tirto.id - Pada pertengahan tahun 1935, muncul polemik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan tulisan bernada keras di majalah Poedjangga Baroe, yang isinya mengkritik sikap anti-intelektualisme dan anti-materialisme yang dipertahankan oleh kelompok tradisional dalam dunia pendidikan. Penulis novel Layar Terkembang itu beranggapan bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju jika mau berguru kepada pemikir Barat.
“Mereka yang mempunyai anggapan seolah-olah segala orang Timur wali yang suci dan segala orang Barat penjahat yang tiada berhati demikian, pasti akan kaget mendengar ucapan yang mengatakan bahwa orang Timur harus berguru kepada orang Barat,” tulisnya, seperti disunting Achdiat K. Mihardja dalam bunga rampai Polemik Kebudayaan (1948).
Tulisan yang terbit tidak lama setelah kongres pertama Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo tanggal 8-10 Juni 1935 ini segera melahirkan beragam reaksi. Tokoh-tokoh pendidikan beramai-ramai memuji kepeloporan Sutan Takdir dalam hal modernisasi pemikiran di bidang pengajaran sastra, namun tidak sedikit pula yang menyebutnya kelewat keranjingan pada Barat.
Menurut pakar linguistik Benny H. Hoed, kekhawatiran Sutan Takdir bertolak pada pemikiran yang menyebut bahwa nilai-nilai sains modern telah menyingkirkan nilai-nilai religius dan estetis. Dia percaya bahwa model pendidikan yang masih berada di bawah nilai ketimuran yang kolot justru bisa menghambat kemajuan yang diidam-idamkan para tokoh pergerakan nasional. Maka, dalam pandangannya, reformasi ke arah model filsafat Barat sangat diperlukan.
“Kita tidak dapat mengingkari bahwa Manusia Indonesia di hari depan adalah Manusia Renaissance, Manusia Barat, yang rasional dan mandiri,” kata Sutan Takdir, seperti dikutip Benny dalam bukunya, Dari Logika Tuyul ke Erotisme (2001: 81).
Soetomo, pendiri Boedi Oetomo yang banyak menulis tentang pendidikan, tidak sepakat dengan Sutan Takdir. Dokter lulusan Stovia ini masih memandang perlu keberadaan filsafat Timur untuk menyusun perguruan nasional yang lebih sempurna sifatnya daripada perguruan di dunia Barat. Dia menunjuk Taman Siswa sebagai model perguruan yang bisa menambal kekurangan dan kesalahan pemikiran Timur di bidang pendidikan.
“Taman Siswa di antaranya menunjukan satu sifat perguruan itu, yang berarti penambahan perasaan yang elok, yang berwujud ke dalam tarian dan nyanyian yang mendekatkan kita kepada bangsa, sehingga timbullah dengan sendirinya kecintaan kepada tanah air,” demikian pemikiran Soetomo yang dihimpun dalam Dr. Soetomo Pahlawan Bangsaku (2002: 36).
Polemik kebudayaan yang berlangsung berlarut-larut itu rupanya juga melibatkan pendiri Taman Siswa, meskipun tidak seaktif lainnya. Dalam majalah Wasita, Tahun 1, No. 8 (September 1935), Ki Hadjar Dewantara sempat memperingatkan tokoh-tokoh yang terlibat polemik akan pentingnya nilai-nilai kebudayaan asli di samping nilai-nilai baru. Dalam paparannya, dia lebih banyak menyodorkan keragaman pandangan hidup di zaman pembaharuan yang sepatutnya dilaksanakan secara seimbang.
Pemikiran Timur seringkali dianggap irasional, kolot, dan mengutamakan emosi alih-alih logika. Sebaliknya, Pemikiran Barat diagung-agungkan sebagai angin modernisasi yang memiliki misi membebaskan pikiran-pikiran terbelakang ke arah yang lebih maju dan rasional. Padahal kenyataannya, konsep budaya, adat, dan leluhur yang dipahami oleh sebagian besar orang, dari dulu hingga kini, diciptakan oleh proses sejarah yang panjang.
Edward Said dalam Orientalism (1978) menjuluki konstruksi semacam itu dengan sebutan orientalisme. Menurutnya, cara pandang sarjana Eropa era kolonial terhadap tatanan hidup dunia Timur yang serba janggal dan misterius lambat laun berubah menjadi stereotip. Konsepsi yang tidak sepenuhnya benar ini lantas diajarkan kembali kepada anak-anak di negeri terjajah melalui model pendidikan bergaya Barat.
Empat puluh tahun sebelum Said menerbitkan karyanya, Ki Hadjar Dewantara sudah lebih dulu mengemukakan pandangan kritisnya terhadap persoalan orientalisme dalam kebudayaan Indonesia pra-kemerdekaan. Sebagaimana dipaparkan dalam esainya yang bertajuk “Pembaharoean Adab,” Indonesia pada waktu itu tengah terpecah antara mereka yang mendukung tumbuhnya pemikiran Barat yang modern dengan kelompok tradisional yang menunjung asas ketimuran.
“Berkenaan dengan itu pula, seringkali kita melawan atau menghalang-halangi pergantian adat, di mana kita merasa akan kerugian. Akan tetapi, acap kali kita sendiri menganjurkan pergantian itu, bahkan seringkali dengan sifat radikal atau revolusioner, di mana kita merasa harus membebaskan diri kita dari ikatan adat yang menghalangi kemajuan,” tulisnya.
Dalam paparannya tersebut, Ki Hadjar secara tidak langsung menekankan bahwa pada hakikatnya perspektif Barat dan Timur lahir dari konstruksi sosial hasil proses kolonialisme. Sejak tahun 1870-an, bangsa Indonesia menyaksikan kemunculan bermacam-macam cara hidup baru menyusul gelombang besar kedatangan orang-orang Eropa. Budaya dan cara berpikir yang mereka anut lantas membuat sebagian kalangan bumiputra mengidamkan kehidupan dan kemerdekaan yang sama.
Dalam pandangan Ki Hadjar, superioritas dunia Barat yang dikemukakan Sutan Takdir tidaklah salah. Toh, sebelumnya, cucu Pakualam III ini pernah berandai-andai jadi seorang Belanda (meski hanya untuk mengejek pemerintah kolonial). Pada 1913, dia juga sempat menyaksikan sendiri kemegahan negeri Belanda saat diasingkan bersama Tiga Serangkai. Namun, pemandangan itu tidak cukup bagi Ki Hadjar untuk memalingkan wajah dari adat ketimuran yang menurutnya lebih ampuh membentuk karakter manusia.
Ki Hadjar percaya pada keluhuran budi pekerti yang didapat dari prinsip nasional, kultur, dan nilai-nilai ketimuran. Prinsip itulah yang mendasari asas dan tujuan pembentukan Taman Siswa setelah meninjau gaya pengajaran di sekolah buatan Belanda, Hogere Burgerschool, yang tidak memberikan pelajaran budi pekerti. Sebagaimana dipaparkannya dalam biografi Ki Hadjar Dewantara (1982: 90) yang disusun Darsiti Soeratman, model pengajaran bergaya Barat yang sekadar mencetak intelek membuat para guru terlihat seperti mandor di depan kelas yang kekurangan perhatian kepada murid-muridnya.
Editor: Irfan Teguh Pribadi