Menuju konten utama

Wabah Monkeypox: "Kalau Gagal, Kita Menghadapi Masalah Serius"

Pemerintah berkejaran dengan waktu agar wabah cacar monyet tak menjadi pandemi. Deteksi, isolasi, dan vaksinasi jadi tiga hal penting.

Wabah Monkeypox:
Sejumlah penumpang berjalan melewati alat pemindai panas tubuh di terminal kedatangan internasional Bandara Sultan Syarif Kasim II di Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (14/5/2019). ANTARA FOTO/FB Anggoro/ama.

tirto.id - Di sela-sela pembahasan soal keuangan di parlemen 24 Agustus 2022 lalu, komisi IX mewanti-wanti Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin. Pada rapat kerja yang diselenggarakan secara tertutup tersebut, legislator fraksi PKS, Netty Prasetiyani meminta pemerintah agar tidak gegabah menangani penyebaran penyakit cacar monyet.

“Saya memberikan catatan kepada pemerintah melalui Kemenkes, agar tidak menganggap remeh cacar monyet,” kata Netty kepada wartawan Tirto, Sabtu (27/8).

Netty menjelaskan rapat membahas peningkatan kewaspadaan potensi penyebaran dari luar negeri. Potensi penyebaran penyakit ini di tanah air semakin terbuka karena arus orang masuk orang dari luar negeri. Sementara sejumlah negara Barat menyatakan penyakit tersebut sebagai wabah.

Netty menjelaskan pemerintah harus mendengar banyak masukan terkait penanganan cacar monyet ini. Netty menilai pemerintah sebelumnya pernah menganggap sebelah mata Covid-19, sehingga persiapan penanganannya tidak maksimal.

"Tentu kita belajar dari pandemi Covid-19 yang awalnya juga kita anggap sebagai penyakit yang ringan," kata Netty.

Sampai akhir Agustus ini, Indonesia mengumumkan satu kasus positif cacar monyet. Temuan kasus cacar monyet ini jadi yang pertama di tanah air. Penyakit yang disebabkan virus dari genus Orthopoxvirus dalam keluarga Poxviridae itu diketahui terdeteksi pada manusia di 1970 di Kongo. Sejak itu, cacar monyet diketahui menular ke populasi yang lebih luas sehingga menjadi endemik di sejumlah negara Afrika Barat dan Tengah.

Pada 2022, penyakit ini bermunculan di negara-negara di benua Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Australia yang notabene wilayah non endemis penyakit tersebut.

Pada 20 Agustus lalu, pemerintah menyebut bahwa seorang pasien positif tinggal di Jakarta. Ia merupakan seorang pria berusia 27 tahun, yang pada akhir Juli lalu sempat bepergian ke Swiss, Belgia, Belanda dan Prancis sebelum sakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) regional Eropa diketahui sudah mengumumkan wabah cacar monyet sejak Mei 2022 lalu di sejumlah negaranya.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan penyakit cacar monyet, dr. Mohammad Syahril menyebut pasien mengalami gejala ruam di bagian muka, telapak kaki, telapak tangan, alat genital, demam, dan pembesaran kelenjar getah bening.

Belakangan kondisi pasien tersebut mengalami pemulihan setelah menjalani isolasi mandiri. Dari pasien tersebut, terlacak setidaknya tiga kontak erat. Meski begitu, tak ada temuan lebih lanjut kasus baru cacar monyet pada kontak erat itu.

Sebelum temuan pasien pertama, sejumlah suspek tercatat di berbagai tempat tanah air. Awal Agustus lalu, pemerintah setidaknya telah mengumumkan total 18 suspek. Belakangan, suspek-suspek tersebut dinyatakan negatif cacar monyet.

Meski begitu, suspek di Indonesia sebenarnya sudah ditemukan lebih dini. Setidaknya sejak Mei 2022, Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah mencatat 11 orang sebagai suspek, dengan satu di antaranya memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri.

"Sudah ada 11 yang diperiksa PCR, negatif semua," kata Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dr. Ngabila Salama kepada wartawan Tirto, Senin (22/8).

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah “mengaktifkan alarm” waspada. Beberapa hari setelah pengumuman pasien pertama, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk bisa mempercepat proses vaksinasi cacar monyet dan juga pengetatan pintu masuk internasional ke dalam negeri.

"Ya, sudah saya perintahkan kepada Menkes yang pertama urusan vaksin segera. Yang kedua untuk tempat-tempat yang interaksinya tinggi kemudian gerbang-gerbang masuk ke negara kita betul-betul dicek secara ketat," Kata Jokowi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Selasa (23/8).

Infografik Monkeypox

Infografik Monkeypox. tirto.id/Quita

Tantangan Vaksinasi dan Obat

Upaya menangani cacar monyet ini menghadapi sejumlah tantangan. Untuk vaksinasi misalnya, baru akan dilakukan di akhir tahun dan dengan sasaran kelompok khusus.

Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin menyebut vaksinasi akan dilakukan kepada kelompok rentan, terutama mereka yang memiliki masalah terkait imun atau immunocompromised.

Budi juga menyebut, pemberian vaksin ini tidak disediakan secara luas, lantaran sebagian kelompok umur sudah pernah mendapatkan vaksinasi smallpox. Konteks vaksinasi tersebut mengacu pada era wabah cacar (smallpox) yang menyerang Indonesia pada periode 1960 sampai 1970-an.

"Monkeypox masih satu genus dengan cacar yang dulu yang Smallpox. Jadi saya bilang ke para ahli, kalau kita pernah divaksin cacar pada tahun 1970-an atau kelahiran seperti saya, yang lansia-lansia itu imunitasnya ada dan (vaksin, red.) cacar itu beda dengan COVID-19 yang turun setiap enam bulan," kata Budi.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional atau Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dr. Julita Sundoro mengatakan hingga kini, Indonesia masih dalam proses pemesanan vaksin.

Meski begitu, menurut Julita, persediaannya akan terbatas lantaran negara penghasil vaksin juga terhitung sedikit. Negara yang sering disebut sebagai penghasil vaksin cacar monyet adalah Denmark, lewat perusahaan Bavarian Nordic yang menghasilkan vaksin Jynneos. “Kita juga kan antre ya,” kata Julita kepada Tirto, (29/8).

Karena ketersediaannya yang terbatas, menurut Julita, penyediaan vaksin akan diutamakan bagi kelompok yang terpapar cacar monyet. “Post exposure, habis terpapar, bukan semua orang dikasih,” kata Julita.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan juga mencatat ketersediaan anti virus yang bisa dipakai untuk penanganan pasien cacar monyet yang masih terbatas. Antivirus tersebut adalah Tecovirimat yang diketahui sudah dikembangkan dan mendapat lisensi European Medicines Agency (EMA) untuk penanganan cacar monyet sejak 2022 ini.

Adapun pemerintah juga masih mendorong jumlah laboratorium untuk pengecekan spesimen suspek cacar monyet. Sampai saat ini, menurut Syahril, terdapat lima laboratorium di sejumlah daerah di Indonesia yang bisa melakukan pengecekan terhadap spesimen suspek cacar monyet.

Di antaranya adalah Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Institut Pertanian Bogor, Rumah Sakit Sanglah Bali, Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit Batam, Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso.

“Selanjutnya akan segera ditambah delapan lagi,” kata Syahril.

Deteksi dan Isolasi

Sementara itu, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman mengatakan sejauh ini pemerintah sudah cukup baik dalam menanggapi penyakit cacar monyet ini, terutama dalam hal screening di pintu-pintu internasional dan juga rencana vaksinasi.

Meski begitu, ia mengingatkan agar pemerintah meningkatkan kapasitas deteksi dan isolasi mereka yang diduga terpapar cacar monyet. Ia mengusulkan sebaiknya pemerintah Indonesia memfasilitasi tempat isolasi bagi pasien cacar monyet selama minimal tiga pekan hingga satu bulan, sejak kasus pertama konfirmasi clade II - varian monkeypox yang berasal dari Afrika Barat - ditemukan.

“Kalau kita ini gagal [menangani dan mencegah clade], ya kita akan menghadapi masalah serius,” kata dia.

Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan juga menyarankan durasi karantina disesuaikan dengan masa inkubasi suatu penyakit menular. Ia mencontohkan masa inkubasi virus cacar monyet selama 21 hari.

“Sampai benar-benar bersih dan tidak membawa penyakit menular yang berbahaya," kata Ede.

Baca juga artikel terkait CACAR MONYET atau tulisan lainnya dari Johanes Hutabarat

tirto.id - Indepth
Reporter: Johanes Hutabarat, Haris Prabowo, Reja Hidayat & Farid Nurhakim
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Adi Renaldi