tirto.id - “Dunia dan semua orang di dalamnya kini telah bebas dari penyakit cacar yang sudah menjangkiti dunia sejak bertahun-tahun lamanya hingga meninggalkan kematian dan kehancurkan di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.”
Kutipan itu adalah pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) pada 8 Mei 1980 usai sukses menjalankan program pemberantasan penyakit cacar secara global. Keberhasilan itu didasarkan pada nihilnya kasus cacar air setelah terakhir kali ditemukan di Somalia pada 26 Oktober 1977, tepat hari ini 44 tahun lalu. Kelak, setiap tahun diperingati sebagai hari pemberantasan cacar sedunia.
Deklarasi ini menjadi penanda untuk pertama kalinya umat manusia berhasil memberantas penyakit yang sudah lama menghantui kehidupan sejak ribuan tahun silam.
Penyakit yang disebabkan virus Variolla ini menghadirkan malapetaka di penjuru dunia, sebelum akhirnya manusia berhasil menemukan beragam teknik pengobatan, seperti variolasi atau tindakan pencacaran dari orang yang sudah terkena cacar terhadap orang yang tidak menderita agar dirinya menjadi kebal, dan yang paling ampuh: vaksin.
Sejak vaksin cacar ditemukan oleh dokter Edward Jenner pada tahun 1796, pengetahuan dan produksi vaksin terus disebarluaskan ke seluruh dunia, dan semakin masif ketika memasuki abad ke-19. Dari sini dimulailah babak baru pemberantasan cacar, termasuk di seluruh tanah jajahan seperti Hindia Belanda.
Mula Cacar di Hindia
Merujuk riset Peter Boomgard berjudul “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica Indonesia, 1550-1930” yang terbit dalam kumpulan tulisan Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (2003, hlm. 591), keberadaan cacar sudah terdeteksi di Ambon pada tahun 1558 yang didasarkan atas catatan orang-orang Eropa. Berdasarkan penemuan tersebut, diasumsikan bahwa cacar sudah tersebar ke seluruh Nusantara pada tahun-tahun berikutnya seiring pesatnya perkembangan perdagangan dan arus transportasi.
Penyebaran cacar yang kian meluas membuat penyakit ini semakin tidak terkendali dan banyak menimbulkan korban jiwa. Terlebih kala itu pengetahuan medis tentang pengobatan cacar serta ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan masih sangat terbatas. Hal ini semakin rumit karena cacar akhirnya mengganggu sektor ekonomi.
Sejak muncul pada catatan tahun 1558, pemberantasan cacar masih belum jelas dan ampuh. Tindakan satu-satunya yang dapat dilakukan adalah dengan variolasi. Meski begitu, sejak diperkenalkan Inggris di Bengkulu dan Sumatra bagian selatan pada akhir 1770-an, metode variolasi belum sepenuhnya berhasil memberantas cacar. Misalnya pada tahun 1779-1782, seorang dokter Belanda bernama Van der Stegger melakukan variolasi terhadap 100 penderita cacar. Metode tersebut tidak membuat keseluruhan penderita sehat bahkan beberapa di antaranya meninggal dunia.
Hingga akhirnya eradikasi penyakit ini mencapai titik terang tatkala vaksin tiba di Batavia. Vaksin ini dibawa berbulan-bulan dari Jenewa, lalu melintasi teriknya daratan Baghdad hingga India, mengarungi lautan dan terombang-ambing ganasnya Samudra Hindia untuk mencapai Pulau Isle de France, dan akhirnya pada Juni 1804 barang yang ditunggu-tunggu diturunkan di Batavia.
Distribusi vaksin pun segera dilakukan ke beberapa daerah seperti Surabaya, Semarang, Jepara, Surakarta, dan Yogyakarta. Menurut Baha’udin dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Djawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX” (2006), target awal vaksinasi adalah orang pribumi yang sehari-hari berhubungan dengan orang Eropa, antara lain para pekerja perkebunan Eropa dan pejabat lokal, terutama bupati dan keluarganya.
Meski demikian, tiga tahun setelahnya perkembangan vaksinasi tidak berjalan lancar. Hal ini diungkap dalam laporan dua dokter Jerman, Andreas Ludovicius Jassoy dan Franciscus Carrolus Henricus pada Desember 1807. Dengan perasaan menyesal, dua dokter tersebut melaporkan bahwa vaksinasi yang dilakukan di Batavia dan wilayah lain di Jawa terpaksa terhenti karena kehabisan vaksin cacar aktif.
A.A Loedin dalam Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia (2010) mengungkapkan tiga alasan yang melatari masalah tersebut. Pertama, cuaca tropis mengakibatkan efektivitas vaksin cacar menurun drastis. Kedua, putusnya penyediaan vaksin cacar berkesinambungan yang memanfaatkan anak-anak yang baru divaksin. Ketiga, umur vaksin sudah terlalu tua. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal itu adalah dengan mempersingkat jarak tempuh pengiriman vaksin.
Ketimpangan Vaksinasi
Kegiatan yang lebih terstruktur dalam proses vaksinasi dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1820 dengan mengeluarkan Reglement op de uitoefering der koepokvaccinatie in Nederlandsh-Indie (Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar). Berdasarkan aturan tersebut terbentuklah dinas nasional yang khusus mengatasi serta mengeluarkan kebijakan vaksinasi cacar.
Kelak, dinas ini menerbitkan aturan mengenai pembagian tugas, tanggung jawab, dan kewajiban vaksinasi setiap minggunya serta melakukan evaluasi setiap enam bulan sekali. Selain itu, dibuat pula aturan tegas bersifat preventif mengenai sistem pelaporan cacar. Dalam praktiknya, tindakan tersebut dilaksanakan ketika pengawas mendapatkan laporan kasus cacar.
Lalu pengawas dengan sepengetahuan residen, berhak mengambil tindakan berupa pemberitahuan kasus cacar kepada masyarakat dan wilayah sekitar; melarang anak-anak yang berasal dari rumah penderita cacar untuk bersekolah; melarang penderita cacar untuk meninggalkan kediamannya; melarang pemberangkatan kapal yang ditumpangi penderita cacar; dan mewajibkan vaksinasi kepada semua anak di lembaga yang menerima subsidi. Munculnya sistem seperti ini berguna untuk mengurangi banyak korban akibat cacar.
Walaupun aturan tahun 1820 sudah cukup terstruktur, namun pemerintah kolonial mengeluarkan aturan baru lagi pada tahun 1850 untuk mematangkan program vaksinasi yang sudah berjalan. Hal baru dari aturan ini ialah sistem vaksinasi sirkuler. Tujuannya untuk meratakan persebaran dan mendekatkan vaksin cacar kepada masyarakat khususnya yang bermukim di perdesaan.
Dalam aturan ini, pemerintah berupaya membagi-bagi wilayah di Jawa dan Madura menjadi 166 distrik. Satu distrik dibuat tiga lingkaran kosentris, dan dalam satu lingkaran didirikan satu pos vaksinasi yang kelak akan ditinggali oleh para dokter Jawa. Pos-pos tersebut ditempatkan dengan jarak 1,5 km dengan pos lainnya agar tidak merepotkan masyarakat yang ingin mendapat vaksin sehingga mengurangi biaya transportasi.
Untuk memperlancar kebijakan ini, didirikanlah Sekolah Dokter Djawa yang salah satu kualifikasi lulusannya adalah memiliki keahlian sebagai vaksinator cacar. Selain karena kekurangan tenaga vaksinator, pengikutsertaan masyarakat pribumi menjadi mantri juga untuk membuka jalan vaksinasi dan meredam penolakan dari sebagian masyarakat.
Kala itu, terdapat jarak yang lebar antara program vaksinasi dan pengetahuan masyarakat. Tidak sedikit warga yang takut dengan vaksin karena menganggapnya sebagai produk kesehatan modern yang asing, berbahaya, dan jauh dari alam pikirnya. Jadi, ikatan emosional dan kultural yang terbangun antara vaksinator lokal dengan target vaksin dapat memudahkan program vaksinasi.
Pelaksanaan vaksinasi kemudian dilakukan tiga kali dalam seminggu dengan menyasar anak umur 7-9 tahun. Lalu, pada hari-hari tertentu para mantri cacar mempersiapkan vaksinasi di desa dan pos yang dipilihnya, serta memilih anak-anak yang sudah divaksinasi sebagai sumber vaksin pada proses vaksinasi berikutnya. Dalam dunia medis saat itu, hal yang wajar jika vaksin cacar segar didapat dari pustula anak yang sudah divaksinasi.
Meski proses vaksinasi tidak luput dari penolakan masyarakat, namun kegiatan ini sampai tahun 1870 sudah membuat 930 ribu orang kebal dari cacar. Mengutip riset Baha’udin, program vaksinasi di Jawa dan Madura hingga tahun 1934 sudah mencapai 1-4 juta penduduk. Sayangnya, angka ini timpang jika dibandingkan dengan jumlah vaksinasi di luar Jawa yang sangat lambat. Jika di Jawa pada tahun 1818 sudah mencapai 50 ribu vaksinasi, maka di luar Jawa pada tahun 1849 hanya mencapai 10 ribu vaksinasi.
Editor: Irfan Teguh