tirto.id - Pada Minggu (8/1/2023), saya dan kawan-kawan komunitas Indonesia Hidden Heritage (IHH) bertandang ke Kampung Tugu, Jakarta Utara. Kedatangan kami bertepatan dengan pesta Mande-mande yang digelar warga keturunan kaum Mardijker. Lain itu, kami pun turut menyusuri jejak pengaruh budaya Portugis di kawasan bersejarah ini.
Bagaimana unsur Portugis bisa eksis di jantung koloni Belanda selama berabad-abad?
Pertama, tentu saja kita mesti bahas siapa kaum Mardijker. Akar eksistensi mereka bisa dirunut hingga ke era Kompeni di abad ke-17 dan 18. Kaum Mardijker adalah satu dari sekian banyak kelompok etnis yang mewarnai Kota Batavia.
Mardijkerdi era itu adalah sebutan umum untuk para bekas budak Asia dari koloni Portugis.Umumnya mereka berasal dari Koromandel, Bengal, atau Malaka, juga Tidore.
Manilata Choudhury dalam “The Mardijkers of Batavia: Construction of a Colonial Identity” (Proceedings of the Indian History Congress, 2014) menyebut nama Mardijker berakar dari kata Sanskerta maharddika.
Istilah ini mulanya mendeskripsikan kondisi seseorang yang mencapai kemandirian atau kemakmuran yang bersifat ilahiah. Ia diserap bahasa Melayu menjadi merdeka. Orang-orang Portugis-lah yang kemudian memberi arti baru pada istilah ini.
Perubahan ini berlangsung seiring dengan konversi para budak itu ke agama Katolik dan pembebasan yang menyertainya. Karenanya, kata merdeka di Nusantara sekarang memiliki arti Melayu-Portugis yang sangat berbeda dari akar bahasa Sansekertanya, yaitu “kebebasan dari perbudakan”.
“Mardijker adalah istilah Belanda untuk kata merdekayang digunakan VOC untuk menyebut para bekas budak itu,” tulis Choudhury.
Keberadaan para budak Portugis di Batavia tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan VOC akan pekerja kasar untuk pembangunan kota bandar. Choudury menyebut banyak dari kaum Mardijker itu sebelumnya merupakan budak domestik di kediaman para penguasa Batavia. Sebagian lagi merupakan budak pembantu sehari-hari kegiatan VOC.
Persentuhan dengan tuan-tuan Portugis membuat orang-orang Mardijker amat lekat dengan budaya Portugis. Mereka berbahasa Portugis, memeluk Katolik, dan memakai atribut budaya yang khas. Namun, mereka tetap dianggap non-Eropa dan dipandang rendah karenanya.
Risa Nopianti dkk. dalam “Identitas Orang Tugu sebagai Keturunan Portugis di Jakarta” (jurnal Patanjala, vol. 11 no. 2, 2019) mencatat orang-orang Kompeni mendiskriminasi mereka dengan sebutan Portugis Hitam. Mereka juga dimukimkan di luar benteng Batavia.
Komunitas dan Gereja di Luar Benteng
Pada 1642, otoritas VOC menerbitkan aturan yang melarang warga di koloninya (baik Belanda maupun non-Belanda) menganut agama selain Protestan. Koloni Batavia pun tak terkecuali.
Belanda tentu memaksa para Mardijker yang Kalotik untuk melakukan konversi. VOC juga memaksakan aturan ini pada pegawainya yang Katolik. Gubernur VOC bahkan tak segan-segan menangkap dan mengusir mereka yang membangkang.
Sejak itulah, kaum Mardijker mulai berpindah keyakinan menjadi Protestan. Para budak Portugis lain pun setuju beralih keyakinan demi mendapat kebebasan.
Seturut studi Nopianti dkk., VOC lantas melokalisasi pemukiman komunitas Mardijker sebagaimana yang mereka terapkan pada kelompok etnis lain di Batavia dan sekitarnya. Pemukiman kaum Mardijker kemudian memusat di Portugeesche Buitenkerk di luar Benteng Kota Batavia sisi timur.
Kini, gereja ini terletak di Jalan Pangeran Jayakarta No. 1, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat—hanya beberapa langkah ke selatan dari Stasiun Jakarta Kota. Ia merupakan gereja tertua yang masih berfungsi di Jakarta.
Portugeesche Buitenkerk dulu hanyalah kapel kecil nan sederhana yang dibangun dari material kayu. Ia sempat rusak berat karena kebakaran sehingga kemudian VOC membangun gereja baru yang lebih permanen.
De Nieuwe Portugeesche Buitenkerk, demikian nama bangunan baru tersebut, mulai dibangun pada 1692 dan diresmikan oleh Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn pada 1695.
Setelah Indonesia merdeka, gereja inibergabung dengan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) dan diberi nama baru: Gereja Sion.
Gereja Sion masih digunakan sebagai tempat peribadatan hingga masa kini. Di mata pelancong, salah satu tinggalan yang menarik di Gereja Sion adalah Tugu Lonceng (klokkenstand) yang berada persis di samping bangunan utamanya. Tugu Lonceng inilah yang membikin awet memori tentang kaum Mardijker.
Gereja Sion diarsiteki oleh Ewuit Verhagen dari Rotterdam yang menerapkan gaya Dutch Closed. Gedung utamanya berdenah segi empat dengan keempat sisi dinding yang tertutup tanpa teras. Bangunannya punya luas total 24 x 32 meter persegi.
Pada bagian belakang, terdapat bangunan tambahan berukuran 6 x 18 meter persegi. Gereja Sion mampu menampung sekira 1.000 jemaat dengan luas tanah seluruhnya 6.725 meter persegi.
Bangunan Gereja Siondapat digolongkan sebagai gereja bangsal (hall church). Gereja ini membentuk satu ruang panjang dengan tiga bagian langit-langit kayu yang sama tingginya dan melengkung seperti setengah tong. Terdapat 6 tiang sebagai penyangga langit-langit itu.
Di masa pembangunannya, otoritas VOC mendatangkan para tukang kayu dari Formosa (kini Taiwan) untuk membuat perabot gereja yang berukir indah. Gereja ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui SK Gubernur DKI Jakarta CB/11/1/12/1972 dan SK Gubernur DKI Jakarta No. 475/1993 sebagai bangunan yang dilindungi.
Kampung Tugu
Selain di sekitar Gereja Sion, sebagianMardijker juga membuka pemukiman baru lebih ke timur. Di abad ke-17, kawasan ini masihlah sepi dan dikelilingi hutan. Tempat inilah yang sekarang terkenal dengan nama Kampung Tugu.
Orang-orang Mardijker mulai hijrah ke kampung yang kini berlokasi di daerah Semper, Jakarta Utara, sekira 1661.Ketimbang komunitas Mardijker lain yang lambat laun berasimilasi dengan masyarakat Betawi, orang-orang Kampung Tugu cenderung masih distingtif. Ekspresi budaya Mestizo mereka lebih kentara di sini.
Tentang ini Nopianti dkk. menulis, “Beberapa ciri budaya Orang Betawi diadopsi oleh Orang Tugu, sehingga terkesan mereka menjadi Orang Betawi. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar dalam hal kepercayaan yaitu mayoritas mereka beragama Kristen, serta memiliki beberapa penanda etnis yang khas.”
Tengara khas itu di antaranya penggunaan bahasa kreol Portugis dalam musik keroncong juga alat musiknya. Pun keroncong tugu lazim dianggap sebagai hulu dari semua subgenre keroncong yang eksis di Indonesia.
Lain itu, ada pula tradisi Mardijker yang tetap lestari hingga kini, yaitu Mande-Mande dan Rabo-Rabo. Kedua tradisi ini adalah rangkaian hajatan warga keturunan Mardijker untuk menyemarakkan momen Natal dan tahun baru.
Rabo-Rabo merupakan kegiatan bertandang dan berkeliling ke setiap rumah warga untuk bermaaf-maafan yang dilakukan setiap tanggal 1 Januari. “Rabo” secara harfiah artinya ekor. Dinamai demikian karena dalam tradisi ini warga bersilaturahmi sambil mengekor dalam rombongan.
Lain halnya dengan tradisi Mande-Mande yang merupakan tradisi salaing membubuhkan bedak di muka anggota komunitas yang hadir di acara tersebut. Tak hanya diikuti para keturunan Mardijker, kedua tradisi ini kini jamak pula diikuti masyarakat luar.
“Bagi warga Kampung Tugu, merayakan Mande-Mande bersama-sama dengan masyarakat lain yang berbeda keyakinan akan mempererat persaudaraan antar sesama,” demikian tulis A. Kurniawan Ulung dan Gyanindra Ali dalam “Kampung Tugu: Hidden Portuguese Gem in North Jakarta” (terbit diJakarta Postedisi 18/02/2019).
Victor Ganap dan Takasi Simeda dalam bunga rampaiAsian Musical Cultures (2009, PDF) menyebut bahwa Kampung Tugu bukan sekadar situs cagar budaya. Lebih dari itu, ia adalah tempat hidupnya identitas Mardijker. Maka masyarakat Tugu dan cagar budayanya tak dapat dipisahkan.
“Samuel Quicko, seorang musisi keroncong senior, pernah berkata bahwa Kampung Tugu adalah titik tengah, sebagai tempat berkumpulnya para keturunan Mardijker dan Mestizo yang akhirnya tersebar ke beberapa tempat lain di Jakarta,” Tulis Ganap dan Simeda.
Seperti halnya di pemukiman Mardijker pertama, denyut hidup masyarakat Kampung Tugu juga tertambat pada gereja. Itulah Gereja Tugu—dulu bernama Portugeesche Kerk.
Gereja yang kini berlokasi di Jalan Gereja Tugu No. 20, Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, itu dibangun pada periode 1744 hingga 1747. Itu adalah pembangunan kali kesekian setelah bangunan pertama yang lebih sederhana berdiri sekira paruh akhir abad ke-17.
Sama seperti Gereja Sion, Gereja Tugu memiliki gaya arsitektur Dutch Closed. Semula, lahan gereja ini dimiliki oleh tuan tanah Justinus Vinck. Pembangunan Gereja Tugu semula juga diutamakan untuk para Mardijker.
Fitur menarik di Gereja Tugu ini adalah model jendela krepyak.Ini membuat tampilannya sangat kental bernuansa Indis. Bangunan Gereja Tugu juga telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. 475/1993.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi