Menuju konten utama

Mengenang Si Binatang Jalang

Chairil Anwar dalam masa hidupnya yang pendek adalah pendobrak zaman. menikung norma, juga Jepang dan Belanda. Ia memang tak melawan penjajah dengan tubuhnya, tapi ia mengekspresikan sikap politik melalui puisi-puisinya. Pada zaman pendudukan Jepang, Chairil harus merasakan hebatnya siksaan Kenpeitai—Polisi Rahasia Jepang—yang dikenal kejam karena puisinya yang “Siap Sedia”.

Mengenang Si Binatang Jalang
Pementasan teater dan puisi mengenang 67 tahun penyair pelopor angkatan 1945 Chairil Anwar. ANTARA FOTO/Suwandy

tirto.id - Suatu hari, pelukis besar Indonesia, Sudjojono diminta Presiden Soekarno mengajak para seniman untuk membuat poster-poster perjuangan. Semula Sudjojono menyerahkan tugas itu pada Balai Pustaka yang sering menangani rancang grafik.

Namun, belakangan pelukis Affandi-lah yang diminta membuat poster, dibantu Dullah yang juga pelukis. Affandi kemudian melukis satu gambar lelaki yang sedang mengepalkan tangan, dengan Dullah sebagai modelnya. Mereka sempat bingung kalimat untuk poster. Maka, mereka meminta saran pada Chairil Anwar yang memang sering mengunjungi Affandi.

“Boeng, ajo Boeng” kata-kata itulah yang datang dari Chairil, diambil dari kalimat tawaran-rayuan para penjaja seks di sekitar Jakarta.

Dalam poster Affandi, kalimat seduktif itu menjadi kalimat penyeru semangat bagi para pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan. Panggilan “Bung” pun jadi lebih populer, seperti sudah dipakai kalangan pemimpin kala itu: Bung Karno atau Bung Besar, Bung Hatta, Bung Sjahrir atau Bung Kecil. Nama terakhir, yang menjabat perdana menteri pertama Indonesia, adalah paman jauh dari Chairil.

Chairil lahir sebagai orang Minang. Ia anak tunggal dari Toeloes dan Saleha. Sang ayah berasal dari Nagari Taeh, Kabupaten Limapuluh Kota, sedangkan ibunya berasal dari Kota Gadang. Dari pihak ibu, Chairil ada pertalian keluarga dengan Mohamad Rasad, ayah Sutan Sjahrir dan wartawan perempuan Rohana Koedoes. Beberapa sumber menyebut Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922.

Toeloes adalah pegawai negeri yang bekerja pada pemerintah kolonial, sehingga hidup mereka cukup mapan. Oleh sebab itu, Chairil bisa bersekolah di SD dan SMP elite untuk pribumi di: HIS dan MULO. Di dua sekolah itu, bahasa asing negara Eropa selain Belanda juga diajarkan.

Meski MULO yang hanya setara SMP sebetulnya kalah mentereng dari Hogare Burgerlijk School (HBS)—sekolah yang setara SMP sampai SMA—Chairil saat itu melahap semua buku untuk siswa HBS tingkat atas. Remaja kurus ini juga membaca dengan rakus tulisan-tulisan Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, dan banyak lainnya.

“Semua buku mereka aku sudah baca,” kata Chairil, seperti dikutip Eneste Pamusuk dalam Mengenal Chairil Anwar (1995). Sejak usia lima belas tahun, kira-kira ketika dia kelas pertama di MULO, dia sudah memutuskan akan menjadi seniman. Karenanya, dia tak merasa harus sekolah tinggi. Modal bacaan lebih penting baginya.

Ketika Chairil berumur 19 tahun, Toeloes dan Saleha bercerai. Chairil tak mau tinggal dengan Toeloes yang hidupnya teratur. Dengan Saleha, Chairil yang dianggap anak manja itu bisa merasa bebas merdeka. Meski belakangan kawin lagi, Toeloes tak lupa mengirimi Chairil dan Saleha uang, termasuk saat mereka hijrah ke Jakarta.

Waktu Jepang menduduki Hindia, emak dan anak itu pernah ditampung di rumah Sjahrir yang belum lama kembali dari Banda Neira. Sjahrir dan anak-anak angkatnya tinggal di Jalan Maluku, Menteng. Anak-anak angkat Sjahrir adalah cucu Said Badilla, saudagar mutiara berdarah Arab dari Banda Neira. Chairil akrab dengan salah satu anak angkat Sjahrir, Des Alwi.

Di Jakarta, selain sempat menjadi penyiar, Chairil juga pernah bekerja pada Hatta. Tapi setelah beberapa lama Des tak melihat Chairil berangkat ke kantor, ia kemudian menanyakan perkara itu pada yang bersangkutan.

“Mana bisa tahan kerja dengan Hatta, masuk jam delapan pagi pulang jam dua siang,” Chairil menjawab.

Pemuda Bohemian

Chairil memang tak bisa bekerja kantoran. Ia senang kalayapan, dan paling sering ke lingkungan seniman di Senen serta mengunjungi beberapa kawannya pegawai Balai Pustaka yang kantornya juga tak jauh dari situ. Chairil juga hidup nomaden, berpindah-pindah tempat tinggal dari kawan satu ke kawan lainnya. Tak hanya menumpang tidur, ia juga numpang makan.

Di Balai Pustaka, salah satu kawan Chairil adalah H.B. Jassin. Pria yang kelak dijuluki Paus Sastra karena karya-karya kritiknya ini bekerja di Balai Pustaka sejak 1940. Jassin kerap disambangi Chairil dan temannya Bachrum Rangkuti karena punya koleksi banyak buku.

“Dia punya sifat yang kadang-kadang membuat menggelegak. Misalnya dia biasa datang ke rumah meminjam buku, meminjam mesin tulis, tapi ada kalanya dia meminjam tanpa tanya, terus dibawa saja,” kata Jassin.

Tak hanya Jassin, penyair Subagio Sastrowardoyo pun mengalami hal serupa. Buku-buku miliknya kerap diambil Chairil, dan tak jarang diloakkan di Pasar Senen. Untungnya, buku-buku itu selalu berhasil Subagio temukan kembali.

“Chairil Anwar punya prinsip bukumu bukuku, rumahmu rumahku,” kata Subagio.

Meski menjengkelkan, persoalan ambil-tanpa-permisi buku ini tak pernah jadi soal serius antara Chairil dengan teman-temannya. Persoalan lainlah yang membuat Jassin, pada suatu hari, menjotos Chairil. Insiden itu bermula dari esei Jassin, “Karya Asli, Saduran dan Plagiat” pada majalah Mimbar Indonesia yang salah satunya membandingkan puisi Chairil “Kerawang-Bekasi” dengan karya penyair Amerika Serikat, Archibald MacLeish berjudul “The Dead Young Soldiers”.

Dalam esei itu, Jassin masih bernada membela Chairil, tapi nama yang disebut terakhir ini rupanya tak terima. Saat Jassin hendak bersiap untuk pementasan, di belakang panggung, Chairil menghampiri sambil meracau soal esai itu. Jassin yang sedang berupaya mengumpulkan konsentrasi jadi kesal. Maka, dipukul lah Chairil.

Chairil tak membalas, tapi rupanya ia sakit hati. Sejak kejadian itu, Chairil kerap terlihat berolahraga melatih fisiknya. Pada teman-temannya, ia sesumbar akan membalas Jassin. Tapi kenyataannya pembalasan itu tak pernah terjadi. Mereka tetap berteman, sampai kelak sepeninggal Chairil, Jassin-lah salah satu yang paling getol mengarsipkan karya-karya Chairil.

Tak hanya mengembat buku teman-temannya, Chairil juga pernah mencuri di toko buku Van Dorp dan Kolff di Jalan Juanda, Jakarta. “Saya dan Chairil suka juga mencuri buku di situ,” kata Asrul Sani, dalam kata pembuka Derai-derai Cemara: Mengenang 50 Tahun Wafatnya Chairil Anwar (1989).

Waktu itu, Chairil tertarik dengan buku Also Sprach Zarathustra, karya filsuf Fredrich Nietzsche. “Kau perhatikan orang itu. Aku mau mengantongi Nietzsche,” perintah Chairil pada Asrul. Chairil memakai celana komprang berkantong besar yang memungkinkan dia menyembunyikan bukunya

Buku filsafat karya Nietzsche yang mereka incar itu diletakkan di rak bersama buku-buku agama. Saat Asrul mengawasi penjaga toko, Chairil beraksi mengantongi buku itu. Setelah sukses, mereka keluar dari toko dengan lagak tenang dan santai. Setelah tiba di tempat aman, mereka keluarkan hasil jarahan mereka dari kantong celana Chairil.

“Kok ini? Wah, salah ambil aku!” seru Chairil. Ternyata, bukan Zarathustra yang terambil, melainkan Injil. Bukannya menggondol kumpulan aforisma yang salah satunya berisi kalimat terkenal “Tuhan telah mati!”, Chairil sang pemuda bohemian malah meraup kitab berisi ribuan kata-kata Tuhan.

Si Jalang dari Angkatan 45

Meski hidupnya semrawut, Chairil bukan pengecut. Ia memang tak melawan penjajah dengan tubuhnya, tapi ia mengekspresikan sikap politik melalui puisi-puisinya. Pada zaman pendudukan Jepang, Chairil harus merasakan hebatnya siksaan Kenpeitai—Polisi Rahasia Jepang—yang dikenal kejam karena puisinya yang “Siap Sedia”

“Kawan, kawan. Mari mengayun pedang ke dunia terang,” tulis Chairil seperti dikutip HB Jassin dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969).

Dunia terang yang dimaksud adalah Jepang. Maka, Chairil pun didakwa dengan tuduhan menganjurkan pemberontakan pada Jepang. Menurut Eneste Pamusuk, Chairil ditahan sekitar bulan Juli 1943. Karena penahanan itu jugalah Chairil tidak bisa tampil sebagai pembicara pada Forum Angkatan Muda di Kantor Pusat Kebudayaan.

Saat pendudukan Jepang, sikap Chairil tak jauh beda dengan sang paman, Sutan Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah yang bergaris non-kooperasi dengan Jepang. Sikapnya saat itu berseberangan dengan Soekarno dan Hatta yang menjadi penasehat militer Jepang di Indonesia.

Tapi, “Siap Sedia” bukan karya pertama Chairil yang dimuat. Puisi pertamanya yang muncul di media adalah “Nisan” pada 1942, saat usianya baru 20 tahun. Sebelumnya, Chairil juga banyak menulis puisi, namun ditolak karena dianggap tidak sesuai dengan propaganda Militer Jepang.

Sedangkan puisi Chairil yang sangat terkenal, “Aku”, yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Timur pada 1945. Puisi itu kemudian dianggap sebagian khalayak sastra sebagai pendobrak cara berpuisi, dan ia dijuluki 'Binatang Jalang.'

“Sebagai orang yang pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kesusastraan Indonesia, ia dapat dikatakan orang yang terbesar pengaruhnya dari Angkatan 45....Sajak-sajaknya menghembuskan jiwa, semangat dan cita-cita muda, bukan dalam arti tidak masak, masih hijau tapi dalam arti penuh hidup, bergerak dan menggerakkan,” tulis Artati Sudirdjo seperti dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956).

Dalam buku itu, HB Jassin menyebut, setidaknya Chairil menghasilkan 94 tulisan pada periode 1942-1949. Itu termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, serta 4 prosa terjemahan. Dia berhasil menjadi apa yang dia inginkan ketika masih berusia 15 tahun, jadi seniman. Chairil sudah pernah membuat puisi dengan gaya Pujangga Baru, tetapi ia segera membuang kertas-kertas puisi itu karena merasa tak puas.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan datangnya tentara Belanda ke Indonesia, keberpihakan Chairil sangatlah jelas: pro-republiken. Meski tak masuk laskar atau tentara, puisinya—yang dianggap saduran dari “The Young Dead Soldiers” karya Archibald Macleish—“Karawang-Bekasi” sangat dikenal sebagai puisi perjuangan.

“Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.” Yang ditulis sebagai “kami” adalah 400an orang Rawagede pada 9 Desember 1947 oleh Tentara Belanda yang mengejar tentara dan pejuang Indonesia.

Ujung Hayat dan Kematian

Dalam hidupnya yang singkat, Chairil pernah menikah dengan Hapsah Wiriaredja, meskipun hanya dua tahun: 6 Agustus 1946 hingga akhir tahun 1948 saja. Bersama Hapsah, Chairil mempunyai anak: Evawani Alissa.

Setelah bercerai, Chairil tak produktif berkarya lagi. Kesehatan Chairil pun memburuk. Ia bahkan harus dilarikan ke CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta. Paru-paru Chairil terjangkiti Tuberculosis (TBC), hingga akhirnya meninggal pada 28 April 1949 di umur yang belum genap 27.

Menurut Ray Rizal, dalam biografi Affandi Hari Sudah Tinggi, pelukis Affandi—sahabat yang tak pernah merasa paham dengan puisi Chairil—merasakan kehilangan yang dalam. Setelah Chairil meninggal, Affandi berusaha merampungkan lukisannya untuk Chairil yang kemudian dijuduli “Chairil Anwar” (1949).

Tak hanya Affandi, kawan-kawannya yang lain pun merasa kehilangan. “(Chairil Anwar) tak mengenal konvensi, kurang ajar, tak tahu adat. Akan tetapi sesuatu yang mengherankan dari padanya ialah, bahwa ia senantiasa disayangi dan dicintai kawan-kawan yang mengenalnya,” kenang Bapak Film Usmar Ismail, seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Jamannya (2011).

Sjahrir, sang paman, juga mengenang Chairil sebagai manusia yang keliarannya tak bisa diukur dengan ukura-ukuran normatif masyarakat. “Sebenarnya untuk Chairil ini harus dimintakan maaf atas segala perbuatannya. Akan tetapi hal semacam ini tak dapat dilakukan oleh karena ukuran kita yang biasa tak dapat digunakan untuk dia.”

Belakangan, salah satu pengagum Chairil, sudah mulai menulis sebuah bakal skenario film tentangnya. Sayang, sang pengagum itu, sutradara terkenal Sumandjaja, juga kemudian keburu meninggal. Tapi bakal naskah skenario film yang dijuduli "Aku" itu beredar menjadi sebuah buku laris. Apalagi setelah film Ada Apa Dengan Cinta (2002) memunculkan kembali buku itu.

Bagi generasi 2000-an dan setelahnya, dengan “Aku”-lah Chairil dikenang:

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Dan aku lebih tak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Baca juga artikel terkait SASTRA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani