tirto.id - Minum pil, pasang spiral, suntik, tanam implan—deretan opsi kontrasepsi untuk perempuan ini mungkin lazim jadi pertimbangan di sekitar kita.
Laporan Statistik Pemuda 2021 menyebut suntik sebagai metode terpopuler di Indonesia, sebesar 66,49 persen, diikuti 15,5 persen konsumsi pil.
Menariknya, data secara global menunjukkan bahwa sterilisasi atau tubektomi adalah metode kontrasepsi perempuan yang paling umum.
Laporan PBB tahun 2019 mengemukakan, sterilisasi sudah dilakukan oleh 23,7 persen populasi perempuan atau total 219 juta jiwa—diikuti pemakaian kondom oleh laki-laki (189 juta), pemasangan spiral (159 juta) dan konsumsi pil (151 jiwa).
Mari dengarkan cerita Dewi Rosiati (53). Ibu rumah tangga di Cipayung, Tangerang Selatan ini memutuskan untuk mengambil tindakan tubektomi saat melahirkan anak ketiga di usia 37 tahun.
Prosedurnya dilakukan sekaligus dengan operasi sesar pada tahun 2002. Dewi memilih tubektomi karena tak mau direpotkan dengan rutinitas minum pil atau pemakaian alat kontrasepsi lain.
Tubektomi lazim dipilih perempuan yang menuju usia kepala empat. Mekanisme pencegahan kehamilan ini berlaku permanen, sehingga lebih banyak diperuntukkan bagi yang tak ingin hamil lagi. Terlebih, kehamilan perempuan di atas usia 35 tahun cenderung punya risiko komplikasi lebih tinggi.
“Saya pikir sudah cukup, maka saat operasi sesar dokter menawarkan sterilisasi dengan cara diikat,” kata Dewi.
Sebelum melakukan tubektomi, pasien harus menjalani pemeriksaan saluran tuba terlebih dahulu dengan alat berbentuk tabung tipis yang disebut laparoskopi atau mini-laparotomi. Di dalamnya terdapat kamera dan cahaya untuk membantu dokter menemukan tuba falopi. Lalu, akses masuk tabung ke dalam perutmu dibuat dengan sayatan sepanjang 5 cm di atas garis rambut genital.
Metode ini punya banyak keunggulan, di antaranya hanya memakan waktu singkat dan tidak mempengaruhi kualitas hubungan seksual. Hm.. bisa jadi ini alasan tubektomi populer sebagai pencegah kehamilan di antara opsi lainnya.
Namun, lazimnya tindakan operasi, terdapat risiko komplikasi seperti perdarahan internal, infeksi atau kerusakan organ lain di sekitar tuba falopi karena alat masuk lewat ruang terbatas (sayatan kecil).
Selain itu, jika operasi gagal, pasien berisiko hamil ektopik, yakni keadaan sel telur dibuahi di luar rahim, biasanya di tuba falopi. Tubektomi juga tak melindungi pasien dari infeksi menular seksual (IMS), sehingga perlu tambahan alat kontrasepsi lain seperti kondom untuk mencegahnya .
Bagaimana dengan yang berubah pikiran setelah melakukan tubektomi?
Iya sih, prosedurnya memang bisa “dibatalkan” dengan operasi pembalikan tuba. Namun karena prinsip awalnya adalah pencegahan kehamilan secara permanen, tingkat keberhasilan pembalikannya hanya sebesar 40-80 persen.
Kisah Kelam Sterilisasi di Dunia
Di balik popularitas tubektomi pada hari ini, siapa sangka sejarahnya super kelam?
Di Amerika Serikat, tubektomi mustahil dipisahkan dari paham eugenik yang meyakini keturunan berkualitas terbaik dihasilkan oleh gen-gen dari ras tertentu.
Selama abad ke-20, diperkirakan lebih dari 60 ribu orang di Amerika dipaksa steril atas dasar eugenik.
Diskriminatif, bias kelas dan sarat unsur rasisme, program sterilisasi pemerintah ini menyasar kalangan minoritas, dari disabilitas dan pengidap gangguan mental, orang kulit Hitam, warga miskin, imigran sampai penduduk asli Amerika.
Menurut artikel di Institute for Healthcare Policy & Innovation, sampai tahun 1920-an sterilisasi ditujukan pada laki-laki dan perempuan kulit putih dengan dalih disabilitas.
Memasuki era segregasi rasial, perempuan kulit Hitam jadi target utamanya. Sepanjang 1937-66, merekalah demografi yang paling mungkin dipaksa steril karena dianggap miskin dan tak mampu jadi orangtua yang baik. Dalih serupa dipakai untuk mensteril 1.400 tahanan perempuan di penjara California pada 1997-2010.
Sejak 1948 sampai 1996, pemerintah Jepang menerapkan aturan yang diskriminatif terhadap disabilitas, pengidap gangguan mental atau penyakit keturunan. Mereka, mayoritas perempuan, dipaksa ikut sterilisasi atau aborsi untuk mengeliminasi generasi “inferior” Jepang.
Sebagai perbandingan, pemerintah Jerman dan Swedia yang pernah menerapkan sterilisasi paksa, sudah meminta maaf secara terbuka dan membayar kompensasi pada para korbannya sekian dekade silam.
Di India, sterilisasi meluber jadi isu gender. Menilik riwayatnya, pemerintah pada dekade 1970-an gencar mengkampanyekan program keluarga berencana nasional. Obsesi untuk mengontrol populasi ini dimulai dengan sterilisasi laki-laki. Namun seiring waktu bergeser ke perempuan.
Dikutip dari BBC, selama 2013-14 nyaris 4 juta penduduk India menjalani sterilisasi—kurang dari 100 ribu di antaranya adalah laki-laki atau hanya 2,5 persen. Sementara menurut artikel Livemint, rasio sterilisasi laki-laki dan perempuan pada 2016-2017 mencapai 1:52.
Jauh sekali perbandingannya, kan?
*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih