Menuju konten utama

Gesekan Islam & Freemasonry di Surakarta Era Kolonial

Golongan priyayi di Surakarta amat erat hubungannnya dengan gerakan Freemasonry. Bersitegang dengan kelompok Islam.

Gesekan Islam & Freemasonry di Surakarta Era Kolonial
Header Mozaik Freemasonry Surakarta. tirto.id/Mojo

tirto.id - Kolonialisme mengubah tatanan politik, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia secara masif. Salah satu fenomena yang mengiringinya dan bertahan bahkan puluhan tahun sesudah Indonesia merdeka adalah polarisasi kaum priyayi dan santri.

Di antara kedua kelompok sosial itu lantas muncullah Freemasonry atau Tarekat Mason Bebas. Sebagai organisasi rahasia, Freemasonry tidak memiliki hubungan struktural dengan pemerintah Hindia Belanda. Meski begitu, Freemasonry memiliki visi yang beririsan dengan kaum priyayi, yaitu deradikalisasi kelompok santri.

Freemasonry di Surakarta

Freemasonry didirikan pada abad ke-18 di Inggris. Namun, sejarahnya terentang sejak Abad Pertengahan. Di Hindia Belanda, organisasi ini disinyalir telah ada sejak 1764, ditandai dengan berdirinya sebuah loji (gedung besar) bernama La Choise di Batavia. Pembawanya adalah J.C.M. Radermacher, seorang pegawai VOC.

Dari kota jantung kolonialisme Belanda itu, Freemasonry lantas menyebar ke daerah-daerah lain. Kota Surakarta salah satunya. Perkembangannya beriringan dengan berkembangnya bisnis perkebunan milik orang-orang Eropa di kota ini.

Seturut Th. Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (2004, hlm. 149), perkembangan Freemasonry di Surakarta ditandai dengan berdirinya Loji L’Union Frédéric Royal. Loji ini didirikan oleh 30 anggota Freemason pada 28 Oktober 1872.

Berbeda dari Loji Mataram di Yogyakarta yang disinyalir memiliki hubungan khusus dengan Sultan, Loji L’Union Frédéric Royal tidak memiliki hubungan apa pun dengan Susuhunan.

Jhr. W.W. van Nispen, seorang ketua perkumpulan para penyewa tanah di Solo, merupakan tokoh penting kaum Freemason Surakarta. Pada masa-masa awal berdirinya L’Union Frédéric Royal, van Nispen-lah yang memimpinnya.

Selain loji, sejumlah lembaga masonik yang lain juga didirikan di Surakarta. Satu di antaranya Verzorgingsgesticht, sebuah asrama bagi para pelajar. Asrama yang dibuka pada 1881 itu dibangun untuk memfasilitasi anak-anak pegawai perkebunan yang melanjutkan sekolah di Solo.

Lembaga lain adalah De Solosche Frobelschool (Taman Kanak-kanak Solo) yang mulai beroperasi pada 1887. Ada juga wisma militer Onze Woning (Rumah Kita) yang didirikan setelah Loji La Constante et Fidèle di Semarang terlebih dulu membangunnya pada 1895.

Gesekan Priyayi-Santri

Seturut Ajid Thohir dkk. dalam “The Struggle of Freemasonry and Islamic Ideology in the Twentieth Century During Colonialization in Indonesia” (2021, PDF), polemik seputar agama di antara priyayi dan santri semakin panas setelah Freemasonry memainkan peran tersembunyi dan memengaruhi golongan priyayi.

Freemasonry menolak fanatisme agama dan anggotanya konsisten menyuarakan hal itu. Di Hindia Belanda yang mayoritas penduduknya muslim, mereka gencar mempropagandakan bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak lebih baik dari budaya lokal.

Untuk memalingkan kaum priyayi dari ajaran Islam, anggota Freemason menganjurkan mereka kembali pada budaya dan kepercayaan lokal. Golongan priyayi yang terpengaruh kemudian memiliki pandangan yang berhadap-hadapan dengan kaum santri.

Untuk menyebarkan ajarannya, anggota Freemason mendirikan media massa, penerbit, dan percetakan. Usaha untuk mendorong asimilasi ajaran mereka dengan budaya Jawa sangat kentara dalam sejumlah buku yang ditulis para anggotanya.

Buku-buku tersebut misalnya Wat Ik Als Javaan voor Geest en Gemoed in de Vrijmetselarij Heb Gevonden (Apa yang Saya Temukan Sebagai Orang Jawa dalam Freemasonry untuk Pikiran dan Jiwa) karya K.G.P.A.A. Pakualam VII dan De Maconnerie onder de Javanen (Freemasonry di Kalangan Masyarakat Jawa) karya Raden Soedjono Tirtokoesoemo.

Anggota Freemason juga tak jarang menyudutkan Islam. Pada 1938, surat kabar Suara Umum milik Budi Utomo—organisasi para priyayi yang sebagian anggotanya merupakan kaum Freemason—memuat artikel provokatif yang menyebut, “Digul lebih penting dari Makkah. Singkirkan Ka’bah dan jadikan Demak sebagai kiblatmu!”

Hubungan antara Budi Utomo dan Freemasonry memang terjalin sangat dekat. Presiden Budi Utomo 1908-1911 Raden Adipati Tirto Koesoemo, misalnya, merupakan Bupati Karanganyar sekaligus anggota Freemason.

Presiden Budi Utomo 1911-1914 Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman dan Presiden Budi Utomo 1914-1915 Dr. Radjiman Wediodiningrat juga merupakan pengikut Tarekat Mason Bebas.

Dr. Radjiman yang di kemudian hari menjabat Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bahkan pernah mengkritik langsung Sarekat Islam sebagai pergerakan temporer kaum haji, santri, dan orang-orang bodoh.

Feminis radikal Soewarni Pringgodigdo juga diketahui seorang Freemason. Dia pernah melontarkan opini bahwa poligami yang diperbolehkan dalam Islam adalah perbuatan tercela dan meruntuhkan martabat wanita. Muktamar Aisyiyah pada 1932 yang salah satu hasilnya mendukung poligami karena dianggap bisa menangkal prostitusi pun tak luput dari kritiknya.

Resistensi Kaum Santri

Sebagai golongan yang pernah hampir membangkrutkan pemerintah kolonial sekaligus pesaing utama kaum priyayi, kaum santri memiliki pengaruh besar di Solo. Saat Kasunanan Surakarta baru berdiri, para ulama disebut-sebut sudah memiliki kedekatan dengan pihak keraton.

Hubungan dekat itu terus terjalin hingg memasuki abad ke-20, saat beberapa Susuhunan bahkan menjadi pendukung berdirinya sejumlah institusi pendidikan Islam di Solo. Sebut saja misalnya Susuhunan Pakubuwana X yang menyokong berdirinya Madrasah Mambaoel Oeloem.

Madrasah modern yang didirikan pada 1905 untuk menyiapkan regenerasi ulama dan mengimbangi maraknya pembangunan sekolah Kristen di Solo itu kemudian menjelma episentrum pendidikan Islam yang cukup diperhitungkan di Jawa.

Infografik Mozaik Freemasonry Surakarta

Infografik Mozaik Freemasonry Surakarta. tirto.id/Mojo

Proses islamisasi itu kemudian mendapat konfrontasi yang kuat—bahkan terkadang memojokkan—dari kaum priyayi. Hal itu dapat ditengarai dalam sejumlah tulisan yang terbit di surat-surat kabar Jawa, seperti Mardi Rahardjo, Darmo Kondo, dan Koemandang Djawi. Untuk mengkonfrontir balik tulisan-tulisan itu, H. Misbach mendirikan surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917).

Meski demikian, tulisan yang mendiskreditkan Islam tidak berhenti begitu saja. Salah satu yang paling kontroversial adalah tulisan seorang bernama Djojodikoro dengan judul “Percakapan Marto dan Djojo”. Polemik yang kemudian terjadi akibat tulisan itu bahkan sampai membuat pemerintah Hindia Belanda kelabakan.

Artikel itu dimuat oleh surat kabar Djawi Hiswara yang berpusat di Surakarta pada 11 Januari 1918. Dalam artikel yang oleh redakturnya sendiri disebut tidak layak muat itu, Nabi Muhammad secara sembrono digambarkan seolah-olah penggemar ciu dan tukang madat.

Ah, seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe) saja boekan goeroe, tjoema bertjeritera atau memberi nasehat, kebetoelan sekarang ada waktoenya. Maka baiklah sekarang sadja. Adapun fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perlu pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. Sebab Gusti Kanjeng Nabi Rasoel itoe minoem tjio A.V.H. dan minoem madat, dan kadang-kadang klelet djoega soeka. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Meskipun ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjio dan tjandoe tentoelah pajah sekali.

Ulah Djawi Hiswara yang terang-terangan mendiskreditkan figur yang sangat dihormati dalam Islam itu konon karena kuatnya pengaruh Freemasonry terhadap kaum priyayi yang duduk di balik meja redaksi surat kabar tersebut.

Buntut penghinaan itu, Abikoesno Tjokrosoejoso (kelak menjadi anggota Panitia Sembilan) menulis artikel di Oetoesan Hindia, surat kabar milik SI, yang berisi tuntutan agar Marthodarsono selaku Pemimpin Redaksi Djawi Hiswara diseret ke pengadilan.

Ketua SI H.O.S. Tjokroaminoto tak ketinggalan bersuara. Pada 6 Februari 1918, dia menggalang solidaritas umat Islam Surabaya dan mendirikan Tentara Kandjeng Nabi Moehammad (TKNM) dengan tujuan “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum Muslimin”.

Pada 17 Februari 1918, sekira 35 ribu orang tumpah ruah menghadiri pertemuan akbar yang digelar TKNM. Pertemuan itu menghasilkan mosi yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum, Sri Susuhunan Pakubuwono X, dan Residen Surakarta yang berisi kemarahan umat Islam Surabaya atas penghinaan terhadap Nabi Muhammad oleh surat kabar Djawi Hiswara.

Tak berselang lama, TKNM dibentuk di sejumlah daerah di Jawa dan Sumatra. Semuanya kompak menuntut agar Marthodarsono dan Djojodikoro dihukum. Sayangnya tuntutan TKNM berakhir antiklimaks. Beberapa pihak menyebut pengangkatan Tjokroaminoto sebagai anggota Volksraad sebagai penyebabnya.

Tanggap dengan dinamika tersebut, H. Misbach dan beberapa pedagang muslim di Surakarta, yaitu Koesen, Harsoloemakso, dan Darsosasmito, membentuk gerakan SATV (Siddiq, Amanah, Tabligh, Vatonah). Hampir sama dengan TKNM, tujuan didirikannya SATV adalah untuk “memperkuat kebenaran dan memajukan Islam”.

Meski demikian, tidak ada sikap apa pun yang ditunjukkan pemerintah Hindia Belanda terhadap Djawi Hiswara. Martodharsono—sebenarnya pernah aktif di SI—dan Djojodikoro juga tidak mendapat sanksi atau konsekuensi apa pun akibat perbuatannya.

Baca juga artikel terkait SURAKARTA atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Fadrik Aziz Firdausi