-Burma
header Mozaik Jalur maut Thailand-Burma. tirto.id/Tino

tirto.id - Keberhasilan menyerang Pearl Harbour pada akhir 1941 mendorong Jepang melakukan ekspansi ke Asia Tenggara.

Dalam perluasan wilayah, mereka membutuhkan sarana transortasi untuk melancarkan urusan di daerah pendudukan. Salah satu transportasi yang mereka bangun adalah jalur kereta api. Di Jawa dan Sumatra, mereka antara lain membangun jalur Saketi-Bayah dan Muaro-Pekanbaru.

Jalur Saketi-Bayah dibangun untuk memperlancar pengangkutan batu bara dari pantai selatan Banten. Sementara jalur Muaro-Pekanbaru dibangun untuk mengangkut batu bara dan militer dari pesisir barat Pulau Sumatra ke pesisir timur.

Di Indochina atau Asia Tenggara Daratan, Jepang membangun jalur kereta api yang menghubungkan Ban Pong di Thailand dengan Thanbyuzayat di Burma sepanjang 415 km. Jalur ini dimanfaatkan untuk mempermudah akses mereka di Indochina dan Semenanjung Malaka selama perang.

Menurut Brian Mac Arthur dalam buku Surviving the Sword: Prisoners of the Japanese in the Far East, 1942-45 (2005), pembangunan jalur kereta api antara kedua kawasan ini sebenarnya sudah direncanakan Inggris pada tahun 1885. Namun mereka batalkan karena medan yang harus dilalui sangat berat.

Hasil survei Inggris ini menjadi inspirasi Jepang. Pada tahun 1942, Jepang membangun jalur kereta api antara Thailand dan Burma setelah kedua kawasan ini mereka taklukkan. Untuk mewujudkan rencananya, mereka membongkar rel-rel kereta api di Pulau Jawa.

Rel-rel yang dibongkar antara lain rel lebar jalur Yogyakarta-Solo, jalur Tasikmalaya-Singaparna, dll. Menurut Oerip Simeon dalam Kisah Kereta Api Indonesia (1953), selain rel, Jepang juga mengangkut beberapa lokomotif dan gerbong ke Thailand.

Jalur kereta api yang disebut Burma Railway ini dibuat karena Jepang ingin mengendalikan Kota Lashio. Kota ini dekat dengan Tiongkok sehingga mempermudah Jepang untuk memperlemah kekuatan Tiongkok dan akhirnya bisa dikuasai.

Alasan lain adalah kedekatan geografis antara Burma dan India. Jepang berharap kehadiran jalur kereta api ini akan mempemudah rencana mereka dalam merebut wilayah Assam di India.

Pembangunan jalur kereta api ini memakan waktu selama 16 bulan, dimulai sejak Juni 1942. Percepatan pengerjaan jalur berpengaruh kepada para pekerja yang harus bekerja lebih lama setiap hari, sehingga kurang mendapatkan istirahat.

Para pekerja direkrut dari daerah-daerah yang dikuasai Jepang di Asia Tenggara. Mereka berstatus sebagai tawanan perang atau tenaga wajib militer dari kalangan sipil.

Menurut P. Chandrasekaran, Ketua The Death Railway Interest Group (DRIG), terdapat 270.000 tenaga kerja Asia yang berasal dari Burma, Thailand, Indochina, Malaya, dan Indonesia.

"Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada tawanan perang, dan penderitaan mereka tidak berkurang, bahkan lebih buruk," ujar Chandrasekaran, seperti dikutip Malaysia Today.

Mereka bekerja dalam kondisi yang jauh dari ideal. Selain kekurangan istirahat, mereka juga mendapatkan makanan dan minuman yang sangat tidak layak konsumsi. Kondisi badan yang lemah membuat para pekerja mudah terserang penyakit seperti disentri, diare, kolera, dan malaria yang berujung pada kematian.

Pembangunan jalur kereta api ini melalui kawasan yang cukup sulit untuk dilewati, seperti hutan lebat tempat nyamuk-nyamuk bersarang, sungai, lembah, dan dinding bukit yang curam.

Di tengah kawasan yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi, para pekerja membangun sekitar 688 jembatan di atas sungai dan lembah. Mereka juga memotong gunung dan perbukitan supaya bisa dilewati jalur kereta.

Pemotongan bukit terpanjang dan terdalam terjadi di Konyu, sekitar 72 km barat laut Kanchanaburi, Thailand. Dengan peralatan seadanya, para pekerja harus membuat terusan dengan total sepanjang 525 meter dengan kedalaman antara 7-25 meter. Karena sulitnya medan yang dilalui, bagian potongan ini diberi nama “Hellfire Pass”.

Mereka tinggal di 69 kamp yang tersebar di sepanjang proyek. Sebanyak 45 kamp didirikan di Thailand dan 24 kamp lainnya berada di Burma.

INfografik Mozaik Jalur maut Thailand-Burma

INfografik Mozaik Jalur maut Thailand-Burma. tirto.id/Tino

Salah seorang tahanan militer yang menjadi pekerja di jalur tersebut adalah pesepakbola Frans Hukom. Pemain kelahiran Makassar ini merupakan anggota Timnas Hindia Belanda yang dikirim ke Piala Dunia 1938 di Prancis.

Frans Hukom ditangkap dan menjadi tawanan perang Jepang dengan statsus sebagai aggota Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Sebelum dikirim ke proyek kereta api, Hukom sempat diinternir di Bandung lalu dikirim ke Batavia dan Changi, Singapura.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia dideportasi ke Belanda pada tahun 1951. Hukom mendapat status kewarganegaraan Belanda dan meninggal tahun 1989.

Setelah perang usai, beberapa usaha dilakukan untuk mengenang peristiwa pembuatan jalur kereta api Thailand-Burma. Dalam budaya populer, kisah penderitaan pembangunan jalur kereta api maut ini diangkat ke dalam buku dan film, salah satunya berjudul The Bridge on the River Kwai (1957).

Beberapa fasilitas kereta api yang mulai rusak dan hancur direstorasi dan digunakan sebagai objek wisata sejarah. Sementara sejumlah makam korban perang dikonservasi dan menjadi monumen peringatan, seperti di Kanchanaburi, Chungkai, dan Thanbyuzayat di Myanmar.

Makam-makam itu di bawah kuasa Commonwealth War Graves Commission (CWGC) yang berpusat di Inggris.

Baca juga artikel terkait MASA PENDUDUKAN JEPANG atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Politik
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi