tirto.id - Dwi Karisma paham cara menembus Margonda Raya tanpa terlambat di kantor. Setiap hari, Risma, demikian ia akrab dipanggil, harus bangun pagi buta, bersiap-siap ke kantor, lantas berjibaku dengan waktu dan jalanan agar tak telat tiba di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.
“Mau enggak mau. Rutinitas semacam ini harus dijalani. Ada enaknya, ada enggak enaknya juga. Toh, saya enggak sendirian. Ada temen-temen lain yang sama seperti saya. Jadi, enggak kerasa menyedihkan,” jelasnya sembari tertawa.
Perempuan 27 tahun ini tinggal di Grand Depok City. Biasanya, ia memacu mobilnya sejak pukul 5 pagi demi menghindari kemacetan dan keterlambatan (kantornya masuk jam 8).
“Paling males sama yang namanya macet di jam-jam masuk kerja. Makanya aku bela-belain berangkat lebih awal supaya enggak kena macet,” kata dia. “Meskipun ujung-ujungnya kena macet juga. At least, enggak parah.”
Hal senada diungkapkan Fahruzzie Ryan, bekerja sebagai penjaga toko jam di Jakarta Selatan. Meski jam masuk kerjanya tak sepagi Risma, Ryan yang tinggal di Sawangan mengaku berangkat lebih awal agar “tak terlalu lama di jalan”.
“Soalnya ribet pas macet itu,” katanya di depan salah satu rumah makan dekat Pondok Cina.
Margonda Raya: dari Sawah ke Kantor
Baik Risma maupun Ryan sama-sama memilih berangkat subuh. Tapi bisakah mereka menghindari macet? Sayangnya tidak.
Di Depok, titik kemacetan tersebar di berbagai wilayah. Mulai jalan Dewi Sartika, Juanda, Sawangan Raya, sampai daerah Tanah Baru.
Namun, deretan nama di atas hanyalah permulaan. Apabila Anda berkendara ke Jakarta lewat rute “normal”, Anda akan menjumpai titik kemacetan yang tak kalah mengerikan—mungkin paling mengerikan dibanding kawasan lainnya—bernama Margonda Raya.
“Aku sampai heran, meski udah berangkat pagi, tapi masih aja kena macet. Keluar dari rumah, langsung disambut macet di Margonda,” kata Risma.
Margonda Raya merupakan salah satu jalan utama penghubung Depok dan Jakarta dengan panjang sekitar 4 km. Tri Wahyuning M. Irsyam lewat Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an menjelaskan, pusat pemerintahan Depok semula di Kecamatan Pancoran Mas. Lantas pindah ke Margonda ketika Depok berubah jadi kota administratif. Pada 1960-an, Margonda masihlah lahan pertanian.
Perubahan status itu membuat kawasan Margonda dipermak dengan bermacam pembangunan seperti kantor wali kota, kepolisian, rumah sakit, hingga pusat perbelanjaan. Pada 1980, status Jalan Margonda berubah menjadi jalan utama. Kondisi di sekitar Margonda semakin sumpek ketika Universitas Indonesia dipindahkan ke Depok dari Salemba pada 1987.
Seiring waktu, kepadatan di Margonda sulit dibendung. Pembangunan kian masif untuk mendukung status Margonda sebagai “jantung Depok.” Awalnya hanya kantor pemerintahan, merembet ke pembangunan hotel, bisnis, hingga kuliner.
Kemacetan: Buah Pembangunan
Kepadatan di Margonda dari tahun ke tahun, tanpa pola perencanaan kota yang baik, bikin kawasan itu macet.
Kemacetan di Margonda tak kenal waktu, baik pada hari kerja, akhir pekan, maupun tanggal merah. Sejak matahari terbit hingga tenggelam, koridor Margonda tak henti-hentinya dijejali kendaraan dari Jakarta maupun ke arah Depok.
Siklus kemacetan di Margonda Raya bisa dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama pada pagi hari. Selama pukul 06.00 sampai 09.00, jalanan Margonda dipenuhi orang-orang yang mau berangkat kerja—baik di Depok atau Jakarta—dan menuju ke sekolah. Ia memuncak menjelang pukul 9.00: Di beberapa ruas, antrean panjang luar biasa dan gerak kendaraan semakin terbatas.
Apabila anda melintasi Margonda pada jam ini, jarak tempuh yang normalnya bisa 15-20 menit bisa naik dua kali lipat. Motor hanya mampu melaju dengan kecepatan maksimal 20-30 km/jam.
Fase kedua pada siang hari. Kendati antrean tak sepanjang pagi hari, jalanan Margonda Raya tetap dirayapi kendaraan. Fase ketiga pada sore hari: gelombang kendaraan dari Jakarta memasuki Depok lewat Margonda, memuncak antara pukul 17.00 dan 19.00.
“Puncak macet di Margonda memang pagi dan malam. Selain kedua waktu itu, bukan berarti tanpa macet. Ada macet, tapi tidak separah pagi dan malam,” ujar Sugeng, polisi lalu lintas di Pos Pantau Juanda.
Anton, pegawai Dinas Perhubungan Kota Depok yang bertugas di pertigaan Arief Rahman Hakim dan Margonda Raya, mengatakan bahwa kemacetan di malam hari adalah puncak dari segala kemacetan di Depok.
“Karena cukup banyak kejadian yang enggak bisa diprediksi. Banyak pengemudi yang ugal-ugalan juga,” kata Anton.
Untuk akhir pekan, situasinya setali tiga uang. Jumlah kendaraan tetap saja ramai di Margonda Raya.
Titik-titik kemacetan di Margonda termasuk di ruas depan Terminal Margonda Depok, di dekat kantor wali kota. Di kawasan ini, selain terminal, ada ITC Depok.
Terminal Depok menjadi titik kemacetan karena puluhan angkot yang ngetem mengakibatkan penumpukan kendaraan. Terlebih di depan terminal ada lampu lalu lintas, bikin arus kendaraan tertahan.
Eddy Suparman dari Dinas Perhubungan Kota Depok mengakui Terminal Depok adalah "salah satu titik kemacetan parah" di sepanjang Margonda Raya.
Titik kemacetan lain ada di pertigaan Juanda, Margonda Raya, dan di depan Depok Town Square (Detos) dan Margo City.
Kemacetan di dua kawasan belanja itu tak terhindarkan karena begitu kendaraan keluar dari Detos dan Margo City akan bertemu kendaraan dari jalan Margonda. Situasi makin ruwet ketika banyak pengendara motor (baik ojek online maupun pengendara biasa) berhenti di bahu jalan, mengabaikan tanda larangan parkir atau setop.
Di Pondok Cina pun sama. Di kawasan pertokoan, kuliner, dan pusat belanja ini, angkot yang saling ngetem, mobil dan motor berhenti sembarangan sudah jadi pemandangan lazim.
Akhirnya, kemacetan di Margonda Raya terlanjur menyatu dengan denyut nadi masyarakat Depok.
“Saya berusaha berangkat pagi seperti tidak ada manfaatnya karena, pada akhirnya, saya harus menjumpai macet di mana-mana,” kata Fahruzzie Ryan. “Enggak di Jakarta, enggak di Margonda.”
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf