Menuju konten utama
Yurgen Alifia Sutarno

"Depok Tak Punya Masterplan yang Jelas untuk Mengatasi macet"

Sementara Jakarta sudah merancang MRT, Pemkot Depok masih bertumpu pada "rekayasa lalu lintas" untuk mengurai macet.

Yurgen Alifia Sutarno, pemerhati kebijakan Kota Depok, menulis riset bertajuk "Zero Waste City: A Great Challenge for Depok". tirto.id/Sabit

tirto.id - Perubahan fungsi lahan, sentralisasi infrastruktur ekonomi, serta tingginya arus kendaraan telah membuat Margonda macet sepanjang waktu, dari pagi, siang, malam, hari kerja, akhir pekan, hingga tanggal merah.

Mustahil menghilangkan kata macet dalam setiap pembicaraan tentang Margonda dan Kota Depok.

Pemkot Depok pun tidak memiliki masterplan yang utuh, detail, dan komprehensif untuk mengatasi problem akut tersebut.

“Masalahnya adalah pemerintah Depok tidak punya blueprint menangani kemacetan. Setiap kemacetan selalu ditindaklanjuti dengan penanganan parsial, bukan menyeluruh. Entah melebarkan jalan atau membangun separator,” kata Yurgen Alifia Sutarno, pemerhati kebijakan Kota Depok kepada Tirto, yang menulis riset bertajuk "Zero Waste City: A Great Challenge for Depok." (Yurgen juga menulis kolom untuk Tirto, 'Sampai Kiamat, Depok akan Tetap Macet')

Dihubungi Faisal Irfan dari Tirto pada Kamis keempat Januari lalu, penyandang gelar MPP (Master of Public Policy) dari Blavatnik School of Government, University of Oxford, ini berbagi pendapat tentang kemacetan di Depok dan Margonda. Berikut petikannya.

Apa masalah utama yang dihadapi Kota Depok dalam mengatasi kemacetan?

secara utuh, Depok tak punya rencana induk untuk mengatasi kemacetan. Istilahnya, Depok tak punya masterplan yang jelas untuk mengatasi persoalan macet. Antara memang tidak punya atau mungkin punya tapi tak diterapkan. Faktor itu yang membuat penataan primer mengatasi kemacetan tak berjalan dengan benar karena tidak ada masterplan. Walhasil, dalam mengatasi macet, Depok selalu merespons secara parsial dan selalu bertumpu pada rekayasa lalu lintas.

Sebagai contoh, ya, Margonda itu. Baru-baru ini Pemkot Depok membangun separator jalan yang menjadikan jalanan di Margonda dibagi antara jalur lambat dan jalur lancar. Tapi, pemerintah Depok tak punya indikator apakah pemasangan separator itu dapat mengurangi kemacetan atau tidak? Apakah pemasangan separator itu mampu mengurangi derajat kejenuhan jalan atau tidak? Pemerintah Depok tak bisa memberi bukti hal ini. Jadi, kesannya, pemerintah hanya menerapkan kebijakan tanpa ada hal-hal yang merinci di bawahnya.

Jadi, bisa dibilang, apa pun langkah Pemkot Depok mengatasi macet bakal nihil hasilnya selama tidak punya masterplan?

Betul. Saya kasih contoh lagi. Pada pertengahan 2016, Wali Kota Depok Mohammad Idris menyatakan Jalan Raya Sawangan tak perlu dilebarkan. Pernyataannya untuk tidak melebarkan Jalan Sawangan berangkat dari kajian para ahli yang menyatakan pelebaran tak mampu mengurangi kemacetan di Sawangan secara signifikan. Lalu, setahun kemudian, Idris kembali berujar. Kali ini, ia mengatakan: “Kita harus segera memperlebar Jalan Raya Sawangan.”

Lha, ini bagaimana bisa dalam setahun ia mengeluarkan pernyataan berbeda atas satu topik yang sama? Padahal, Jalan Raya Sawangan itu jalan nasional. Jika ingin melebarkan jalan tersebut, harus mendorong pemerintah pusat untuk melakukan hal sama.

Dari sini sebetulnya Pemkot Depok tak punya rencana detail. Mereka hanya melakukan penanganan kemacetan secara parsial dan tidak terkonsep.

Kasus sama juga bisa lihat Margonda dari 2008 sampai sekarang: pemerintah selalu rutin menambah dan memperlebar ruas jalur. Dari semula enam jalur pada 2008, berubah dua kali lipat pada 2012.

Pemkot Depok selalu bersikukuh untuk mengatasi kemacetan adalah menambah atau membangun jalan baru, sebab keberadaan jalan sekarang tak seimbang dengan volume kendaraan.

Itu pemikiran yang payah. Tapi, anggapan pemerintah Depok seperti itu memang sudah terekam sejak dalam penyusunan RPJMD (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Di dalam RPJMD Kota Depok, pemerintah meyakini bahwa membangun infrastruktur jalan harus mengikuti pertumbuhan jumlah kendaraan. It’s impossible.

Mengapa? Karena anggaran ruang vital tidak ada. Pemkot Depok tak punya uang untuk membangun itu. Anggaran telah habis digunakan untuk penambahan kapasitas dan perawatan jalan.

Sebagai perbandingan, anggaran DKI itu Rp77 triliun. Depok hanya Rp3 triliun. Padahal beban Depok tidak main-main dalam menyangga Jakarta. Pada 2010, Depok merencanakan pembangunan jalan sepanjang 1.800-an km, nyatanya, saat ini yang terbangun hanya 400-an km.

Yang perlu diperhatikan adalah penelitian empiris sudah membuktikan: menambah jalan tak mengurangi kemacetan. Namun, jika memang Pemkot Depok bersikukuh untuk membangun jalan lagi, ya, penerapannya harus tegas. Maksudnya adalah pembangunan jalan hanya ditujukan untuk, misalnya, angkot atau transportasi umum lain. Selama fungsi jalan masih digunakan untuk kendaraan pribadi, Depok hanya menambah dan menumpuk kemacetan di titik-titik yang baru.

Saya agak heran ketika melihat Dinas Perhubungan dan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) rutin menjalin komunikasi dengan pemerintahan kota satelit lain (Bogor, Bekasi, dan Tangerang) maupun pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk membahas persoalan kemacetan, tapi mereka seperti tidak paham bahwa solusi yang mereka pegang—dengan menambah jalan—itu bakal menambah kendaraan juga.

Semestinya, Pemkot Depok mulai beralih ke penanganan yang sifatnya mampu mengurangi kemacetan secara signifikan.

Coba lihat bagaimana Jakarta mengubah strateginya dengan membangun sistem jaringan transportasi massal seperti MRT dan LRT setelah bertahun-tahun menghabiskan anggaran tak sedikit untuk membangun jalan, tapi masalah macet tidak pernah selesai-selesai.

Itu yang semestinya dilakukan Depok. Tapi, catatannya: Depok harus punya masterplan yang jelas terlebih dahulu sebelum beranjak ke sana. Itu modal yang krusial.

Apa yang bisa dilakukan untuk menekan kemacetan di Margonda?

RPJMD menyebutkan pertumbuhan ekonomi Depok mencapai 7 persen tiap tahun. Angka yang cukup tinggi. Dari 7 persen itu, kebanyakan disumbang oleh niaga dan jasa seperti restoran, properti, sampai percetakan. Hal ini tak lepas dari aktivitas di Margonda yang ditopang banyak lini dari pemerintahan sampai universitas (UI dan Gunadarma).

Saya berpendapat, Margonda dibiarkan saja menjadi pusat Kota Depok. Yang perlu dilakukan menatanya dengan lebih komprehensif lagi. Selain itu, Pemkot Depok harus berani membuat pusat-pusat baru di daerah lain, misalkan, di Sawangan atau Cipayung. Tujuannya, supaya kegiatan perekonomian tak hanya berpusat di Margonda. Sembari membangun pusat-pusat baru itu, pemerintah bisa menata Margonda dengan baik.

Tapi, Pemkot Depok juga bisa menempuh langkah lain seperti membangun jalur pedestrian dan sepeda di Margonda. Ini meniru langkah kota-kota besar di dunia seperti London ataupun Zurich; mereka mempersulit akses kendaraan pribadi dan mengutamakan jalan untuk pedestrian.

Nantinya, apabila ada orang memakai kendaraan ingin mengunjungi restoran atau tempat perbelanjaan di Margonda, mereka misalnya harus memarkirkan kendaraan di Margo atau tempat parkir pusat lain. Baru setelah itu, orang-orang bisa berjalan kaki di jalur pedestrian. Memang akan menyulut kontroversi, tapi pemerintah Depok harus berani mengambil langkah-langkah semacam ini guna menekan kemacetan yang sudah mengakar di kawasan Margonda.

Selain itu, bisa juga menerapkan Travel Demand Management (TDM). Ini strategi untuk mengurangi kemacetan. Ada dua langkah yang harus dilakukan bersamaan agar TDM berhasil dilakukan.

Pertama, push and pull policy. Artinya, mendorong warga meninggalkan kendaraan pribadi. Caranya bisa dengan mempersempit ruang gerak dan kenyamanan mereka (jalan mobil dipersempit untuk trotoar, pajak progresif, serta tarif parkir tinggi). Di saat bersamaan, pemerintah mesti melakukan pull: menarik warga untuk menggunakan kendaraan umum.

Kedua, naikkan supply dan turunkan demand. Pemerintah harus naikkan supply kendaraan umum dengan pelayanan prima dan mesti menekan demand kendaraan pribadi. Tapi, pemerintah Depok tak bisa menerapkan kebijakan ini karena mereka enggak punya sistem angkutan massal yang reliable.

Transportasi massal di Depok, yakni cuma angkot, dikritik karena bikin macet...

Keberadaan angkutan massal di kota-kota maju berfungsi untuk solusi kemacetan. Tapi, Indonesia berbeda. Di sini, tak jarang, angkutan massal malah jadi penyebab kemacetan. Pertanyaannya: bagaimana bisa?

Ada kesalahan sistem. Selama ini, di Depok, angkutan massal—dalam hal ini angkot—masih bersaing bebas serta berorientasi pada profit. Dari situ seperti kita lihat: angkot banyak ngetem untuk mencari penumpang di titik-titik tertentu, yang jadinya malah bikin kemacetan.

Untuk menyiasatinya, angkot harus dikumpulkan dalam satu wadah. Dikelola dalam satu payung supaya tidak ada persaingan antar-angkot seperti yang kita lihat selama ini di Depok. Setelah berhasil dikelola, baru dicari bagaimana strategi agar bisa menghasilkan profit setelah memenuhi fungsi sebagai penyedia jasa masyarakat. Karena pada dasarnya angkutan umum harus dikelola seperti itu dan tidak berlandaskan profit semata. Transportasi umum harus mengutamakan kepentingan orang banyak dibanding keuntungan. Ini yang belum terjadi di Depok.

Selain itu, pemerintah juga bisa membangun infrastruktur penunjang keberadaan angkot. Di Margonda, yang sering jadi lokasi macet, bisa didirikan halte tiap 500 meter. Bangun 8 halte sepanjang jalur Margonda sudah cukup untuk mengurai macet. Angkot hanya bisa berhenti di situ. Masalahnya, kan, sekarang dengan adanya separator dan imbauan kepada angkot untuk berhenti di jalur lambat seolah tidak berguna karena logikanya angkot bisa berhenti di mana saja selama ada penumpang di pinggir jalan. Ujung-ujungnya macet lagi.

Apa kendala untuk mewujudkan hal itu?

Saya pikir ada semacam tawar-menawar politik yang cukup besar di Organda (Organisasi Angkutan Daerah). Mereka merasa nyaman dengan sistem sekarang: ada persaingan antara satu angkot dan angkot lain yang mengejar keuntungan. Mereka beranggapan yang penting untung.

Ini menjadi tugas pemerintah bagaimana bisa meyakinkan para pemangku kepentingan di Organda atau tidak supaya mau dilebur dalam satu pengelolaan. Tapi, sebelum ke arah sana, pemerintah harus punya blueprint yang jelas terlebih dahulu mengenai pengendalian kemacetan di Margonda maupun Depok secara keseluruhan.

Bagaimana dengan menjamurnya proyek perumahan untuk menampung penduduk?

Tidak bisa dipungkiri itu berpengaruh dalam menciptakan kemacetan secara makro di Depok. Populasi Depok sendiri memiliki angka pertumbuhan 4 persen selama setahun dan itu menjadi masalah apabila tidak dikelola secara baik. Dampaknya jelas, jika tidak ditata, berujung kemacetan dan menciptakan titik-titik baru banjir.

Kendati pertumbuhan populasi ini tidak bisa dibendung, pemerintah bisa mencari solusi dengan menciptakan keterhubungan antara perumahan-perumahan yang tersebar dan sistem transportasi. Jika seperti itu, akan bisa mengurangi kendaraan karena orang-orang mulai mengandalkan sistem transportasi massal yang melintasi rumahnya.

Pada dasarnya, penyelesaian masalah macet di Depok itu cuma satu: pemerintah harus punya masterplan yang jelas dengan detail-detail pelaksanaan yang mumpuni. Tidak sebatas reaktif atau parsial. Semua langkah harus terhubung dan terencana secara besar. Punya sistem, bangun transportasi massal yang terintegrasi dengan baik ke wilayah-wilayah Depok, serta ciptakan pusat-pusat ekonomi baru selain di Margonda.

Rencana nomor satu, baru kemudian anggaran. Ini semestinya jadi peringatan untuk masyarakat Depok bahwa selama 15 tahun terakhir Depok dipimpin di bawah Idris dan gangnya, masalah macet tidak terkendali dengan baik. Itu artinya, selama 15 tahun terkini, tidak ada terobosan yang mumpuni dari pemerintahan berkaitan dengan penyelesaian macet. Ini yang cukup memprihatinkan.

Baca juga artikel terkait DEPOK atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Indepth
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf