Menuju konten utama

Said Reksohadiprojo, Pamong nan Bersahaja di Taman Siswa

Ia mempelajari falsafah Barat dan Timur serta jadi guru luar biasa bagi para seniman belia yang gemilang.

Said Reksohadiprodjo. FOTO/IStimewa

tirto.id - Setiap guru luar biasa akan menghasilkan murid yang luar biasa pula. Predikat itu bisa kita lekatkan pada mahaguru Ki Ageng Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara, juga guru seniman-seniman belia yang moncer di Jakarta: Said Reksohadiprojo.

Pak Said, begitu panggilan akrabnya, adalah sosok pamong (sebutan untuk guru di Taman Siswa) yang berperan sentral menjadikan Taman Siswa Jakarta sebagai tempat istimewa pada periode 1950-an. Sekolah ini jadi uang berkumpul para seniman, sastrawan, dan budayawan kala itu: S.M. Ardan, Soekanto S.A., Sobron Aidit, Misbach Jusa Biran, Sjumandjaja, dan Achmad M.S.

Bahkan, Ajip Rosidi memutuskan untuk pindah sekolah ke Taman Siswa setelah ia banyak mendengar cerita dari Ardan dan Soekanto tentang Taman Siswa. Cerita soal hubungan antara murid dengan pamong yang dekat dan akrab, kerap mementaskan pertunjukan kesenian, dan sosok Pak Said yang memiliki pergaulan luas di kalangan seniman.

Khususnya seniman yang pernah dididik di Taman Siswa seperti Ramadhan K.H., Asrul Sani, dan Pramoedya Ananta Toer, seperti digambarkan La Fébre dalam bukunya mengenai Taman Siswa.

La Fébre menggambarkan bagaimana Taman Siswa Jakarta pada masa pendudukan Belanda tahun 1948 telah menjadi tempat bernaung kaum seniman kiblik pendukung Republik Indonesia. Affandi yang datang ke Jakarta saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam "Aksi Polisionil" kemudian singgah dan bermukim bersama anak istrinya di bangunan bekas garasi di komplek Taman Siswa Jakarta di Jl Garuda.

Baca juga: Perupa Lekra Sahabat Sukarno

Pelukis ini tinggal selama kurang lebih satu tahun sambil mempersiapkan keberangkatannya ke Shantiniketan Art School di India yang didirikan penyair Rabindranath Tagore. Kemudian sering singgah pula penyair Chairil Anwar ke garasi tempat Affandi bernaung. Keduanya memang berkawan baik, setahun sebelumnya Chairil memang berkunjung ke Yogyakarta, dan bekerjasama membuat poster perjuangan "Bung Ayo Bung!" yang terkenal itu.

Affandi yang menggambar poster, Chairil yang mencipatakan slogan perjuangannya. Di Taman Siswa Jakarta-lah Affandi membuat lukisan Chairil Anwar yang menurut Nasjah Djamin tarikan kuas terakhirnya diselesaikan saat penyair Angkatan ‘45 ini menghembuskan nafas terakhir tanggal 29 April 1949. Dan, Pak Said sebagai pamong Taman Siswa Jakarta, digambarkan oleh La Fébre dalam satu halaman penuh.

Baca juga: Mengenang Si Binatang Jalang

Sosok Sederhana dan Amikal

Pak Said yang sederhana dan amikal memang meninggalkan kesan bagi mereka yang pernah mendapat pendidikan di Taman Siswa Jakarta. Misbach Jusa Biran, senior Ajip di Taman Siswa menulis Said sebagai, "Pamong yang saya kagumi, saya benci, saya musuhi saya cintai, saya cintai..." dalam buku Mohammad Said Reksohadiprojo di Mata Sahabatnya.

Kebersahajaan Pak Said itu dapat dilihat dari pakaian yang dikenakannya. Menurut Misbach, Said berpakaian aneh, mengenakan kopiah, kemeja lengan pendek, bersarung dan tak beralas kaki. Mirip pakaian santri. Walaupun kemudian hari Said memilih mengenakan sandal dan sepatu sandal serta jas untuk acara yang lebih resmi.

Sandal inilah yang mewakili kebersahajaan Said. Saat dilantik oleh Bung Karno sebagai Deputi Menteri P&K pada tahun 1966, Pak Said tak mengenakan sepatu tapi sandal, mengenakan jas sederhana tapi tak berdasi. Itu kali kedua ia diangkat sebagai pejabat negara oleh Presiden Sukarno setelah sebelumnya menjadi Sekretariat Kepemudaan Negara dan saat diambil sumpah hanya mengenakan celana pendek berbahan drill.

Penyair Taufiq Ismail membuat puisi khusus dengan mengambil sandal sebagai simbol untuk menggambarkan Pak Said dalam puisinya yang berjudul "Sandal Mohammad Said Reksohadiprojo."

Ajip Rosidi mendengar anekdot tentang kesederhanaan Pak Said dari kawannya yang telah lebih dahulu bersekolah di Taman Siswa seperti Sobron dan Ardan. Suatu hari, datang seorang yang berpakaian mahal ke Taman Siswa dan menjumpai seorang berpakaian kaos oblong dan hanya bercelana pendek sedang mengurus tanaman.

Rupanya sang tamu hendak menemui Pak Said dan bertanya kepada sosok yang dijumpainya itu menjawab, "Oh ingin bertemu Pak Said? Tunggu sebentar".

Sosok itu kemudian masuk ke dalam bangunan sekolah dan kembali telah berpakaian kemeja katun dan celana drill yang biasa saja, sambil mengenalkan diri sebagai Pak Said.

Saat ia wafat pada 1979, Goenawan Mohamad menulis dalam Catatan Pinggir-nya, "Ada yang mengatakan sikap hidup Pak Said adalah sikap hidup yang ekstrem: seorang tokoh yang cuma bersandal, seorang anggota Dewan Pertimbangan Agung yang tak bermobil, seorang menteri (di waktu yang lampau) yang dari gedung departemennya keluar membeli rokok sendiri di tepi jalan."

Meninggalkan Gelar Priyayi Demi Sebutan “Ki”

Pak Said yang lahir di Purworejo pada 21 Januari 1917 sebenarnya bisa saja memilih hidup mewah. Sosok yang ketika kecil bernama Bambang Sonyo Sudarmo ini merupakan cucu Bupati Semarang, R.M.T. Reksodirdjo. Ayahnya adalah R.M. Reksohadiprojo, wedana yang namanya harum sebagai pembela rakyat dan diberhentikan karena sering terlibat bentrok berbeda pendapat dengan seorang Residen Belanda.

Sang Ayah kemudian membuka sekolah swasta di Purworejo pada tahun 1912 yang diberi nama Hollandsche Cursus de Vooruitgang. Sekolah yang membantu anak-anak ambtenar mempersiapkan diri masuk ke jenjang sekolah Belanda yang lebih tinggi ini sukses, sehingga dibuka cabangnya di beberapa kota seperti Kutoarjo, Wonogiri, Ponorogo, dan Sala. Hubungannya dekat dengan Sri Mangkunegaran VII yang masih terhitung kerabat.

Entah karena latar belakang keluarga, akhirnya Said memutuskan untuk menjadi pendidik dan mengabdikan dirinya sebagai pamong di Taman Siswa sepanjang hidupnya. Atau bisa jadi Pak Said mengikuti jejak idolanya di lingkungan Taman Siswa yaitu R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang juga mencampakkan gelar kebangsawanan untuk mengabdi menjadi seorang pendidik.

Baca juga: Gaya Radikal Ki Hadjar Dewantara

Said tadinya tak belajar di lingkungan Taman Siswa. Sebagai anak priyayi, ia menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) pada 1929, kemudian melanjutkan sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) Semarang. Tak mengherankan bila ia fasih berbahasa asing: Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman.

Saat di HBS, kepandaiannya mendorong beberapa orang gurunya, terutama Nyonya Franken yang tergerak untuk membiayai Said melanjutkan ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundinge Hoge School) di Jakarta. Karena tak ingin berutang budi dan khawatir tak mampu membalas kebaikan, Said memutuskan berhenti kuliah pada tingkat ketiga GHS.

Keengganan untuk menyakiti mahkluk hidup lain seperti yang diajarkan filsuf India, Krishnamurti adalah alasan lain seorang Said Reksohadiprojo untuk meninggalkan sekolah kedokteran pada tahun 1937. Lagi-lagi hal ini menjadi kesamaan dengan Ki Hajar Dewantara yang memilih keluar dari Sekolah Kedokteran Jawa (Stovia).

Menerapkan Falsafah Dasar Ki Hajar Dewantara

Selain sosok Pak Said yang sederhana dan amikal, daya pikat Taman Siswa Jakarta juga lahir dari metode pendidikan yang diterapkannya. Pada 1937, saat menganggur selepas memutuskan keluar dari sekolah kedokteran, Said diajak seorang kawannya yang bernama Adnan Dipodiputro untuk menjadi pamong di Taman Siswa Jakarta yang saat itu dipimpin oleh Ki Mangunsarkoro.

Di Taman Siswa Jakarta yang kemudian dipimpin oleh Pak Said menggantikan Ki Mangunsarkoro pada 1945. Menurut Misbach Jusa Biran, pada 1950-an kegiatan kesenian berkembang pesat di kalangan siswa sendiri. Setiap Ahad atau waktu luang di luar jam sekolah, berbagai kegiatan diselenggarakan. Mulai dari melukis, sandiwara, diskusi sastra, tari atau latihan paduan suara (koor).

Pak Said selalu datang melihat, memberi semangat dan berdiskusi mengenai kegiatan yang dilakukan oleh siswanya. Misbach pernah berkesempatan menyelenggarakan diskusi seni rupa dengan mendatangkan pelukis S.Sudjojono atau mengundang sastrawan Iwan Simatupang sebagai pembicara.

Sebenarnya kegiatan kesenian di lingkungan Taman Siswa Jakarta telah dimulai saat Affandi tinggal di bangunan garasi sekolah ini. Tak ingin hanya berdiam diri, Affandi dan Pak Said, serta beberapa pelukis yang bernaung di tempat yang sama, mendirikan organisasi Gabungan Pelukis Indonesia (GPI).

Saat sekolah libur, sering diselenggarakan pameran lukisan terutama dari pelukis yang tergabung dalam GPI. Pak Said juga terkadang memberikan orderan kepada para pelukis untuk membuat lukisan tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Thamrin, Kartini, Cahairil Anwar, Amir Hamzah, bahkan Gandhi dan Rabindranath Tagore yang merupakan tokoh panutannya.

Dorongan untuk aktif mengambil peran menyelenggarakan kegiatan sendiri juga dialami oleh Ajip Rosidi. Saat masuk bersekolah di Taman Siswa, Ajip meneruskan kegiatan yang sudah menjadi tradisi tadi. Ajip kemudian menyelenggarakan beberapa diskusi sastra dengan mengundang penulis Soedjatmoko.

Acara diskusi itu turut dihadiri oleh beberapa pamong, di antaranya adalah Rusman Sutiasumarga, Abdurachman Surjomihardjo dan tentu saja Pak Said. Setelah itu, Ajip kemudian menyelenggarakan diskusi sastra dengan mengundang H.B. Jassin.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/21/said--MILD--Quita-01.jpg" width="860" alt="infografik said" /

Bisa juga disimak pendapat pelawak Ateng Soeripto dalam buku Kompor Mleduk Benyamin mengenai peran Perguruan Taman Siswa, Kemayoran dalam membentuk dirinya:

"Di sini setiap anak yang mempunyai kemampuan apa saja, diberi kesempatan berkembang. Tapi kalau dikatakan secara otodidak juga benar karena di situ kita belajar kesenian secara khusus. Yang ada hanyalah fasilitas tempat serupa satu ruangan yang didalamnya terdapat gumpalan tanah dan piano, yang dapat digunakan oleh siswa yang mau bikin patung atau apa saja yang bersifat kreasi seni. Saya pun melawak di situ. Mau ada yang nonton syukur, kagak ada gak apa-apa. Ya...paling sliwer gitu aja. Tahan bantinglah di situ."

Ateng bersama-sama dengan kawan sekolahnya di Taman Siswa, Banyamin Sueb dan Baharudin (Diding) menampilkan lawakannya saat perayaan ulang tahun Perguruan Taman Siswa yang dilangsungkan di Gedung Kesenian Jakarta tanggal 13 Juli 1958.

Pak Said juga selalu mengetahui saat tulisan siswanya dimuat di majalah dan membacakannya di muka kelas. Misbach yang mengalami kejadian saat cerpen Koesalah Toer dibacakan Pak Said di kelas sebelah, terdorong untuk melakukan hal yang sama.

Akhirnya, setahun kemudian satu sajaknya dimuat majalah Siasat di lembaran kebudayaan "Gelanggang." Pak Said kemudian menyapanya dengan panggilan "Halo, Penyair!" sambil memujinya di hadapan teman-temannya.

Selain menyerap ajaran Ki Hadjar, Said mempelajari Voltaire, Rouseau, Kant, Hegel, Fichte,Schopenhauer, Tagore, Rama Krisna, Vivekananda, Gandhi, dan Khrisnamurti. Meski Said muslim yang taat, ia tak segan mempelajari inti ajaran agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Walaupun Pak Said berorientasi ke Barat, ia tetap "orang Jawa." Ada satu semboyan yang meresap menjadi napas Pak Said dalam bertugas sebagai pendidik, yaitu ajaran dari Ki Ageng Suryomentaram: "Mamayu hayu salira, mamayu hayu bangsa, mamayu hayu manungsa." Untuk kebahagiaan perorangan, untuk kebahagian bangsa dan untuk kebahagiaan manusia seluruhnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ariyono Wahyu Widjajadi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Ariyono Wahyu Widjajadi
Penulis: Ariyono Wahyu Widjajadi
Editor: Maulida Sri Handayani
-->