tirto.id - Di Indonesia, sebagian besar masyarakat masih bergantung sepenuhnya pada nasib dan kehendak Tuhan dalam menyikapi persalinan seorang ibu. Sejumlah studi antropologi menunjukkan kuatnya sistem kepercayaan dalam budaya Indonesia terkait kematian ibu dan bayi baru lahir dengan ilmu gaib dan suratan takdir.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan, pada tahun 2020 angka kematian ibu di Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini jauh di atas target Sustainable Development Goals (SDGs), yakni di bawah 70 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Pada awal 1950-an, Julie Sulianti Saroso, ahli epidemiologi penyakit tropis, menjabat sebagai Direktur Teknis Kesehatan Ibu dan Anak, Departemen Kesehatan. Dia mendapatkan beasiswa dari WHO ke Swedia untuk mempelajari fungsi dan kebijakan mengenai kesehatan ibu dan anak, serta mengamati bagaimana program pengendalian kelahiran berhasil di Swedia.
Setelah kembali ke Indonesia, seperti dicatat dalam People, Population, and Policy in Indonesia (2005: 6) suntingan Terence H. Hull, Julie bicara blak-blakan dalam program yang disiarkan RRI tentang pentingnya penggunaan alat kontrasepsi. Wakil Presiden Mohammad Hatta murka dengan pernyataan Julie, menyebutnya tidak peka terhadap budaya dan agama penduduk Indonesia.
Padahal, Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT 1956-1961) jelas menyatakan bahwa Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, dengan dua pertiga penduduk terpusat di Jawa. Sementara itu, produksi beras di Indonesia tidak cukup memberi makan sekitar 75 juta penduduk. Tetapi fakta-fakta tersebut tidak cukup membuat pemerintah berhasil mengaitkan antara ketahanan pangan dengan populasi yang terus bertambah.
Para pejabat dan anggota DPR tetap diam atas gagasan penggunaan alat kontrasepsi sebagai sarana pengendalian penduduk. Terlebih ekonomi Indonesia sangat terpuruk dengan lilitan utang dan defisit anggaran, wabah kelaparan pun melanda di berbagai penjuru negeri.
Bandung Plan dan Proyek Bekasi
Menteri Kesehatan Dr. Johannes Leimena meyakini bahwa konsep ekologis penyakit memengaruhi kesehatan masyarakat. Leimena percaya bahwa penyakit dan kemiskinan merupakan lingkaran setan. Pada 1951, Leimena mewujudkan gagasan-gagasan kesehatan sosialnya dalam Bandung Plan. Tujuannya adalah pelayanan kesehatan di masa depan yang mengintegrasikan upaya kesehatan preventif dan kuratif.
Bandung Plan menetapkan sistem rujukan untuk pelayanan kuratif dan apotek di tingkat kecamatan, serta pembentukan rumah sakit pembantu di tingkat kewedanaan. Namun ketidakmandirian finansial kabupaten untuk melaksanakan gagasan-gagasan Leimena membuat Bandung Plan gagal. Hanya di Bandung—kota yang sejak masa kolonial memiliki sistem pelayanan kesehatan yang baik—program Leimena berhasil menurunkan angka kematian ibu secara drastis.
Julie berusaha memperbaiki kekurangan Bandung Plan melalui program pendidikan kesehatan di daerah. Ia memadukan pendekatan preventif dan kuratif dengan cara mendidik anak-anak sekolah tentang kebersihan dan gizi—dengan mengembangkan kebun buah-buahan di sekolah—sehingga dapat mengatasi kekurangan vitamin. Anak-anak juga mendapatkan vaksinasi tuberculosis dan cacar serta pemeriksaan gigi secara berkala. Tetapi sebagaimana Leimena, Julie juga gagal karena kurangnya tenaga kesehatan di Indonesia.
Namun dia tak patah arang. Pada 1956, sesuai rekomendasi WHO, Julie mengembangkan unit kesehatan perdesaan melalui Proyek Bekasi sebagai proyek percontohan untuk pendidikan kesehatan masyarakat. Lagi-lagi, upaya ini gagal terkendala teknis dan pendanaan. Program ini gagal mencegah penduduk supaya tidak buang air besar di Sungai Citarum—yang airnya juga digunakan untuk keperluan rumah tangga.
“Penduduk di daerah tersebut tidak punya minat terhadap pendidikan kesehatan,” ungkap ahli sanitasi WHO, DS Bekersley, dalam buku Memelihara Jiwa-Raga Bangsa (2019: 77-116) karya Vivek Neelakantan.
Kongres Ilmu Kesehatan Anak
Pada 1967, sebagai pakar epidemiologi penyakit tropis, Julie dikukuhkan sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) sekaligus merangkap Ketua Research Kesehatan Nasional (LRKN). Lalu pada 1978 menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan.
Publikasi Julie di jurnal-jurnal terkemuka banyak terkait dengan penyakit menular. Di The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene rentang publikasi 1976-1979 saja, Julie terlibat dalam tim peneliti yang melahirkan setidaknya 7 publikasi tentang demam berdarah dengue (DBD) di wilayah perdesaan, penyakit kaki gajah Timor filariasis yang banyak diderita masyarakat Flores, dan distribusi antibodi pada suku asli Indo-Australia terhadap arbovirus (virus yang ditularkan melalui artropoda atau hewan berbuku-buku).
Meski demikian, perhatian Julie pada kesehatan bayi dan anak tidak lantas pudar. Ketika diundang dalam Kongres Ilmu Kesehatan Anak III pada Juli 1974, Julie menyampaikan data-data kematian anak dan bayi yang diperoleh dari survei rumah tangga di 6 provinsi untuk kepentingan penyusunan REPELITA II (1974-1979). Dari hasil survei diketahui, anak-anak usia prasekolah mengalami kejadian sakit paling tinggi. Infeksi pernafasan, infeksi jaringan kulit, TB paru, diare, dan tetanus merupakan penyakit umum yang diderita anak-anak.
Julie menegaskan bahwa cara penanganannya adalah dengan kedokteran komunitas. Dia merujuk pada kesuksesannya memberantas cacar sejak tahun 1968 dengan vaksin dan program pemantauan di tingkat komunitas. WHO akhirnya menyatakan Indonesia bebas cacar pada 1974. (Julie S. Saroso, Child Health Problems in Indonesia, Paediatrica Indonesiana 15:8 18 Jan-Feb 1974, hlm. 8-18).
Pada Kongres tersebut, Julie juga menyatakan bahwa pada REPELITA II, pemerintah menganggarkan lebih banyak dana untuk imunisasi, pencegahan malnutrisi, dan peningkatan asupan vitamin A pada anak-anak. Infeksi mata merupakan satu dari 10 penyakit yang umum diderita anak-anak pada masa itu.
Meskipun Indonesia memiliki tanah subur dengan tanaman-tanaman tinggi karotena yang bisa didapatkan dengan murah dan mudah, penyakit-penyakit mata akibat kekurangan vitamin A, terutama pada anak-anak, tetap merupakan masalah serius. Pada 1976, Indonesia membentuk Proyek Pencegahan Kebutaan dengan Nutrisi. Julie terlibat dalam penelitian selama dua tahun di Purwakarta dan Bandung untuk mendapatkan data riwayat rabun senja pada anak usia 0-6 tahun.
Orang tua atau pengasuh ditanyai apakah anaknya mengalami rabun senja, rabun ayam, atau dalam bahasa Sunda disebut "kotokeun"; atau dengan meminta anak mengenali mainan berukuran kecil dalam jarak tertentu setelah matahari tenggelam (Sommer et al. History of Nightblindness: a simple tool for xerophthalmia screening. The American Journal of Clinical Nutrition 33: April 1980, hlm 887-891).
Kontribusi Julie Pada Masyarakat Internasional
Selembar dokumen WHO tertanggal 29 Mei 1973 berjudul “Bantuan Kesehatan untuk Pengungsi dan Orang Terlantar di Timur Tengah”, berisi sebuah amandemen pendek usulan Julie Sulianti Saroso. Dia “meminta Komite ad hoc untuk melakukan pendekatan pertama, misalnya dengan Rumania, Senegal, dan Swiss, dan jika perlu, alternatif berikut ini…”
Selama 24 tahun sejak dibentuk pada 1949, UNRWA (badan PBB untuk pengungsi Palestina) telah membantu para pengungsi dalam hal kesehatan, pendidikan, layanan sosial, dan bantuan darurat. Pada 11 Februari 1974, Sekjen PBB menyeru kepada negara-negara anggota untuk memberikan berkontribusi, terutama dalam hal keuangan, sehingga bantuan kepada jutaan rakyat Palestina tetap dapat diberikan. Pendekatan-pendekatan ke negara-negara anggota pun dilakukan demi tujuan ini.
Julie aktif sebagai delegasi Indonesia di WHO. Pada 8 Juli 1969, ia terpilih sebagai Wakil Presiden Majelis Kesehatan WHO ke-22—badan pengatur yang bersidang setiap tahun untuk menentukan kebijakan, program, dan anggaran. Kemudian pada 1973, Julie terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan WHO ke-26.
Pada 29 April 1991, tepat hari ini 30 tahun lalu, Julie meninggal dunia. Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit penyakit infeksi di Jakarta Utara.
Editor: Irfan Teguh