tirto.id - Selain benteng pertahanan yang kuat, kelancaran akses mobilisasi adalah alat penting dalam peperangan. Gubernur Jenderal Belanda, Maarschalk Herman Willem Deandels menyadari hal itu sehingga memiliki hasrat ambisius dengan membangun jalan raya sepanjang 1.000 kilometer.
Jalan itu menghubungkan Pulau Jawa dari ujung Barat sampai ujung Timur. Ia digunakan untuk memobilisasi pasukan untuk mempertahankan Pulau Jawa dari potensi serangan Kerajaan Inggris pada awal abad ke-19. Jalan yang kemudian dinamai sesuai nama pencetusnya itu masih menjadi urat nadi transportasi di Pulau Jawa bahkan sampai sekarang.
Pengganti Gubernur Jenderal Albertus Wiese ini memang hanya tiga tahun bertugas di Pulau Jawa (1808-1811), namun di bawah kendalinya, salah satu sejarah paling kelam bangsa ini terjadi. Lebih dari 12.000 pribumi tewas dalam proses pembangunan jalan yang kemudian mengubah wajah perkotaan dan perekonomian di Jawa sampai dua abad kemudian.
Digambarkan cukup akurat melalui Jalan Raya Pos, Jalan Deandels (2005), Pramoedya Ananta Toer menangkap fragmen tragedi mengerikan bangsa ini. Kata-kata di awal pengantar penerbit dan di sampul belakang, “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain,” seolah memberi kesan getir bagaimana pribumi diperlakukan sedemikian hina dan menderita.
Kondisi yang merupakan gambaran bagaimana konsep mengenai ekosistem yang tertata akan menyedot habis sumber daya ekosistem yang tidak tertata. Ini logika yang sama untuk menjelaskan bagaimana kota-kota besar selalu “merampas” apa yang ada di desa-desa. Baik itu sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya.
Logika yang bisa ditemui dalam Fundamentals of Ecology-nya Eugene P. Odum dan juga bisa menjelaskan bagaimana negara-negara maju menyedot habis sumber daya negara-negara berkembang—yang belum memiliki ekosistem tertata—seperti Indonesia.
Itulah yang kemudian membuat Presiden Ir. Sukarno, dalam pidatonya—yang selalu berapi-api tentu saja—menggambarkan bagaimana seharusnya Indonesia menjadi, “Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”
Dalam Jalan Raya Pos, Jalan Deandels, penggunaan diksi “budak” sebenarnya bukanlah budak yang tidak mendapatkan hak sebagai manusia merdeka sama sekali. Kalimat yang sebenarnya juga terinspirasi, bahkan semacam saduran dari kalimat Sukarno itu, jika mengacu pada konteks sejarahnya, merujuk sistem kerja rodi yang merupakan pengerahan tenaga rakyat untuk kepentingan pemerintahan kolonial.
Berbeda dengan sistem kerja paksa yang memanfaatkan tenaga para tahanan, atau tanam paksa (cultuurstelstel) yang merupakan sistem kultivasi yang mewajibkan petani menanam tanaman yang laris untuk diekspor dan hasilnya diserahkan ke pemerintah kolonial, kerja rodi adalah sistem yang mewajibkan tenaga rakyat biasa yang “merdeka” untuk bekerja.
Jangan salah, karena masuk kategori “bekerja”, pekerja rodi juga tetap mendapat upah sekalipun sangat sedikit. Tentu saja upah ini jelas tidak sebanding dengan beban kerja yang harus ditanggung. Bahkan karena dasar dari kerja rodi adalah “kewajiban negara” maka unsur keterpaksaan jauh lebih dominan.
Besarnya korban jiwa dalam kerja rodi dari kebijakan Jenderal Deandels-lah yang kemudian mencairkan makna perbudakan dengan kerja rodi. Hal yang membuat Pram memilih diksi “budak”, alih-alih “pekerja rodi”, guna memberi gambaran betapa mengerikan proses pembangunan Jalan Deandels itu.
Di sisi lain, Sukarno sendiri bukan hanya sekali menggunakan diksi “bangsa kuli”. Pidatonya di panggung yang berbeda—saat memperingati Peringatan Hari Proklamasi pada 1963—menunjukkan hal itu.
“Dan sejarah akan menulis, di sana di antara benua Asia dan Australia, antara lautan teduh dan lautan Indonesia, adalah hidup satu bangsa yang mula-mula mencoba untuk kembali hidup sebagai bangsa, tetapi akhirnya jatuh kembali menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”
Selain perkara makna, setiap kata juga memiliki riwayat yang memuat memori kolektif masyarakatnya. Diksi “kuli” merupakan representasi yang lebih menyasar sifat maskulin daripada feminin. Ini jawaban kenapa “babu” hanya merujuk pada perempuan. Karena pembantu laki-laki mempunya pilihan kata sendiri yakni “jongos”.
Pada akhirnya, suka atau tidak suka, penggunaan diksi “bangsa kuli” oleh Sukarno merupakan perwujudan bagaimana Indonesia dicitrakan sebagai bangsa yang maskulin. Kuli bukan pekerjaan yang lazim dilakukan perempuan karena pekerjaan ini lebih mengedepankan kekuatan fisik daripada kecerdasan dalam berpikir (KBBI).
Karena merupakan bagian dari pekerjaan yang mengandalkan otot daripada otak, maka dalam pandangan Sukarno, sudah seharusnya bangsa ini mulai memikirkan untuk terus melahirkan kreator daripada pekerja yang hanya mengandalkan kerja keras (secara fisik) saja.
Inilah yang kemudian membuat “babu” tidak punya posisi yang lebih baik karena secara alam bawah sadar tidak merujuk pada aktivitas “pekerjaan”. Kita bisa ambil contoh untuk memahami premis ini.
Bagaimana profesi “Chef/Koki” didominasi oleh laki-laki daripada perempuan. Bukan soal kestabilan emosi, pria- memasak (aktivitas yang lazim dilakukan perempuan) akan dianggap sebagai kerja profesional karena berada di domain publik daripada perempuan-memasak yang memunculkan stereotipe sebagai aktivitas yang “sudah sewajarnya” karena masih dalam domain domestik.
Ini juga berlaku kenapa “babu” lebih rentan jika tidak dilindungi Undang-Undang karena stereotipe gender bahwa apa yang dilakukan babu adalah aktivitas sehari-hari yang lumrah dikerjakan.
Sentimen gender ini semakin ditegaskan juga tentang bagaimana KBBI, sejak 1952 sampai 2007, masih sama-sama mendefinisikan babu sebagai pekerjaan perempuan. Bahkan di KBBI 1952, istilah babu didefinisikan sebagai “hamba perempuan, yang mengurus kamar, menyusui anak, mencuci”.
Menurut Hairus Salim dalam esainya Dari Babu ke Pekerja Rumah Tangga, kata “jongos” maupun “babu” banyak digunakan sebelum perang kemerdekaan 1945. Dua kata ini merupakan peninggalan masa kolonial.
Hairus Salim menyebutnya ada kesan feodalistik dalam penggunaan kata ini. Wajar jika jongos dan babu, walau pun kata yang resmi dalam kamus, namun nada diskriminatifnya masih sangat terasa—bahkan sekalipun kata-kata ini dilepaskan dari konteksnya. Senada dengan kata “budak” yang digunakan Pram.
Keduanya, jelas berbeda dengan kata “kuli” Sukarno yang baru berkonotasi negatif ketika masih diikutsertakan dalam teks pidatonya. Dan tidak akan terjadi hal yang mengganggu jika berdiri sendiri. Untuk mengetahuinya, coba saja mengganti “kuli” dalam perspektif pidato Sukarno dengan diksi lain seperti budak atau babu.
“…tetapi akhirnya jatuh kembali menjadi bangsa babu dan budak di antara bangsa-bangsa.”
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti