tirto.id - Sejak ribuan tahun silam, cacar adalah penyakit yang terus menghantui umat manusia. Seturut penelusuran Ilmuwan Stefan Riedel, bukti awal penyakit ini terlihat pada luka kulit menyerupai cacar pada mumi Firaun Ramses V yang meninggal tahun 1156 SM. Sedangkan catatan pertama yang menyebutkan cacar terdapat pada teks kuno Cina yang berasal dari tahun 1122 SM.
Sedari awal ditemukan, penyakit yang disebabkan oleh virus varicella-zoster ini telah menewaskan ratusan ribu bahkan jutaan orang. Penyebaran cacar terus berlangsung hingga ke seluruh penjuru dunia seiring dengan perpindahan manusia yang semakin masif.
Untuk menahan laju penyebaran, beragam upaya dilakukan, salah satunya adalah variolasi—tindakan pencacaran dari orang yang sudah terkena cacar terhadap orang yang tidak menderita agar dirinya menjadi kebal. Lalu pada tahun 1796 ditemukan vaksin oleh Edward Jenner sebagai intervensi paling ampuh untuk melawan cacar. Pengembangan vaksin dan proses vaksinasi kemudian dilakukan di beberapa kawasan. Tindakan ini semakin gencar seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ratusan tahun setelahnya.
Meski demikian, kehadiran vaksin tak serta-merta mencegah cacar secara tuntas. Setelah Perang Dunia II, penyakit cacar masih menghantui puluhan negara dan jutaan orang. Atas dasar itulah pada tahun 1967, organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) memulai program terencana pemberantasan cacar secara global atau Smallpox Eradication Program (SEP).
Prakarsa Uni Soviet
Program tersebut rupanya bukan prakarsa WHO semata. Dalam buku Marcos Cueto, dkk berjudul The World Health Organization: A History (2019) terungkap bahwa pelaksanaan SEP adalah hasil seruan Uni Soviet kepada WHO. Pada 1958, Uni Soviet yang diwakili oleh Wakil Menteri Kesehatan, Viktor M. Zhdanov, datang untuk pertama kalinya ke perhelatan rutin tahunan WHO, Majelis Kesehatan Dunia. Ia menyampaikan keinginan negaranya agar organisasi tersebut melaksanakan program pemberantasan cacar secara global.
Hal itu didorong oleh besarnya rasa percaya diri Soviet karena mereka sukses mengendalikan cacar lewat program vaksinasi rutin yang sudah berjalan sejak tahun 1919. Selain itu, usulan Soviet juga didasarkan atas kondisi negaranya yang terus menerus mendapati kasus baru yang berasal dari negara tetangga.
Untuk lebih meyakinkan WHO, Zhdanov menerangkan sejumlah rencana untuk membuktikan bahwa rancangannya tidak hanya sebatas omongan. Ia mengusulkan agar kelak dilaksanakan program vaksinasi yang bersifat wajib kepada seluruh warga di negara terjangkit dalam jangka waktu lima tahun. Ia juga berjanji negaranya akan memberikan 25 juta dosis vaksin per tahun kepada setiap negara.
Eksistensi Soviet yang muncul kembali dalam kancah kesehatan internasional setelah satu dekade bermusuhan dengan WHO menimbulkan pertanyaan: Apakah ada motif tersembunyi di balik rencana pemberantasan penyakit? Soviet mengklaim bahwa usulan itu murni sebagai langkah untuk mencegah cacar.
Walaupun pernyataannya sangat logis dan meyakinkan, namun Erez Manela dalam artikel “A Pox on Your Narrative: Writing Disease Control into Cold War History” (2010) mengatakan, langkah ini adalah upaya Soviet melawan pengaruh AS di WHO. Di sisi lain, kehadiran Soviet di WHO merupakan praktik atas gagasan Nikita Kruschev untuk hidup berdampingan secara damai dengan dunia Barat.
Terobosan di Tengah Perseteruan
WHO yang berdiri pada 7 April 1948, tepat hari ini 73 tahun lalu, akhirnya membuat program pemberantasan cacar secara global satu tahun setelah pertemuan tersebut. Mereka mendesak agar negara-negara terdampak melaksanakan program pemberantasan. Meski demikian, program ini berjalan mandek pada lima tahun pertama sejak dijalankan.
Terdapat dua alasan yang menyebabkan program itu mandek. Pertama, WHO saat itu sedang melaksanakan program pemberantasan malaria yang sudah berlangsung sejak tahun 1955, Kehadiran SEP membuat fokus WHO terpecah. Berbeda dengan pemberantasan malaria yang sudah lebih dulu berjalan dan memiliki banyak donatur, WHO harus mencari sumber dana baru di luar AS untuk mendukung kesuksesan program baru ini.
Alasan kedua bersifat ideologis terkait persaingan kedua negara. AS cenderung apatis karena melihat motif tersembunyi Soviet yang berupaya memperluas pengaruhnya melalui jalur kesehatan internasional dengan memprakarsai program kesehatan global. Akibatnya, AS tidak memberikan banyak dana dan SDM yang berarti dalam program ini.
Tindakan AS juga merupakan balasan terhadap Soviet karena sebelumnya negara komunis tersebut memutuskan hubungan dengan WHO dan tidak terlibat dalam program pemberantasan Malaria yang didukung kuat oleh AS.
Akan tetapi, sikap AS tersebut tidak berlangsung lama. Memasuki tahun 1960-an, Paman Sam akhirnya melunak dan setuju program SEP. Perubahan sikap AS didasari oleh nasihat ahli epidemiologi yang menyarankan kepada pemerintah agar merubah fokusnya dari pemberantasan malaria ke pemberantasan cacar. Alasannya, program pemberantasan malaria diambang kegagalan karena terjadi perubahan pola epidemiologi.
Jika pemberantasan malaria benar-benar gagal, maka wajah AS akan tercoreng. Dalam pandangan Erez Manela, perubahan dukungan AS tidak terlepas dari keinginannya menjadi hegemoni dunia di berbagai sektor, termasuk di sektor kesehatan.
“Pemerintah AS tidak menginginkan Uni Soviet menjadi pemegang hegemoni di sektor kesehatan akibat kesuksesannya dalam memimpin program global pemberantasan cacar. Untuk itu pemerintah AS berupaya menyalurkan bantuannya untuk program kesehatan sebagai cara memodernisasi masyarakat, meminimalkan infiltrasi komunis, dan mendukung pertumbuhan ekonomi kapitalis di negara-negara miskin,” tulis Manela.
Akhirnya pada tahun 1965, AS yang diwakili oleh Presiden Lyndon B. Johnson menyatakan bahwa negaranya siap bergabung dengan WHO, Soviet, dan negara lain dalam SEP untuk berperang melawan cacar di seluruh dunia, khususnya di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.
AS menyumbang banyak dana dan staf ahli. Sedangkan Soviet menyumbang vaksin hingga total 450 juta dosis. Meski kolaborasi keduanya diselimuti persaingan ideologi, kerjasama ini menjadi terobosan baru dalam kontestasi politik internasional di tengah Perang Dingin yang kian memanas.
Pada 8 Mei 1980, WHO mendeklarasikan kesuksesan pemberantasan penyakit cacar secara global yang dimulai sejak tahun 1967: “Menyatakan bahwa dunia dan semua orang di dalamnya kini telah bebas dari penyakit cacar yang sudah menjangkiti dunia sejak bertahun-tahun lamanya hingga meninggalkan kematian dan kehancurkan di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.”
Deklarasi yang disampaikan pada perhelatan konferensi kesehatan dunia ke-33 tersebut menandai keberhasilan umat manusia memberantas penyakit untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Editor: Irfan Teguh