Menuju konten utama
Mozaik

Orang-Orang Tionghoa di Kamp Interniran Bukit Duri dan Cimahi

Selain menangkap orang-orang Belanda, Jepang juga menyeret etnis Tionghoa ke dalam kamp interniran. Mereka dianggap sebagai sekutu Belanda.  

Orang-Orang Tionghoa di Kamp Interniran Bukit Duri dan Cimahi
Kamp Interniran Zaman Jepang. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Akhir 1941 sampai awal 1942, hampir seluruh pasang mata dunia tertuju pada serangan masif Jepang. Di Pearl Harbour, Hong Kong, dan Malaya, Jepang mengebom tangsi dan pangkalan militer Sekutu. Di Indonesia, sepanjang Januari-Februari 1942, sederet serangan masif Jepang mengincar pos dan markas strategis Belanda.

Bulan-bulan itu penuh kekacauan. Armada gabungan Belanda, Inggris, dan AS luluh lantak dalam pertempuran di Laut Jawa. Jepang berhasil menduduki Sumatra Selatan. Selanjutnya merangsek hingga ke pantai utara Jawa, salah satunya berlabuh di Eretan, Indramayu.

Pasukan Belanda berangsur mundur dan akhirnya menyerah kepada Jepang di lapangan terbang Kalijati, Subang, Jawa Barat, pada 8 Maret 1942. Sementara yang lari tunggang-langgang sekonyong-konyong menjadi kalap. Toko-toko kelontong milik orang-orang Tionghoa dijarah sebagai pelampiasan. Namun sial, justru kebiadaban ini menginspirasi bencana yang lebih besar.

Kaum bumiputra yang melihat penjarahan di mana-mana jadi tersulut. Apalagi kesengsaraan dan jerat kemiskinan sukses mendorong kemarahan massal. Turbulensi itu menjelma “misi balas dendam” atas kekesalan dan iri hati kepada koloni asing. Istilah yang agaknya berkonotasi sinisme kepada kolonial, saudagar, dan cukong Tionghoa kaya raya.

Aksi kriminal sporadis tak terelakkan lagi. Rumah-rumah orang Tionghoa yang ditinggalkan pemiliknya karena mengungsi dirampok komplotan bumiputra. Alasannya, Tionghoa adalah sekutu politis Belanda, yang dalam hal ini musuh perang Jepang.

Dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008: 521), Benny G. Setiono mengisahkan ratusan pabrik milik orang Tionghoa hancur akibat penjarahan. Dari 130 pabrik gula yang berada di Pulau Jawa pada 1940, hanya 32 saja yang selamat dari penjarahan massal.

Guna mengatasi kekacauan yang berkecamuk, Belanda mengarahkan orang-orang Tionghoa untuk mengevakuasi bisnis dengan cara menyingkir dari kota-kota besar.

Kerugian yang diderita para saudagar Tionghoa di Indonesia diperkirakan mencapai 100 juta gulden. Tjung See Gan, importir dan grosir tekstil terbesar yang memindahkan sisa pasokan barang yang bisa diselamatkan menuju Cibadak menderita kerugian sebesar ƒ 370.000,- Demikian pula Hioe Nyan Yoeng yang sama-sama pengusaha tekstil menderita ƒ 280.000,- Sementara Tan Hoan Kie, pemilik retail De Zon, pusat perbelanjaan terbesar di Bogor yang hari ini bermetamorfosis sebagai Matahari Department Store, terpaksa memboyong stok barang ke Sukabumi.

Penelitian Twang Peck Yang, The Chinese Business Elite in Indonesia and the Transition to Independence 1940-1950 (1998: 70-72) menyebut bahwa 9 dari 10 toko di daerah Jembatan Lima dijarah habis. Begitu pula kawasan pertokoan di Tanjung Priok yang tak luput dari bidikan kemarahan sporadis massal. Bahkan di wilayah pedalaman seperti Karawang, 70-80 persen pengusaha Tionghoa yang memiliki gudang-gudang penggilingan beras juga jadi korban penjarahan.

Saat penjarahan berlangsung, orang-orang Tionghoa yang tak berhasil kabur dan menyingkir dari kota-kota besar ditangkap militer Jepang. Mereka yang diringkus lantas dijebloskan ke dalam kamp-kamp interniran (konsentrasi).

Hoakiau, Tawanan Perang Jepang

Berbicara soal Hoakiau tak bisa lepas dari buku Pramoedya Ananta Toer, Hoa Kiau di Indonesia (1960). Buku ini adalah sorot tajam Pram mengkritik kebijakan PP No. 10/1959 yang dianggap diskriminatif, bahkan pelanggaran hak asasi manusia era Demokrasi Terpimpin. Tionghoa perantauan di Indonesia, yang dalam bahasa Pram disebut Hoakiau dicap beroleh perlakuan buruk.

Ketika masa pendudukan Jepang, Hoakiau menjadi salah satu pihak yang menjadi korban tawanan perang. Mereka ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi, berbaur dengan koloni Eropa, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak.

Segera setelah mengambil alih Indonesia dari Belanda, Jepang mencekal seluruh balai penerbitan dan pers. Bagi yang melawan siap-siap diberangus. Partai dan ormas yang berbau Barat dibubarkan. Bahkan yang berbasis Tionghoa seperti Kuomintang dan Chung Hwa Hui ikutan kena prohibisi.

Penangkapan serentak bagi yang tak patuh di seluruh kota besar di Jawa dan Madura. Di Jawa, 542 Hoakiau ditangkap dan diinternir di kamp konsentrasi Cimahi. Mereka dikurung sampai perang betul-betul berakhir.

Hoakiau yang ditahan bukan saja para pemimpin atau pentolan organisasi, tapi juga yang menikah dengan orang Belanda. Dalam hal ini, Jepang menyamaratakan status antara Hoakiau dengan orang Eropa, dan karenanya penangkapan tak pandang bulu.

Mereka yang bangga atas persamaan derajat dengan koloni Eropa memutuskan mimikri identitas. Caranya, mengganti nama Tionghoa menjadi khas Belanda seperti Wim, Karel, Marie, dsb. Namun justru perkara ini jadi senjata makan tuan. Jepang jadi mudah mengendus jejak Hoakiau yang bersekutu dengan Belanda. Karenanya, mereka berbondong-bondong mengembalikan identitas Tionghoa sedia kala dan menanggalkan segala yang berasosiasi Belanda. Anehnya, militer Jepang yang mengetahui hal ini justru membiarkan beberapa Hoakiau dengan syarat tak melakukan aksi anti-Jepang.

Mereka yang lolos di antaranya Kwee Kek Beng dan Tang Ling Djie yang berhasil mengungsi ke Bandung dan Karawang. Lalu penulis cum aktivis pergerakan nasional, Siauw Giok Tjhan, yang kala itu menjabat sebagai redaktur Mata Hari berhasil lolos dari penangkapan setelah mengungsi ke Surabaya.

Sedangkan mereka yang tepergok tentara Jepang, ditahan lantas berjubel menjadi satu dalam kamp interniran Cimahi. Di sana, seluruh tawanan perang Jepang berkumpul jadi satu, termasuk orang-orang Belanda dan provokator anti-Jepang.

Masih dalam buku yang sama, Benny G. Setiono menulis, “Untuk mengetahui dan mengawasi jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia, maka diadakan pendaftaran wajib, semacam sensus. Mereka yang telah mendaftarkan diri diberi sebuah kartu yaitu semacam surat keterangan yang harus senantiasa dibawa untuk membuktikan bahwa ia telah bersumpah menyatakan kesetiaan kepada tentara Nippon dan sudah masuk daftar penduduk asing. Untuk memperoleh kartu tersebut dikenai biaya pendaftaran sebesar ƒ 50,” (hlm. 531).

Dari keterangan tersebut, diperoleh informasi bahwa tidak semua Hoakiau di Indonesia ditawan oleh Jepang. Namun yang pasti, mereka mewajibkan seluruhnya untuk bersumpah kepada Dai Nippon agar mau tunduk dan tak membangkang.

Di samping itu, guna meredam amarah dan gerakan perlawanan bawah tanah, Jepang mencoba memilih strategi propaganda moderat. Jepang membentuk organisasi bernama Hua Ch’iao Tsung-hui (HTCH), yang berdiri di hampir setiap kota di Pulau Jawa.

Agenda HTCH kerap bersinggungan dengan mobilitas bantuan sosial. Mereka dibentuk dengan tujuan membantu Hoakiau yang tertimpa musibah, sebagaimana yang dilakukan HTCH rayon Bandung di bawah kepemimpinan Yap Tjwan Bing. Salah satunya dengan mengirim bantuan berupa pakaian, selimut, obat-obatan, dan makanan ke kamp konsentrasi Cimahi.

Selain itu, HTCH juga berfungsi sebagai napas berkelanjutan atas tradisi Tionghoa, yakni berdagang. HTCH Semarang yang dibentuk pada Maret 1943 bersumbangsih dalam usaha pengganti bisnis Siang Hwee, meski dianggap tak bisa menyamai komoditas dan nilai ekonomi yang sebelumnya cukup kokoh.

Kamp Interniran Zaman Jepang

Kamp Interniran Zaman Jepang. FOTO/Wikipedia

Kondisi Tawanan Hoakiau di Kamp Konsentrasi Bukit Duri dan Cimahi

Salah satu korban tawanan perang, Nio Joe Lan yang ditahan di kamp interniran Bukit Duri (26 April 1942-9 September 1943), lalu pindah ke Serang (9 September 1943-15 Februari 1944), dan terakhir Cimahi (16 Februari 1944-27 Agustus 1945) membukukan kesaksian dan pengalamannya lewat memoar sebagai tahanan dalam buku Dalem Tawanan Djepang (2008). Buku ini menjadi salah satu fragmen terpenting kisah-kisah Hoakiau selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Menurut Myra Sidharta—penulis pengantar bukunya—tak ada kesaksian sejarah dari mantan tahanan lain yang lebih rinci dari memoar Nio.

Kala itu, Nio Joe Lan berprofesi sebagai jurnalis untuk surat kabar Keng Po, Sin Po, dan majalah Penghiboer. Setelah dirinya dibebaskan pada 27 Agustus 1945, Nio kembali ke Jakarta dan memimpin penerbitan ulang Sin Po sampai 1958, yang sempat hiatus selama tiga tahun.

Selama masa penahanan di Bukit Duri dia menulis tentang para pembesar Tionghoa yang terbiasa mewah dan bergelimang harta sekonyong-konyong dihadapkan pada fase kehidupan yang serba tidak enak dan sengsara. Mereka dimasukkan ke dalam sel sempit berukuran 2 x 1 meter yang berisi tiga tawanan sekaligus.

“Tidur bertiga dalam satu sel yang sebenarnya cuma ada buat 1 orang saja tidak usah dikata lagi amat tidak enak. Tidur begini sering orang punya tulang kering dapat luka, sebab di waktu malam orang hantam pinggiran tajam dari itu tempat tidur semen,” tulis Nio.

Mereka juga kerap mendapat ketidakadilan rasial, meski semua yang berada di kamp konsentrasi berstatus sama-sama korban tawanan perang. Orang Belanda yang berkulit putih sudah disiapkan sarapan roti di pagi hari, semangkuk sup di siang hari, dan semangkuk lagi ditambah nasi saat malam hari. Sedangkan Hoakiau hanya dapat jatah makan nasi dan air kangkung dalam sekali waktu sehari.

Soal mandi pun demikian. Semestinya perkara mandi lekat dengan privasi setiap individu. Tetapi di Bukit Duri, tawanan terpaksa mandi dan telanjang bersama tahanan lain di sel yang sama dengan tempat mereka tidur.

Keadaan di kamp konsentrasi Bukit Duri lantas berubah setelah Nio dipindahkan ke Serang lalu berakhir di Cimahi.

Nio diangkut menumpang kereta dari Serang menuju kamp interniran Cimahi pada malam 16 Februari 1944 dengan kondisi hujan gerimis. Saat rombongan tawanan tiba di Stasiun Cimahi, Nio mengenang, “Lampu-lampu terang di satu stasiun. Kereta api berhenti. Kita dapat perintah buat turun sesudah duduk berdesak-desakan 1 hari 1 malam sampai kaki kaku. Papan board berbunyi: TJIMAHI. Lonceng stasiun unjuk jam 6 (Nippon) pagi.”

Di Cimahi, tawanan tak lagi bergumul di sel sempit seperti di Bukit Duri. Mereka ditempatkan di rumah-rumah, dengan masih bercampur baur bersama tawanan Belanda yang berjumlah total hampir 10.000 orang.

Nio melukiskan, mereka bagai hidup berkoloni di sebuah kota kecil dengan lalu lintas dagang yang ramai. Sehari-hari menggarap kebun kecil untuk menghidupi perut masing-masing, dan bahkan dibolehkan Jepang berdagang dari hasil bumi mereka sendiri. Walhasil tak hanya menjual bahan pokok, tawanan perang turut memasok bakiak, sandal kayu dengan karet atau kulit sebagai pengerat.

Tawanan juga tak dilarang memperkaya bacaan. Di sana, Nio dan tawanan lainnya dapat mengakses buku-buku yang tersedia di kamp. Lalu untuk mengusir kebosanan, mereka juga memainkan musik yang disediakan dalam wujud fasilitas orkes untuk bersama.

Lantaran digambarkan serupa kota kecil, tawanan perang membentuk struktur komunal dengan membagi peran kerja menurut kecakapan dan keahlian masing-masing. Ada yang bertugas di Medische Dienst (layanan dokter), Technisch Dienst (layanan teknis), Voedsel Dienst (layanan makanan), Financiën Dienst (jasa keuangan), Bevolking Dienst (layanan masyarakat) atau juga disebut Statistieken Dienst (layanan statistik untuk mengumpulkan harta dari orang mati).

Di antara korban-korban yang meninggal di kamp konsentrasi Cimahi adalah Khouw Kin An, Mayor Cina terakhir di Batavia. Dia meninggal pada 13 Februari 1945 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Jati Petamburan.

Ada pula riwayat korban Tionghoa penganut Freemasonry di Bandung yang termuat dalam buku Okultisme di Bandoeng Doeloe (2014). Menurut M. Rizky Wiryawan, orang Tionghoa itu penganut tarekat Freemason yang bermarkas di Loji Sint Jan. Saat aneksasi Jepang pada 1942, anggota perkumpulan ini ditangkap lalu diinternir ke kamp konsentrasi Cimahi.

Tidak hanya tarekat Loji Sint Jan, terkurung pula 300 anggota Freemason dari 21 loji di Hindia Belanda yang juga ditahan di sana. Karena kemudahan akses dan keluwesan hukum di kamp konsentrasi Cimahi, tarekat Freemason justru membentuk loji darurat di Cimahi, yang oleh Dr. Th. Stevens dalam Tarekat Mason Bebas Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (2004: 449) disebut sebagai Loji Lapangan atau De Beproeving.

Sejumlah anggota Freemason yang dikabarkan meninggal di kamp ini dimakamkan dengan cara masonik, yakni dengan menempatkan jangka kayu dan penggaris siku-siku pada nisan makamnya.

Baca juga artikel terkait MASA PENDUDUKAN JEPANG atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi