Menuju konten utama
Hari Pendidikan Nasional 2023

Biografi Ki Hajar Dewantara, Jasa, & Semboyan tentang Pendidikan

Biografi Ki Hajar Dewantara, jasa, dan semboyannya tentang pendidikan menjadi pegangan para pendidik dan peserta didik.

Biografi Ki Hajar Dewantara, Jasa, & Semboyan tentang Pendidikan
Ki Hajar Dewantara. FOTO/commons.wikimedia.org

tirto.id - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap 2 Mei, yang tak lain merupakan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara. Menelusuri sejarah, biografi, dan mengenang jasa perjuangan Bapak Pendidikan Nasional tersebut menjadi sesuatu yang penting, termasuk 3 semboyannya yang terkenal tentang pendidikan.

Ki Hajar Dewantara lahir di lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Bernama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat, beliau dikenal sebagai aktivis sekaligus jurnalis pergerakan nasional yang pemberani.

Bambang Sokawati Dewantara dalam Ki Hajar Dewantara Ayahku (1989) menjelaskan, pengubahan nama tersebut terjadi 3 Februari 1928. Istri Suwardi, Sutartinah, mengikuti jejak suaminya dengan nama Nyi Hajar Dewantara.

Beliau masih tergolong sebagai cucu Pangeran Paku Alam III lewat ayahya, GPH Soerjaningrat. Dengan privilesenya sebagai anak priyayi atau bangsawan Jawa, Suwardi lebih mudah mengakses pendidikan ketimbang golongan rakyat lainnya.

Pada buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II A: Kebudajaan dijelaskan, Suwardi menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan mencoba mendaftar ke sekolah kedokteran untuk siswa asli, STOVIA, tapi gagal akibat sakit. Suwardi lantas memilih menjadi jurnalis dan menulis untuk berbagai surat kabar. Tulisannya bergaya populer, komunikatif, penuh idealisme kebebasan, dan menyebarkan sentimen anti-kolonialisme.

Beliau sempat ikut sebagai anggota Boedi Oetomo di Jakarta--saat itu bernama Batavia--pada 20 Mei 1908. Empat tahun kemudian, tepatnya 25 Desember 1912, Suwardi keluar dan memilih mendirikan Indische Partij bersama Cipto Mangunkusumo dan Ernest Douwes Dekker.

Persahabatan dan kerja sama antara ketiga orang tersebut--Suwardi, Douwes Dekker, dan Cipto--membuatnya dijuluki sebagai Tiga Serangkai. Namun, ketegasan Suwardi dalam mengkritik pemerintah kala itu membuat ketiganya diasingkan ke Belanda. Itu terjadi sekira 1913, sebagaimana dikutip dari Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (1986).

Pengasingan itu tidak membuat perjuangannya melempem. Di Belanda, beliau bergabung dengan Indische Vereeniging, organisasi pelajar Indonesia.

Suwardi alias Ki Hajar Dewantara baru dipulangkan pada 6 September 1919. Tekad Suwardi untuk berjuang melawan kolonial Belanda juga belum surut. Beliau menegaskan, "Kini, saya telah memperoleh kembali kebebasan saya tanpa suatu janji atau pernyataan apapun juga dari saya. Ini berarti kemenangan bagi saya."

Ki Hajar Dewantara tetap melakukan kritik lewat tulisannya hingga tak jarang kerap berurusan dengan aparat keamanan kolonial. Masuk-keluar penjara menjadi hal yang lumrah baginya.

Sampai suatu hari, beliau mendapatkan nasihat dari istrinya agar mengubah metode perjuangannya. Ki Hajar Dewantara setuju dan akhirnya mencoba masuk ke jalur pendidikan. Dia memiliki tekad mencerdaskan bangsa lewat pendidikan.

Jasa Ki Hajar Dewantara di Bidang Pendidikan

Membangkitkan semangat anti-kolonial

Sejak muda, Ki Hajar Dewantara sudah menolak dan melawan ketidakadilan kolonial Belanda melalui tulisan, organisasi, dan pendirian Taman Siswa. Semuanya bertujuan agar rakyat Indonesia mendapatkan perlakuan dan pendidikan yang layak agar tidak terus-menerus berada di bawah kolonial Belanda.

Mendirikan Taman Siswa

Suwardi merintis pembuatan sekolah Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Taman Siswa) di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Taman Siswa memiliki komitmen untuk membahagiakan bangsa dan manusia, serta menjadi panggilan nurani dalam memajukan kehidupan bangsa.

Lewat Taman Siswa, Suwardi mampu menggerakkan masyarakat untuk menjadi pribadi terpelajar. Lembaga pendidikan tersebut dinilai sebagai tonggak awal kebangkitan pendidikan bangsa yang membuat bumiputera mampu bangkit melawan kolonialisme.

Suwardi mengajarkan konsep pendidikan yang selama ini digagaskan kepada para muridnya. Pendidikan di Taman Siswa diarahkan pada tujuan nasionalisme, semangat perjuangan, dan kerakyatan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme.

Mengabdi di masa Indonesia merdeka

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Presiden Soekarno menyusun kabinetnya dengan melibatkan Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pengajaran pada 1945. Pada 2 April 1959, Ki Hajar Dewantara wafat di usia 70 tahun dan dianugerahi sebagai pahlawan nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara dianggap sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Kontribusinya yang besar dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi rakyat Indonesia dan gagasannya tentang pendidikan inklusif telah memberikan pengaruh yang mendalam dalam sistem pendidikan di Indonesia hingga saat ini.

Membuat Semboyan yang Menjadi Dasar Pendidikan Indonesia

Ada tiga semboyan yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantara yakni ing ngarsa sung tulada 'yang di depan memberi contoh'; ing madya mangun karsa 'yang di tengah membangun cita-cita'; dan tut wuri handayani 'yang belakang mengikuti dan mendukung'.

Disitulah lahir semboyan “Tut Wuri Handayani” yang hingga kini menjadi semboyan pendidikan nasional. Artinya, seorang guru haruslah membimbing siswanya namun tetap memberi jalan untuk menentukan pilihannya sendiri (mandiri).

Semboyan "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" sampai saat ini dijadikan sebagai motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk penyelenggaraan pendidikan nasional.

Menggagas asas-asas pendidikan

Dalam buku Ki Hajar Dewantara (1985) asas-asas pokok tersebut dinamakan Pancadarma Taman Siswa dan terdiri dari asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan.

Baca juga artikel terkait HARI PENTING atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Fadli Nasrudin