Menuju konten utama

Sawangan Amburadul, Kok Bisa Depok Raih Kusala Transportasi?

Warga dan ahli kebijakan publik menilai penghargaan sekto transportasi yang diterima Pemkot Depok tidak tepat.

Sawangan Amburadul, Kok Bisa Depok Raih Kusala Transportasi?
Kemacetan di Kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pemerintah Kota (Pemkot) Depok baru-baru ini mendapatkan penghargaan sektor transportasi, Wahana Tata Nugraha (WTN), dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Penghargaan itu seakan tak sesuai fakta di lapangan.

Pasalnya, kawasan Sawangan dan Jalan Margonda acap kali membuat pusing warga Depok lantaran kemacetan yang terjadi. Hal itu jelas menunjukkan bahwa sektor transportasi publik di Depok masih jauh dari memadai.

Lantas, bagaimana Pemkot Depok bisa mendapatkan penghargaan di sektor transportasi?

Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok, Zamrowi, mengatakan bahwa penghargaan WTN diberikan karena penilaian terhadap sejumlah aspek transportasi. Beberapa poin penilaiannya mencakup kondisi jalan kota, jalan provinsi, hingga jalan nasional yang membentuk jaringan transportasi terintegrasi.

Menurut Zamrowi, Pemkot Depok semula mengajukan ruas jalan yang akan dinilai agar bisa mendapatkan WTN. Ruas jalan yang diajukan terdiri dari jalan kota, jalan nasional, serta jalan provinsi.

"Penilaian WTN itu ada spot-nya, ada titik penilaiannya. Jadi, kami mengajukan penilaian mulai dari Jalan M. Yasin, masuk ke Margonda segmen tiga, itu adalah jalan kota. Kemudian, Jalan Juanda dan masuk lagi ke Margonda segmen dua, itu jalan nasional," tutur Zamrowi dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (12/9/2024).

"[Lalu] Jalan Arif Rahman Hakim, lalu Jalan Nusantara, itu juga jalan nasional. Jalan Dewi Sartika yang merupakan jalan provinsi dan kembali lagi ke Margonda. Semua ini membentuk sebuah jaringan," lanjut dia.

Zamrowi mengatakan bahwa terdapat sejumlah variabel yang dinilai dari ruas-ruas jalan yang diajukan tersebut. Misalnya, transportasi dan lalu lintas yang ada di jalan, rambu-rambu, trotoar, penerangan jalan umum (PJU), marka jalan, jalur sepeda, lampu lalu lintas, dan keberadaan transit oriented development (TOD).

Variabel selanjutnya adalah ketersediaan angkutan umum masal, seperti commuter line, LRT, BISKITA Trans Depok, Microtrans Depok, kamera CCTV, dan pengendalian lalu lintas melalui area traffic control system (ATCS).

Dia mengatakan bahwa proses penilaian atas sejumlah ruas jalan yang diajukan berlangsung selama dua tahun. Pada tahun pertama, Pemkot Depok mengajukan ruas jalan untuk dinilai.

"Lalu, mereka [Kemenhub] melakukan verifikasi data lapangan. Pada tahun kedua, jika lolos, kami melakukan presentasi," ucap Zamrowi.

Setelah itu, Pemkot Depok diputuskan berhak mendapat penghargaan WTN beserta lima kota lain, yakni Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Palembang, dan Bandung.

"Alhamdulillah, Depok mendapatkan piala. Menurut kami, ini adalah pengakuan bahwa upaya yang telah kami lakukan dan sistem yang telah kami bangun dihargai," tutur Zamrowi.

Meski demikian, Zamrowi menyadari bahwa kabar penghargaan WTN itu mendulang banyak komentar sinis di media sosial. Terlebih, kenyataanya jalanan Depok masih sering mengalami kemacetan.

Soal itu, Zamrowi berdalih bahwa setiap kota besar pasti memiliki masalah yang sama. Menurutnya, mengurangi kemacetan bukan hanya tugas pemerintah. Dia menyebut butuh kesadaran masyarakat juga untuk lebih sering menggunakan transportasi umum.

"Yang penting adalah kita menciptakan sistem yang on track, yang suatu hari nanti bisa mengatasi kemacetan," ujar Zamrowi.

Komentar Warga

Muhammad Bustomi (32), warga Cinangka, Sawangan, mengaku heran lantaran Pemkot Depok mendapat penghargaan WTN. Dia mengaku merasa berkeberatan Pemkot Depok mendapatkan penghargaan tersebut.

"Saya baru tahu ini [Pemkot Depok mendapat penghargaan]. Bagaimana ya... Aneh saja kalau Depok bisa dapat penghargaan itu," katanya melalui sambungan telepon, Rabu (11/9/2024).

Menurut Tomi, panggilan akrabnya, Depok tak layak mendapatkan penghargaan itu. Sebab, lalu lintas di kawasan Sawangan jauh dari kata ramah bagi pengemudi kendaraan bermotor. Utamanya, di sekitar gerbang keluar Tol Sawangan.

Saat jam sibuk, kata Tomi, dia bisa menghabiskan waktu hingga dua jam di jalanan sekitar gerbang keluar Tol Sawangan.

Belum lagi, sambil mengendarai motor, Tomi harus mendengar klakson yang dibunyikan pengendara kendaraan roda dua maupun roda empat yang memekakkan telinga saat berada di jalan sekitar Tol Sawangan. Saat sore hari, ada pula bus maupun truk yang membunyikan klakson khas atau telolet.

"Itu kalau sore atau pagi gitu ya, banyak banget yang ngebunyiin klakson, mau motor [atau] mobil. Saya jadi terpaksa kadang ikutan ngebunyiin klakson. Macetnya memang kacau di exit tol itu," ucapnya.

"Kalau sore, ada juga orangtua yang ngantar anaknya buat ngelihat telolet dari truk-truk yang keluar di tol," lanjut dia.

Tomi mengaku mendapatkan kerugian secara langsung dari kemacetan di Sawangan. Pasalnya, dia beberapa kali telat tiba ke kantor karena kemacetan tersebut.

Selain karena macet, Tomi kebetulan bekerja di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat. Dengan demikian, dia mau tidak mau harus melewati jalan sekitar pintu keluar Tol Sawangan untuk menuju Palmerah.

"Ya, saya enggak ada jalan lain buat ke kantor. Memang paling dekat dari Cinangka buat ke Palmerah ya lewat [jalan di sekitar] exit tol itu," sebutnya.

Tomi menduga kemacetan di sekitar exit Tol Sawangan terjadi lantaran penyempitan jalan (bottle neck). Gara-gara hal itu, pengemudi kendaraan bermotor terpaksa bergantian melintas jalan tersebut.

Karena masih ada kemacetan tersebut, dia lantas meminta Kemenhub agar mencabut penghargaan WTN yang diterima Pemkot Depok.

"Mending enggak usah dikasih penghargaan kalau Sawangan saja masih macet," tutur dia.

Kata Pengamat

Ahli kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai pemberian penghargaan kepada Pemkot Depok itu tergolong tidak tepat. Pasalnya, kemacetan masih menjadi pekerjaan rumah besar Pemkot Depok.

"Itu tidak realistis ya, tidak tepatlah," kata Trubus melalui sambungan telepon, Kamis.

Trubus mengatakan bahwa Pemkot Depok tidak siap dengan pertumbuhan masyarakat di wilayahnya. Dengan demikian, infrastruktur yang sudah ada saat ini tak cukup membendung mobilisasi masyarakat yang kian bertambah.

Terlebih, kata Trubus, kini banyak kawasan permukiman di pinggir Kota Depok. Masyarakat di permukiman tersebut terpaksa harus melintasi pusat kota terlebih dahulu untuk beraktivitas. Hal itu pun turut menambah volume kendaraan bermotor di jalanan Depok.

"Perkembangan Kota Depok itu cukup pesat. Ibaratnya, Depok itu kota seksi, kayak gula, jadi dikerubungi semut. Nah, seharusnya Pemkot sejak awal menyiapkan pembangunannya [wilayah] secara cepat. Harus revolusionerlah," ucap Trubus.

Untuk mengatasi kemacetan itu, dia mendorong Pemkot Depok menambah armada transportasi umum. Misalnya, dengan angkot gratis layaknya Mikrotrans milik Pemprov DKI Jakarta.

Trubus menyebut bahwa keinginan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum akan meningkat ketika ada transportasi massal terjangkau.

"Yang penting itu transportasi publiknya. Depok kota seribu angkot. Nah, itu dibuat gratis kayak yang di Jakarta. Dari langkah ini, masyarakat nanti mengikuti. Akan banyak yang naik kendaraan umum," ucap Trubus.

Sementara itu, subsidi angkot gratis bisa diambil dari penerapan sistem jalan berbayar elektronik (ERP). Melalui penerapan ERP, pengemudi mobil diyakini juga bakal semakin berkurang.

"Pemkot Depok jadi nanti subsidi silang. Uang yang didapat dari ERP untuk subsidi biar angkot gratis," sebut Trubus.

Pembelaan Kemenhub

Humas Hubdat Kemenhub, Herman Wibowo, menjelaskan bahwa penghargaan WTN yang diterima Pemkot Depok tak cuma berdasarkan penilaian Kemenhub saja, melainkan juga oleh Kemendagri, Kementerian PUPR, kepolisian, pakar transportasi, dan akademisi.

"Wahana Tata Nugraha ini adalah penilaian akan sebuah transportasi perkotaan yang baik dan terintegrasi sehingga Kementerian Perhubungan berharap dengan adanya penghargaan ini dapat memacu kota atau kabupaten agar berbenah diri terhadap wilayahnya," ucap Herman kepada Tirto, Kamis.

Sementara itu, terkait kemacetan di Sawangan, Herman mengatakan bahwa Kemenhub tidak turut menilai wilayah tersebut. Sebab, Pemkot Depok tidak mengajukan jalan di Sawangan untuk dinilai.

Menurut Herman, Kemenhub hanya menilai jalan yang diajukan Pemkot Depok dan jalan di pusat Kota Depok.

"Objek yang dinilai adalah pusat kota, baik di wilayah kabupaten atau kota. Kesimpulannya bahwa Sawangan bukan bagian yang dinilai karena Sawangan tidak termasuk di pusat kota seperti yang diusulkan ke Kemenhub saat proses seleksi administrasi," ucapnya.

Baca juga artikel terkait KEMACETAN DEPOK atau tulisan lainnya dari Muhammad Naufal & Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Muhammad Naufal & Qonita Azzahra
Penulis: Muhammad Naufal & Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi