tirto.id - Seorang laki-laki Belanda atau Eropa, yang jabatannya masih rendah dan melajang, tak akan sanggup mengurus rumah tangga sendirian pada zaman Hindia Belanda. Cari istri dari ras Eropa pun bukan hal mudah di tanah kolonial.
Di zaman VOC alias Kompeni, waktu budak masih legal di Hindia Belanda, banyak orang kaya Belanda-Eropa punya belasan bahkan ratusan budak. Bagi yang belum terlalu kaya dan belum punya istri dari ras Kaukasian, biasanya melepas birahi lewat budaknya.
Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016) mencatat seorang anggota Dewan Hindia bernama Reinier de Klerk bahkan pernah kumpul kebo dengan seorang budak. Begitu juga Leendert Miero si Yahudi kaya, pemilik rumah besar yang menjadi cikal-bakal nama kawasan bernama Pondok Gede, punya anak dari empat budak perempuannya.
Nyai, sebutan bagi perempuan pribumi yang dikawini tapi tak dinikahi ini, berperan dalam rumah tangga pria Eropa. Tak cuma ada nyai, ada juga para pembantu di rumah majikan Eropa yang cukup kaya.
“Perempuan yang dipilih menjadi nyai menghabiskan hari kerja yang sama panjang dengan mengurus rumah tangga, mengawasi kerja para pembantu rumah tangga, dan melayani hasrat dan nafsu majikan mereka,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 (2007).
Nasib nyai tergambar pada sosok Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Menariknya, lewat perempuan-perempuan yang disebut nyai inilah pria kulit putih mengenal rasa masakan lokal.
“Kehidupan bersama nyai ini membuat para pria Eropa akhirnya terbiasa juga dengan makanan pribumi,” tulis Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2011).
Jika sudah bosan, seorang nyai bisa diusir kapan saja, semau tuan besar yang jadi majikan mereka.
Jika laki-laki Belanda atau Eropa ini sudah kaya raya, bisa jadi mereka tak lagi punya nyai. Mereka bisa ambil istri dari negeri Belanda. Teman ranjang laki-laki Tuan Besar Eropa ini bukan lagi berkulit cokelat, tapi si kulit putih alias bule. Tapi, si Nyonya dari Holland itu tak becus mengurus rumah tangga seperti nyai.
Rumah tangga mereka akan diurus orang-orang—yang di masa kini—disebut pembantu. Rumah mereka yang besar tak mungkin dibereskan seorang Nyonya Besar Eropa seorang diri. Nyonya besar Belanda tak akan sanggup seharian mengurus anak, dapur, kebun, kuda; belum lagi berbakti di ranjang pada malam hari bersama Tuan Besar. Itulah kenapa harus ada pembantu (atau budak) dalam rumah tangga mereka.
Rumah tangga Agustijn Michielsz alias Mayor Jantje, misalnya, memerlukan 320 pembantu, tulis Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII - Medio Abad XX (2000) dan Fadly Rahman dalam Rijsttafel (2011).
Koleksi kuda Mayor Jantje, yang jumlahnya 362 ekor, diurus 24 pekatik. Tukang kebun buat mengurus taman melati ada 5 orang. Di kebun sayur ada 9 orang. Tukang potong rumput ada 80 orang. Selain itu, ada pengawas selokan, pengawas sarang burung walet, pengangkut pedati, dan 117 pembantu di dalam rumah yang kerjanya antara lain mencuci, menyapu, mengepel, memasak, dan sebagainya.
Orang kaya Eropa bernama De Klerk, menurut Heuken (2016), punya sekitar 200 budak yang tinggal di rumah-rumah sederhana di pekarangannya. Di antaranya ada 16 budak yang menjadi pemain orkes untuk menghibur para tamu sang Tuan Besar.
Para pembantu atau budak di zaman kolonial ini punya pekerjaan khusus, yang biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan. Di masa lalu ada budak yang dipekerjakan cuma membawa kotak pinang atau memegang payung untuk majikannya.
Idealnya, sebuah rumah tangga pengusaha atau pejabat tinggi Belanda memiliki tukang masak, tukang cuci, tukang kebun, pengasuh anak, dan pekatik. Di antara pembantu ini, pengasuh anak yang bisa lebih akrab dengan anak-anak majikan yang masih bocah, sama akrabnya hubungan Tuan Besar Belanda dengan sang nyai ketika belum punya Nyonya Besar Belanda.
Para Pembantu Bikin Betah Majikan Eropa di Tanah Kolonial
Setelah mobil beredar di Hindia Belanda, majikan yang punya mobil juga mempekerjakan seorang sopir. Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006) bercerita sekilas mengenai guru besar muda di Recht Hoge School di Kota Betawi bernama Wim Wertheim. Ia sudah punya pembantu di rumah. Setelah membeli mobil, pengeluarannya terpaksa bertambah.
“Karena saya dan istri tidak dapat mengemudi, kami terpaksa memperbesar staf rumah tangga kami dengan seorang pakar, seorang supir bernama Kawi,” tulis Mrazek dari catatan masa itu.
Orang-orang Belanda tergolong eksklusif di masa kolonial. Orang-orang Belanda itu “hidup di dunia mereka sendiri, terpisah dari dunia orang bumiputra. Orang bumiputra yang mereka kenal hanya terbatas pada para pelayan yang bekerja [...] waktu itu dikenal dengan sebutan jongos (pria) dan babu (wanita),” tulis Ide Anak Agung Gde Agung dalam Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali (1993). Istilah jongos merujuk bujang atau pembantu laki-laki.
Apa pun istilah dan kerjanya, para pembantu rumah tangga ini tampaknya bikin majikan mereka (entah tuan, nyonya, dan anak-anaknya) merasa betah di rumah besar mereka. Begitu juga orang-orang kaya terpandang pribumi.
Tak heran, catat Mrazek, komisi penyelidik khusus pemerintah kolonial pada 1904 menghitung bahwa jumlah penumpang kereta api pribumi dari kelas bawah jauh lebih banyak ketimbang orang Belanda dan pribumi kelas atas.
Kenaikan kelas satu dan dua—bagi orang pribumi kelas atas dan Eropa—hanya mencapai 4.000 orang untuk kelas satu dan 33.000 orang untuk kelas dua. Sementara kelas tiga alias kelas kambing mencapai 550.000 penumpang. Selain tidak banyak hiburan di luar bagi golongan orang-orang Eropa, para pembantu pribumi berjasa besar membuat mereka betah di rumah.
Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008:235), yang disusun Harry A. Poeze, dkk, babu dan jongos dari Hindia Belanda juga dibawa ke negeri Belanda.
Contohnya: “Lina Konde, gadis Ambon, pergi ke Negeri Belanda bersama keluarga kontrolir Padang. Menurut perjanjian, ia akan mendapat gaji 15 gulden sebulan, namun tak pernah menerima uang itu,” tulis laporan tahun 1920 yang dikutip buku tersebut.
Tak hanya Lisa Konde yang bernasib melas. Ada juga Mina atau Djaena. Kerja mereka tak kenal henti. Tak heran jika di antara mereka sering kabur.
Di negeri Belanda, tak hanya dingin yang menyiksa, tapi juga majikan. Ketika negeri Belanda diduduki tentara pendudukan fasis Jerman, seorang pembantu bernama Mima Saina tampil sebagai penyelamat bocah Yahudi.
Selain orang-orang bumiputra yang meniti peruntungan militer, pegawai atau pelaut, menurut kesaksian
Molly Bondan dalam Pengabdian pada Bangsa (2008), ada juga “pembantu rumah tangga yang dibawa oleh perempuan Belanda yang memiliki anak ke negeri Belanda” ketika tanah jajahan dikalahkan Jepang pada 1942.Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam