tirto.id - Ali, 42 tahun, adalah satpam yang bekerja dalam kelompok besar—terdiri sembilan satpam—di sebuah perumahan mewah di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Lelaki kurus berambut cepak ini mengisahkan tentang pekerjaannya seumur jagung di rumah seorang pemilik perusahaan kosmetik terbesar di Indonesia.
Ia mengatakan ia bekerja selama 12 jam dari pukul 8 pagi hingga 8 malam. Tugasnya menjaga keamanan rumah dan membuka pintu gerbang. Setengah jam sebelum majikan keluar rumah, pintu gerbang harus dibuka. Begitu pula sebaliknya.
"Kalau mobilnya mau masuk rumah, jarak 500 meter, pintu gerbang harus sudah dibuka. Kalau belum dibuka, bisa kena marah semua satpam," ujar Ali kepada saya, akhir Februari lalu.
Masih menurut Ali, majikannya dikenal doyan marah tanpa juntrungan kepada satpam dan asisten rumah tangga. Contohnya, saat ia menerima telepon dari majikan, ia disemprot karena dianggap nada suaranya tinggi. "Padahal suara saya di telepon biasa saja," gumamnya.
Cerita lain saat ia disuruh membeli obat. Majikan tak mau peduli apakah saat itu pukul 2 atau 3 pagi, "yang penting obat harus ada," katanya. Jika gagal menemukan obat tersebut, buntutnya pemecatan.
Tabiat buruk majikan itu dialami Ali dan seorang pembantu rumah tangga. Kejadiannya lima tahun lalu ketika Ali menolong salah seorang pembantu membeli voucher edisi tahun baru untuk sang majikan.
Ali menolong si pembantu saat jam kerjanya selesai. Dengan sepeda motor, ia bersama PRT mencari voucher ponsel di kawasan Kemang tapi nihil. Mereka lantas mengubek-ubek hingga tempat-tempat lain tapi hasilnya tetap dengan tangan kosong.
Pulang ke rumah, si majikan murka. Sebelas jam kemudian, tepatnya pukul 8 pagi, si pembantu dipecat oleh sang majikan. Rentetan kemarahan ini berimbas kepada Ali. Komandan regu satpam memberitahunya bahwa ia tak perlu datang ke rumah majikan karena sudah dipecat.
Ali menerimanya sebagai "berkah tersembunyi" karena ia memang menunggu waktu yang tepat sekaligus mendesak untuk keluar dari kondisi buruk pekerjaan tersebut.
"Kerja kayak budak aja. Majikan dikit-dikit marah enggak jelas," kata Ali, bersyukur.
Bukan cuma Ali yang senewen. Satpam penggantinya, yang baru masuk pagi, sudah keluar siang hari itu juga karena dimaki-maki majikan.
Kini Ali lebih memilih bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan di kawasan Menteng, daerah elite lain di Jakarta, dengan ikatan kerja kontrak.
Tabiat Sewenang-wenang Majikan
Perlakuan semena-mena yang menimpa satpam berhulu dari tiadanya perlindungan, terutama bagi pekerja tanpa bendera perusahaan. Pengalaman Ali, misalnya, ia bekerja melebihi jam yang ditentukan oleh pemerintah.
Merujuk pasal 77 dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan, satpam yang bekerja selama 6 hari dalam sepekan semestinya hanya boleh bekerja 7 jam kerja per hari atau 40 jam seminggu. Sementara satpam yang bekerja 5 hari dalam sepekan hanya boleh bekerja 8 jam kerja per hari atau 40 jam dalam seminggu.
Untuk Ali di rumah mantan majikannya di Kemang? Ia bekerja selama 72 jam dalam seminggu.
"Ya, aku enggak bisa buat apa-apa karena dibawa sama orang," kata Ali, yang saat itu menerima upah Rp1,5 juta per bulan.
Sayangnya, pengalaman Ali sangat jarang jadi subjek penelitian di Indonesia. Tetapi kisahnya kerap jadi keluhan umum para pekerja satpam di Indonesia.
Aprillia Lisa Tengker, pengacara publik bidang perburuhan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mengatakan bahwa hak-hak satpam kerap kali dikebiri, baik yang bekerja di perumahan elite maupun perusahaan. Misalnya soal upah rendah di bawah UMR, tunjangan hari raya yang telat dibayar, tiada jaminan kesehatan, dan PHK sepihak.
Dalam enam bulan terakhir, LBH Jakarta menerima empat laporan: dua kasus satpam rumah sakit, satu kasus satpam perumahan, dan satu kasus satpam BUMN. Kasus satpam rumah sakit, misalnya, dipaksa pensiun dini karena sakit. Ketika satpam itu melakukan negosiasi soal hak-haknya, ia dipersulit oleh rumah sakit seperti pencairan pesangon.
"Satpam sulit memperjuangkan hak-haknya karena tak ada serikat," kata Lisa, akhir Februari silam, mencontohkan soal surat edaran tahun 2013 yang dirilis oleh sejumlah serikat buruh yang menyebut satpam bukanlah anggota serikat.
Lisa berkata bahwa majikan terikat perjanjian dengan perusahaan outsourcing sehingga satpam rentan terkena pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Ketika majikan berbuat semaunya dengan dalih "tak puas" atas kinerja satpam, mudah bagi si majikan meminta perusahaan outsourcing untuk menggantinya dengan satpam lain.
"Outsourcing bisa dibilang sebagai kuman ketenagakerjaan," kata Lisa.
Selain itu, untuk menghindari hak-hak satpam, majikan menyewa warga setempat di kawasan perumahan tersebut. Relasi ini bikin majikan bisa bersikap leluasa, termasuk emoh memperhatikan hak-hak pekerja karena menganggapnya sebagai penjaga rumah.
"Akibatnya, majikan bisa seenaknya mengontrol, memberi upah rendah, menambah jam kerja, dan memecat," ujar Lisa.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam