tirto.id - Dalam peringatan kemerdekaan Indonesia di Istana Yogyakarta (Gedung Agung) pada 17 Agustus 1946, seorang laki-laki tua duduk termenung. Ia menundukkan kepala sembari berlinang air mata, terharu menyaksikan negeri yang dulu diperjuangkannya telah merdeka.
Laki-laki itu adalah Radjiman Wedyodiningrat, sosok yang terlibat dalam pergerakan nasional melawan penjajah. Ia pernah menjadi Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merancang cikal bakal konstitusi Indonesia.
Selain dikenal sebagai tokoh politik, Radjiman juga adalah dokter lulusan Sekolah Dokter Djawa atau School tot Opleiding Van Indicshe Artsen (STOVIA) pada Desember 1898. Kariernya sebagai tenaga medis dimulai ketika menjadi pegawai Centraal Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), setahun setelah ia lulus. Radjiman bekerja sebagai petugas bedah mayat.
Sejak Mei 1899 sampai 1901, ia ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk melayani masyarakat di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kala itu, daerah-daerah tersebut sedang dilanda berbagai persoalan kesehatan, termasuk wabah cacar dan pes.
Ketika blusukan ke beberapa daerah, Radjiman melihat kondisi sosial dan lingkungan yang mengiris hatinya. Banyak rakyat jelata yang hidup dengan penderitaan yang luar biasa hebat. Ketimpangan sosial, kemiskinan, dan kesehatan yang buruk menyelimuti kehidupan mereka. Kondisi ini membuka mata hati Radjiman bahwa kolonialisme Belanda adalah tindakan yang kejam.
Hatinya kemudian tergerak untuk memperjuangkan nasib kaum bumiputra. Momentum ini sekaligus menjadi awal kebenciannya terhadap Belanda yang menurut laporan obituari majalah Star Weekly (27 September 1952), dipegang teguh hingga Indonesia merdeka.
Pada tahun 1903, ia ditarik pulang ke Batavia dan ditugaskan menjadi Assistant-Leraar (Asisten dosen) di almamaternya. Selain membantu dosen, ia juga kembali sekolah untuk meraih gelar Indische-Arts guna meningkatkan keterampilan dan kualifikasi kedokterannya. Di STOVIA, sebagaimana siswa lainnya, Radjiman mendapatkan pengalaman luar biasa yang sangat berguna dalam gerak perjuangannya.
Menurut sejarawan Hans Pols dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2020: hlm 69), sekolah kedokteran Hindia Belanda adalah laboratorium kolonial yang ideal untuk transformasi remaja bumiputra menjadi orang-orang terpelajar, modern, dan kosmopolitan. Mereka mendapatkan banyak pengetahuan dan keterampilan yang lambat laun mengubah orientasi kognitif dan emosionalnya.
Dan hal ini terjadi juga pada diri Radjiman yang tumbuh menjadi pelajar cerdas dan kritis. Apalagi Radjiman saat itu sudah memiliki pengalaman lapangan dengan melihat kesulitan rakyat di daerah. Hal-hal ini yang mendorong Radjiman untuk semakin giat menolong rakyat.
Dokter Keraton Belajar ke Eropa
Hanya dalam waktu dua tahun, Radjiman dinyatakan lulus ujian Indische-Arts dan berhak menyandang gelar dokter bumiputra. Setahun setelah lulus, pemerintah kolonial menugaskannya di berbagai layanan medis hingga menjadi kepala rumah sakit di beberapa daerah pada tahun 1904-1905. Di tengah kariernya yang moncer, pada tahun 1906 Radjiman tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah kolonial dan memilih menjadi dokter di Keraton Solo.
Menurut A.T. Sugito dalam Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat: Hasil Karya dan Pengabdiannya (1998), keputusan Radjiman itu tidak terlepas dari pemahamannya tentang teosofi, filsafat, dan kebudayaan Jawa. Radjiman memahami bahwa hakikat manusia harus memiliki kepribadian yang penuh pengabdian terhadap sesama umat manusia. Dan Keraton Solo adalah tempatnya.
“Dokter Radjiman membiasakan untuk mencintai kebenaran dan kedamaian. Maka kebiasaan hidup yang suci dan berbakti kepada cita-cita yang luhur pasti terus diresapi sedalam-dalamnya. Dari sinilah kepribadian Radjiman memiliki daya tarik tersendiri. Sekaligus juga menandai lahirnya jiwa kepemimpinan dokter Radjiman,” tulis A.T Sugito. Atas dasar inilah selama menjadi dokter keraton Radjiman tidak pernah mengeluh.
Bekerja di keraton membuka berbagai macam kesempatan bagi Radjiman, salah satunya adalah peluang untuk belajar di luar negeri dengan biaya penuh dari keraton. Menurut Harry A. Poeze, dkk dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2007, hlm. 74), pada Oktober 1909 Radjiman tercatat sebagai salah satu mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda. Ia melanjutkan studi kedokteran. Setahun kemudian Radjiman dinyatakan lulus dan resmi meraih gelar dokter, bukan lagi Indische-Arts atau dokter bumiputra yang berstatus sebagai dokter pembantu.
Selama di Eropa ia terus memperdalam keilmuannya, salah satunya dengan mengunjungi Berlin pada tahun 1911 untuk mendapatkan sertifikat keterampilan ilmu kebidanan, ilmu bedah, dan urologi.
Pemilihan berbagai bidang ilmu kedokteran dipilih Radjiman berdasarkan realitas masalah kesehatan di Jawa. Pemillihan kursus kebidanan, misalnya, karena angka kematian kelahiran bayi di Jawa sangat tinggi. Banyak masyarakat yang melahirkan dengan tata cara yang menurut medis masih keliru sehingga berakibat fatal terhadap nyawa bayi.
Sekembalinya dari Eropa, Radjiman langsung membuat terobosan baru di lingkungan keraton. Ia mendorong keraton untuk mendirikan apotek dan rumah sakit modern secara gratis untuk melayani orang-orang di dalam keraton, termasuk para para abdi dalem dan keluarganya. Selain itu, Radjiman juga menjadi dokter utama keraton, sekaligus orang Jawa pertama yang menjadi dokter utama di wilayah keraton.
Selama hampir tiga dasawarsa bekerja di keraton, ia berulang kali bolak-balik Jawa-Eropa untuk menambah spesialisasi kedokteran. Menginjak kepala lima pada tahun 1920-an, Radjiman kuliah di Amsterdam untuk mempelajari radiologi, dan pada tahun 1930-an mengikuti pelatihan kedokteran di Paris sekaligus berkunjung ke Amerika Serikat untuk mempelajari pelayanan medis.
Berbagai kursus medis yang diajarkan Radjiman kepada masyarakat lambat laun menambah wawasan masyarakat ihwal ilmu kedokteran modern, sehingga meningkatkan mutu kesehatan. Apalagi dalam beberapa kursus, seperti kursus kebidanan, para peserta ditugaskan ke sejumlah daerah. Maka terjadilah proses penyebaran pengetahuan dengan cakupan yang lebih luas.
Setelah hampir 40 tahun berkarier sebagai tenaga medis, pada 1934 Radjiman memutuskan berhenti menjadi dokter keraton. Ia meninggal pada 20 September 1952, tepat hari ini 69 tahun lalu.
Editor: Irfan Teguh