tirto.id - Depok, kota dengan dua juta penduduk, lahir dari budak-budak yang dibebaskan, lalu membentuk komunitas yang mandiri. Tuan mereka, Cornelis Chastelein, merupakan tokoh kolonial Belanda terkemuka. Ia mengumpulkan kekayaan, membeli beberapa perkebunan, dan membagikan sejumlah wasiat jelang ajalnya pada Juni 1714.
Semasa menjabat sebagai pegawai Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC), ia punya pandangan kritis terhadap kebijakan perusahaan tersebut. Chastelein melihat bahwa kebijakan VOC sering kali mengeksploitasi penduduk lokal.
Sistem kerja paksa dan perlakuan tidak adil terhadap pekerja dianggapnya tidak manusiawi. Ia percaya bahwa sebuah koloni akan lebih stabil dan makmur jika penduduknya tidak ditindas.
Puncaknya pada 1691 saat ia mengundurkan diri sebagai pegawai dan menjauh dari urusan VOC selama 14 tahun. Saat itulah ia memanfaatkan kekayaannya untuk membeli dan mengelola beberapa tanah partikelir yang di kemudian hari ia wariskan kepada para budaknya.
Berkebun dan Menjauh dari VOC
Tak lama setelah Willem van Outhoorn dilantik menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 24 September 1691, Cornelis Chastelein mengajukan pengunduran diri. Padahal saat itu ia sudah menjadi orang penting VOC di Kastil Batavia dengan gaji tinggi sekitar 130 gulden per bulan. Ia termasuk kepala saudagar kelas dua.
Ia merasa tidak cocok dengan pandangan Gubernur Jenderal baru itu. Dikenal sebagai seorang yang sangat ambisius, Van Outhoorn kerap berorientasi pada keuntungan materi. Strategi yang diambilnya sering kali mengandalkan akuisisi sumber daya alam dan pemanfaatan tenaga kerja lokal tanpa pertimbangan yang memadai terhadap dampaknya pada kehidupan masyarakat.
Chastelein, di sisi lain, muncul sebagai suara yang berlawanan dengan Van Outhoorn dengan pandangan yang lebih humanis. Ia selalu menekankan pentingnya keterlibatan penduduk lokal dalam mengembangkan koloni. Chastelein melihat mereka sebagai mitra potensial yang harus diberdayakan.
Dengan alasan “kesehatan yang memburuk”, Chastelein lantas mengajukan surat pengunduran diri. Waktunya kemudian dihabiskan untuk membeli tanah di berbagai tempat termasuk Depok, yang ia terapkan sesuai dengan ide dan cita-cita yang menurutnya ideal sebagai sebuah koloni.
Pembelian tanah-tanah tersebut merupakan langkah awal untuk membangun komunitas yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Ia lalu mengontak seorang kartografer bernama Cornelis van Heusden untuk membantunya mencatatkan tanah yang ia beli.
Pada tahun 1693, Chastelein membeli tanah persil atau petak dari seorang mandor di sebelah utara Benteng Noordwijk di Batavia. Ia mulai mengembangkan perkebunan tebu. Sebelumnya, ia membeli beberapa petak tanah di Lapangan Pavilejoen—kini menjadi Lapangan Banteng--untuk menggembalakan ternak, juga beberapa persil tanah di Waterlooplein, kawasan yang nantinya dibangun Pintu Air.
Hingga tahun 1704, Chastelein telah membeli banyak tanah di Weltevreden--wilayah yang kini dikenal sebagai Gambir, Masjid Istiqlal, Pejambon, Pasar Baru, dan Pasar Senen.
Dalam perkembangannya, beberapa tanah itu digabungkan dan membangun perkebunan kopi eksperimental pertama di Hindia Belanda. Lain itu, ia membudidayakan nila dan kebun buah-buahan yang sering ia pamerkan pada setiap tamu yang berkunjung. Budak-budak dari Bali juga mulai ia datangkan untuk mengelola tanahnya. Di kemudian hari, mereka jadi salah satu penduduk pertama di Depok.
“Awalnya, Gereja Reformasi melarang perdagangan budak, tetapi kemudian dibenarkan oleh Alkitab. Beberapa misionaris memiliki budak dan selir mereka sendiri. Khastelein juga memiliki budak,” ujar Nonja Peters, penulis The Christian Slaves of Depok dalam wawancara dengan National Geographics edisi Februari 2020.
Memasuki 15 Oktober 1695, ia kembali membeli tanah di Seringsing--kini dikenal Serengseng Sawah, di Lenteng Agung, Jakarta Selatan—yang cukup nyaman karena tidak terlalu jauh dari Batavia dan memiliki udara yang sejuk. Letaknya berada di tengah-tengah antara Batavia dan Buitenzoorg.
Seturut Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950—1990-an (2017:41), saat pindah ke Seringsing, Chatelein bukan hanya membawa keluarganya, tetapi juga budak-budaknya.
Chastelein sangat menyukai tanah Seringsing karena sangat cocok sebagai tempat peristirahatan dan budidaya. Ia mendapatkan tanah tersebut seharga 350 rijksdaalders dari Karim, seorang putra kapiten orang Jawa, Tjitra Glidok.
Pada tahun yang sama ia memperluas tanah Seringsing hingga Kalibata dengan cakupan taman dan beberapa bangunan kayu yang digunakan para budak sebagai tempat tinggal. Di tikungan Ciliwung, sudah berdiri sebuah villa yang dijadikan sebagai tempat pelesirannya di luar Batavia.
Cornelis de Bruijn, seorang penulis dan pengelana mencatat kunjungannya pada 1706 ke Seringsing dalam bukunya Reizen over Moscovie door Persie en Indie. Ia melakukan perjalanan bersama Chastelin dan beberapa rombongan tamu dari tanah perkebunan di Weltevreden. Mereka lalu bergerak menuju selatan menyusuri sungai Ciliwung dengan berkuda dan sempat berganti dengan gerobak sapi karena medan yang berliku dan bergelombang.
Begitu tiba di Seringsing usai menaiki sampan yang melawan arus Ciliwung, De Bruijn melukiskan suasana tempat tersebut lewat kemahirannya. Ia menggambar kondisi perkebunan dengan latar sosok Chastelein yang dilindungi payung oleh seorang budak sedang mengawasi lahan dan ternak, termasuk bangunan-bangunan dan villa megahnya berlantai dua yang terbuat dari kayu jati.
Membangun Koloni yang Ideal
Pada 18 Mei 1696, Cornelis Chastelein membeli sebidang tanah di Depok dari Residen Cirebon, Lucas van der Meur, dengan harga 500 rijksdaalders.
Pada awalnya VOC menerapkan kebijakan yang sangat ketat mengenai kepemilikan tanah. Mereka tidak memperbolehkan penggantian kepemilikan tanah kepada pihak ketiga maupun pembelian tanah di luar wilayah Batavia. Alasannya untuk mengontrol dan mengamankan aset-aset mereka di Hindia Belanda. Namun seiring waktu, aturan tersebut mulai longgar.
Sebelumnya, pada bulan Februari 1696, Chastelein mendapatkan hadiah dari Pemerintah Belanda berupa lahan di Mampang. Hadiah serupa didapatkannya kembali pada tahun 1711 berupa sebidang tanah di Karang Anyer, sebagian kawasan yang kini disebut Cinere.
Mampang, Depok, dan Cinere, lokasinya sama-sama berada di tepi barat sungai Ciliwung. Statusnya sebagai warga biasa dimanfaatkan untuk mengembangkan Depok. Ia memiliki pandangan bahwa kemakmuran di satu koloni hanya dapat diwujudkan dengan membangun masyarakat pertanian.
Sebuah cita-cita ideal yang pernah ia tuangkan ke dalam memorandum berjudul “Invallende Gedaten” atau “Buah Pikiran” pada Juni 1705. Manifestonya itu ditujukan untuk menantang kebijakan komersial agresif Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn.
Chastelein mendukung otonomi bagi penduduk asli yang bertentangan dengan pandangan banyak kolonial sezamannya. Ia percaya bahwa memberikan otonomi akan membantu mempertahankan kontrol atas koloni dalam jangka panjang.
Pada tahun itu juga, Willem van Outhoorn selesai menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Chastelein kembali masuk VOC dan menjadi anggota Raad Van Indië, Dewan Luar Biasa Hindia Belanda yang menjadi pengawas dan penasihat Gubernur Jenderal VOC.
Di posisinya yang baru, ia menerima gaji sebesar 350 Gulden per bulan, 14 kali lipat dari gaji pertamanya saat bekerja pada 1675 sebagai juru catat Heeren Zeventian, 17 kongsi dagang yang melebur menjadi VOC.
Chastelein melihat potensi besar di wilayah Depok (mencakup Seringsing, Mampang, dan Karang Anyer), bukan hanya karena letaknya yang strategis tetapi juga karena kesuburan tanahnya yang cocok untuk kegiatan pertanian. Visi inilah yang mendorongnya untuk mengembangkan Depok sebagai kawasan permukiman yang terpadu dan produktif. Ia mampu mengubah sebidang tanah menjadi sebuah komunitas yang mandiri dan sejahtera.
Chastelein menjadi pemilik tanah yang juga bertugas sebagai penginjil. Ia membangun gereja kayu yang kemudian diperbarui menjadi Gereja Immanuel, bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Cornelis Chastelein juga memiliki kebijakan sendiri dalam mengatur tanahnya di Depok.
Salah satu langkah bijak yang diambil Chastelein adalah menetapkan Depok sebagai kawasan pertanian yang berbasis pada sistem perkebunan. Dia memanfaatkan lahan yang ada untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman, termasuk lada, kopi, tebu, dan sayur-sayuran.
Selain itu, Cornelis Chastelein juga dikenal karena pendekatannya yang inklusif terhadap budak-budaknya. Ia mampu menciptakan hubungan harmonis dan menguntungkan antara majikan dan budaknya, mempercepat proses integrasi sosial, dan memberikan rasa memiliki kepada penduduk Depok terhadap tanah dan keberlangsungan ekonomi yang mereka jalani.
Chastelein juga sangat memahami pentingnya aspek lingkungan dalam pembangunan. Ia melarang penggunaan tanah produktif di hutan-hutan yang ada di daerah antara Ciliwung dan Kali Krukut.
Kesadaran akan aspek pendidikan juga menjadi bagian dari visi Chastelein. Ia berusaha memperkenalkan tanaman pertanian baru, seperti kopi dan lada di perkebunannya. Ia juga mengutus budak-budaknya untuk mengajar pendidikan agama Kristen dan budi pekerti.
“...peran para guru agama yang sifatnya sukarela menjadi penting dalam mengajarkan murid-murid untuk belajar membaca dan berhitung,” tutur Yano Jonathans dalam bukunya Potret Sosial dan Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe (2011:83).
Surat Wasiat dan Sengketa Hak Eigendom Depok
Dua bulan usai membeli tanah di Depok pada tahun 1696, di usianya yang 39 tahun, Cornelis Chastelein menulis surat wasiat pertamanya yang berisi tentang nasib para budaknya di masa depan.
Surat wasiat tersebut disempurnakan pada tahun 1701 dengan penekanan bahwa Hindia Belanda seharusnya tidak hanya menjadi sumber keuntungan, tetapi juga harus menjadi koloni yang berkelanjutan dengan pengembangan masyarakat lokal.
Dalam surat wasiat versi ketiganya yang disesuaikan pada bulan Mei 1708, ia kembali menyempurnakan keteguhannya untuk memberi kebebasan pada para budaknya di Depok. Ia memberikan mereka kepemilikan kolektif atas perkebunan yang mencakup Mampang, Depok, Karang Anyer, dan dua persil tanah di sisi kiri sungai Ciliwung.
Memasuki tahun 1714, Batavia diserang wabah malaria karena buruknya kualitas air dan siinitasi. Sadar akan situasi, Chastelein lantas membuat surat wasiat keempat tertanggal 13 Maret 1714.
Memasuki bulan Juni, kondisi kesehatannya memburuk akibat terjangkit wabah. Ia meninggal sore hari di Batavia pada 28 Juni 1714. Surat wasiatnya secara garis besar lebih menekankan pembebasan budak-budak Kristennya yang terdiri dari 12 nama keluarga: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Loen, Leander, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh. Nama terakhir dianggap hilang karena tidak memiliki keturunan laki-laki.
Dari nama-nama tersebut, umumnya berasal dari nama-nama Alkitab setelah mereka dibaptis atau nama-nama yang populer di kalangan masyarakat Eropa pada masa itu. Mereka berasal dari Bali, Makasar, Surabaya, Koromandel, Lombok, dan Benggala dengan jumlahnya mencapai 150 hingga 200 orang budak. Mereka lalu dibebaskan dan diberikan bagian tanah warisan yang kemudian dikelola secara kolektif.
130 tahun setelah kematiannya, penafsiran surat wasiat tersebut mengalami sengketa ketika salah satu keturunan Chastelein, Grovinius bersaudara, menuntut haknya atas tanah Depok yang luasnya mencapai 1.244 hektare.
Klaim ini tentu saja memicu konflik dengan para mantan budak yang telah diberikan tanah warisan oleh Chastelein. Masing-masing pihak memiliki interpretasi yang berbeda terhadap isi wasiat Cornelis Chastelein.
Seturut Jan-Karel Kwisthout dalam buku Jejak-Jejak Masa Lalu Depok (2015:281), Grovinius bersaudara cenderung menafsirkan wasiat tanah Depok sebagai hak hasil pakai yang menurut Hukum Kuno Belanda hanya berlaku 100 tahun sejak kematian Chastelin. Mereka mengacu pada kutipan dari Resolusi Kastil Batavia yang dikeluarkan Raad van Indie pada 24 Juli 1714 saat menanggapi surat wasiat Chatelein yang meminta perlindungan hukum bagi Depok dan budak-budaknya.
Resolusi tersebut menunjuk Depok berada dalam keadaan hak pakai hasil bagi para penghuninya, sementara secara yuridis formal, anak Cornelis Chastelein, Anthony Chastelein dianggap sebagai pemegang pemerintahan.
Sedangkan dalam surat wasiatnya, Chastelein dengan jelas menyebut sebagai hak kepemilikan sepenuhnya kepada para budak yang ia bebaskan. Sedangkan di sisi lain, banyak dokumen kepemilikan tanah yang hilang atau rusak karena berbagai faktor sehingga menyulitkan dalam membuktikan hak kepemilikan.
“Hak huni dan hak pakai hasil dari masyarakat pertanahan Depok,” sambung Kwisthout, mengutip ulangan kalimat dalam surat wasiat Cornelis Chastelein.
Perselisihan ini memancing emosi keluarga mantan budak sebab memakan waktu hampir empat tahun, sejak Desember 1844 hingga putusan Mahkamah Agung tahun 1850 yang memutuskan menolak segala permohonan dan gugatan Grovinius bersaudara.
Hal serupa terjadi pada 1873 ketika pembangunan kereta api dari Batavia ke Buitenzorg memaksa lahan-lahan di Depok terkena imbasnya. Meski tidak bersentuhan dengan keluarga para budak yang dibebaskan Chastelein, masyarakat Depok saat itu hampir tidak mendapat ganti rugi karena tudingan yang dilakukan Weesmaker Batavia, instansi yang mengurus jawatan sepur tersebut.
Masyarakat Depok dianggap tidak berhak mendapat ganti rugi karena tanah Depok merupakan hak hasil pakai. Meskipun akhirnya pengadilan kembali memihak masyarakat Depok, hingga era setelah kemerdekaan Repubik Indonesia, hak-hak orang Depok kerap diwarnai perselisihan dan persengketaan tanah.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi