tirto.id - Saat dijumpai Tirto pada Rabu keempat Januari lalu, Eddy Suparman dari Dinas Perhubungan Kota Depok mengatakan bahwa secara umum kemacetan di Depok disumbang oleh tiga variabel: infrastruktur jalan, jumlah kendaraan, dan populasi penduduk.
“Tiga hal tersebut saling berkaitan satu sama lain, semua menyumbang porsi. Untuk jalan, kuantitas yang dimiliki Depok masih kurang. Sementara jumlah penduduk dan kendaraan terus meningkat,” kata Eddy.
“Otomatis terjadi over capacity, menyebabkan kemacetan di mana-mana.”
Lantas, apa yang penyebab khusus kemacetan di Margonda, jantung Kota Depok?
“Arah pembangunan di Depok terlalu berpusat di Margonda. Apa-apa yang dituju adalah Margonda. Mulai dari belanja, hiburan, sampai pendidikan. Efeknya Margonda jadi padat. Ujung-ujungnya malah bikin macet,” paparnya.
Jurus Mengusir Macet: Pelebaran Jalan sampai Rekayasa Lalu Lintas
Kemacetan akut di Margonda Raya memaksa pemerintah Kota Depok memutar otak. Menengok ke belakang, beberapa cara telah ditempuh Pemkot Depok.
Pada 2012, saat wali kota dijabat Nur Mahmudi Ismail (2006-2016), Pemkot Depok menganggarkan Rp12 miliar guna melebarkan jalan Margonda, khususnya di area dekat balai kota sampai pertigaan Jalan R.A. Kartini.
Anggaran dari dana publik itu juga digunakan untuk pengerukan, pengaspalan, perbaikan drainase, penanaman pohon, dan pemasangan lampu jalan.
Pemkot Depok menata bangunan di sepanjang sisi jalan Margonda, salah satunya dengan mengatur jarak dari bahu jalan: jarak 15 meter untuk pusat perbelanjaan, dan 10 meter untuk pertokoan.
Pelebaran dan penataan kawasan Margonda tersebut, dalam istilah birokrat Pemkot Depok saat itu, karena “tak mampu menampung arus kendaraan lagi.”
Pada 2016, kala pucuk kepemimpinan Depok beralih ke Mohammad Idris—juga sama-sama politisi dari PKS sebagaimana inkumben Mahmudi Ismail, upaya menghalau kemacetan di Margonda kembali dihelat. Sasaran proyek pelebaran jalan kali ini adalah kawasan Margonda yang dekat pintu gerbang masuk Depok.
“Proyek ini digunakan untuk mengatasi kemacetan. Maka, jalan yang ditempuh adalah dengan melebarkan jalan agar warga yang datang dari Lenteng Agung menuju ke sini [Depok via Margonda] enggak macet,” ujar Idris.
Laman resmi pemerintah kota Depok melaporkan, proyek ditargetkan kelar pada 27 Desember 2016, dengan total anggaran Rp15-19 miliar.
Selain itu, pada 2017, menggandeng Polres Depok dan Dinas Perhubungan, Pemkot Depok mengambil sejumlah langkah seperti menutup beberapa jalur u-turn (putar balik) hingga memberlakukan sistem contra flow di Margonda.
Selama akhir pekan, beberapa jalur u-turn ditutup supaya kendaraan tak menumpuk di satu titik putaran arah. Sementara penerapan contra-flow adalah mengurai dan mengatasi macet pada pagi dan sore hari—terutama di Jalan Juanda serta Margonda. Contra flowdiberlakukan pada pukul 06.00-08.00 dan pukul 16.00-18.00. Contra flow hanya diterapkan pada hari kerja.
Pemkot juga menempuh cara lain seperti manajemen rekayasa lalu lintas, pemasangan median jalur lambat, hingga menerjunkan petugas lapangan untuk mengatur kemacetan di Margonda.
Menurut keterangan Dinas Perhubungan, penambahan batas jalur di Margonda untuk mengurangi risiko kemacetan dan angka kecelakaan. Jalur lambat dikhususkan untuk kendaraan angkot dan sepeda motor. Dengan median jalur lambat, jalanan Margonda terbagi empat seperti sekarang.
Bagaimana penerapannya di lapangan? Eddy Suparman dari Dinas Perhubungan Kota Depok mengatakan, "... Mungkin sekarang masih ada yang melanggar, tapi di waktu mendatang kami akan tindak tegas saat melihat mobil menyerobot masuk jalur lambat ... karena malah semakin memperburuk. Mobil, ya, tetap di jalur lancar.”
Gagal Mengurangi Kemacetan
Meski ada upaya-upaya dari Pemkot Depok, Margonda Raya tetap saja macet, seolah-olah tak ada yang berubah sedikit pun.
Menurut catatan Dinas Perhubungan, Jalan Margonda telah jenuh: di atas 0,8. Dalam skala ini, semakin mendekati angka 1, ruas jalan kian padat dan macet.
“Margonda memiliki indeks kejenuhan mencapai 0,89. Angka ini sangat tinggi dan menandakan kemacetan sering terjadi,” kata Eddy.
Problem lain: selama ini pembangunan Kota Depok masih terpusat di Margonda, dan pemkot Depok sendiri tak membangun sistem jaringan transportasi massal.
Untuk poin pertama, data yang tersedia pada 2015 menunjukkan jumlah bangunan di Margonda (hiburan, perdagangan, dan kuliner) mencapai 600-an. Ia menyedot orang ramai ke Margonda. Ada anggapan: Semua kebutuhan bisa dipenuhi di Margonda.
Endrawati Fatimah, dosen perencanaan wilayah kota dari Universitas Trisakti, mengatakan pembangunan mesti disebar, bukan terpusat. Menurutnya, distribusi pembangunan yang merata adalah kunci.
“Kita bicara teori terlebih dulu. Memang pusat kota di tengah, lalu membuat sub-sub lain untuk mendukung pusat kota itu. Permasalahannya: kota-kota di Indonesia tak direncanakan dengan baik. Kota-kota berkembang dulu dengan bermacam pembangunan seperti perumahan, pusat perbelanjaan, dan lain-lain, baru dibuat rencana pendukungnya. Hampir sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dibangun dari nol. Contohnya, ya, Depok ini,” ujar Endrawati.
Pendapat senada diutarakan Nurrohman Wijaya dari Kelompok Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan (P2PK) Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB. Menurutnya, sudah saatnya Pemkot Depok mengatur penggunaan lahan agar titik kepadatan menyebar ke beberapa wilayah lain. Nurrochman menambahkan, apabila langkah itu mustahil, pemerintah bisa fokus mengurangi hambatan jalan.
Poin selanjutnya ketersediaan sistem jaringan transportasi publik. Faktor ini adalah vital semata dalam menangani kemacetan. Transportasi publik yang layak dan terakses bisa menarik warga dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Kota Depok tak memiliki sistem transportasi massal yang komprehensif. Satu-satunya angkutan umum adalah angkot. Itu saja, mengutip catatan Dinas Perhubungan, hanya tersisa 30 persen lantaran pelbagai faktor—dari modal minim sampai disrupsi bisnis ojek online.
“Ini juga jadi masalah klasik kota-kota satelit macam Depok, Bogor, atau Bekasi. Mereka tidak mempunyai transportasi massal yang memadai. Kalaupun ada, itu hanya angkot dengan kemampuan yang kurang maksimal,” kata Endrawati.
Endrawati menambahkan, permasalahan macet di Margonda adalah dampak dari perkembangan wilayah metropolitan di Jabodetabek. Secara teoritis, ia menerangkan, kota metropolitan dibagi menjadi dua: kota inti (Jakarta) dan kota satelit (Depok sampai Tangerang).
Namun, dalam perkembangannya, kota satelit berubah jadi metropolitan, menanggung dan mengatasi segala problem akut seperti kemacetan hingga kepadatan penduduk, yang sayang tak diimbangi strategi penyelesaian masalah layaknya kota metropolitan.
Akibatnya, perkembangan ini direspons gagap oleh pemerintahan kota-kota satelit, bahkan melahirkan kebijakan-kebijakan salah kaprah, dalam perencanaan wilayah kota.
Kemacetan di Margonda timbul sebagai efek pergeseran dan fungsi. Sejak dipilih menjadi pusat kota pada 1980-an, Margonda berubah cepat; semula sawah lalu menjadi gedung-gedung pemerintahan, hiburan, hingga perdagangan. Perubahan ini bikin terpusatnya aktivitas warga di satu tempat, kepadatan penduduk, dan akhirnya kemacetan.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf