tirto.id - Salah satu jalan terpenting di Kota Depok adalah Jalan Margonda yang ramai dan kerap macet itu. Tempat-tempat kuliner, mal, dan tempat nongkrong tersedia di sepanjang ruas ini. Beberapa stasiun yakni Depok Baru, Universitas Indonesia, dan Pondok Cina, juga tak jauh dari Margonda. Jantung Kota Depok adalah Jalan Margonda. Sejarah Depok berdetak di sana.
Tapi apa atau siapa sesungguhnya Margonda?
Nama itu tak bisa dilacak tanpa menyebut pertempuran epik yang terjadi enam hari setelah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dalam pertempuran 16 November 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu, di Kalibata, Depok itulah Margonda tewas. Usia Margonda kala itu baru 27.
Menurut cerita dari sesama kombatan yang ditulis Wenri Wanhar dalam Gedoran Depok: Revolusi Sosial Di Tepi Jakarta 1945-1955 (2012), Margonda tewas dalam sebuah penyerbuan serdadu-serdadu Belanda yang menjaga penampungan orang-orang Belanda Depok pada 16 November 1945.
Ketika itu, Margonda hendak melempar granat, namun sebelum granat yang siap ledak itu terlempar dari tangannya, dadanya sudah tertembak peluru musuh. Granat itu akhirnya meledak dan menghancurkan tubuh Margonda sendiri.
Peristiwa itu terjadi di daerah Kalibata, perbatasan antara Kukusan dengan Sawangan. Tapi, jejak Margonda hilang. Ada yang menyebut dia dimakamkan satu liang bersama pejuang lainnya setelah peristiwa.
Di kalangan pejuang Depok, yang tersisa dari Margonda hanya ceritanya. Kematiannya pun, menurut Wenri, baru diketahui beberapa tahun setelahnya. Maemunah, sang istri, bahkan baru tahu Margonda meninggal empat tahun setelahnya. Ketika mendengar kabar suaminya meninggal, ibu dari Jopiatini ini tak percaya.
Ahli Kimia yang Belajar Jadi Pilot
Untunglah nama Margonda selalu diingat, meski hanya lewat cerita-cerita yang kurang terdokumentasi dan simpang-siur. Hal ini wajar, mengingat pertempuran di front Depok adalah satu dari sekian banyak front pertempuran yang melibatkan banyak pejuang Indonesia di masa perang kemerdekaan. Namun, Margonda tidak banyak ditulis secara khusus, termasuk dalam buku-buku sejarah.
Soal kelahirannya, Alwi Shahab dalam "Kisah Margonda dan Tole Iskandar" di RMOL (15/4/2013), menyebut Margonda lahir di Bogor. Keluarganya tinggal di Jalan Ardio. Margonda punya nama kecil Margana. Setelah dewasa, ia menikah dengan Maemunah, keponakan M.S. Mintaraja, pada 1943. Bersama istrinya, Margonda tinggal di Bogor hingga Revolusi Kemerdekaan Indonesia meletus.
Sementara itu, Wenri Wanhar dalam "Kisah Cinta Margonda" yang dimuat Historia (22/1/2014), menyebut Margonda lahir di Baros, Cimahi, pada 1918. Yano Jonathans dalam Depok Tempo Doeloe (2011) menyebut, di zaman kolonial Hindia Belanda, Margonda pernah mengikuti Analysten Cursus yang diadakan Indonesiche Chemische Vereniging—sekarang dikenal sebagai Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor.
Selain itu, Margonda juga pernah ikut kursus penerbangan di Luchtvaart Afdeeling (bagian penerbangan) Belanda jelang kekalahan Belanda. Kursus penerbangan yang dimaksud ini bisa jadi adalah kursus yang juga diikuti pendiri Angkatan Udara: Agustinus Adisutjipto.
Jika benar pernah dilatih sebagai pilot sebelum tahun 1942, Margonda setidaknya pernah sekolah setidaknya sampai tingkat menengah di zaman kolonial. Adisutjipto sendiri lulusan Algemeene Middelbare School (AMS) atau SMA. Tentu saja ada seleksi ketat yang harus diikuti kandidat.
Kemudian, tak semua yang disiapkan menjadi penerbang tempur militer Belanda itu kemudian benar-benar menjadi penerbang Belanda. Apalagi pada 8 Meret 1942 Hindia Belanda bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat kepada Balatentara Jepang di Kalijati Subang.
Setelah Belanda kalah, biasanya pemuda yang pernah dilatih militer dengan pangkat sersan apalagi letnan diawasi militer Jepang. Mereka yang berpangkat letnan biasanya tidak akan bisa ikut menjadi perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang latihannya perwiranya sendiri berada di Bogor.
Nekat Melawan Belanda
Di masa pendudukan Jepang, menurut catatan Yano Jonathans, Margonda bekerja di lembaga pertanian di Bogor untuk menyambung hidupnya dan keluarganya. Setelah proklamasi kemerdekaan, Margonda menjadi pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di Bogor.
Markasnya di Jalan Merdeka, Bogor. AMRI beranggotakan pemuda pendukung Republik Indonesia yang baru berdiri. Ketika itu Tentara Keamanan Rakyat belum terbentuk.
Organisasi ini tak berumur lama. Beberapa laskar bersenjata, yang berisi para pemuda kemudian bermunculan seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) atau Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang juga berkembang di sekitar Bogor.
AMRI boleh bubar, namun pemuda-pemuda sudah banyak yang masuk ketentaraan dan juga laskar-laskar perjuangan. Soal bagaimana Margonda terlibat dalam revolusi, Alwi juga cerita yang agak berbeda. Menurutnya, Margonda masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
“Waktu revolusi fisik, Margonda masuk anggota BKR di Bogor. Setelah mengikuti pendidikan kemiliteran secara singkat, ia dimasukkan ke Batalion Kota Bogor dengan pangkat letnan muda. Dari Bogor, ia naik kereta api dan bergabung dengan pasukan Batalion I di Depok. Ketika gugur di Kalibata, Jakarta Selatan, bersama rekannya Sutomo mayatnya dibawa ke Bogor tempat kelahirannya,” kata Alwi Shihab.
Batalyon I yang berada di Depok itu berada di bawah pimpinan Ibrahim Adjie. Pangkatnya ketika itu Letnan. Adjie kelak menjadi Panglima KODAM III Siliwangi sampai akhir kepresidenan Soekarno. Selain Ibrahim Adjie, komandan lain yang cukup dikenal di front Depok Bogor adalah Alex Kawilarang.
Kawilarang belakangan juga menjadi Panglima Siliwangi sebelum Adjie. Dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih (1988), Alex Kawilarang bercerita soal senapan mesin Bren yang tertinggal di sungai ketika saat dikejar tentara Belanda, senapan yang kemudian harus mereka cari lagi beramai-ramai.
Jika mengikuti penelusuran Alwi Shihab, kemungkinan dengan BKR-lah Margonda bertempur di front Depok di hari nahas itu. Pasukan yang bisa dibilang sangat kekurangan senjata, apalagi menghadapi militer Belanda yang profesional. Begitu juga logistik lainnya.
Tentu saja, pemuda pejuang macam Margonda butuh nyali dan usaha lebih untuk bertempur melawan militer Belanda dan Sekutu yang persenjataannya serba-lengkap. Tanpa punya banyak keterampilan bertempur dan persediaan peluru, pemuda Margonda yang pro-Republik ini membawa modal bernama semangat yang mewujud menjadi aksi nekat.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 18 Oktober 2016 dengan judul "Kisah Margonda, Pejuang yang Mati Muda di Front Kalibata". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Maulida Sri Handayani