tirto.id - Mengerjakan salat merupakan rukun iman yang ke-2 setelah syahadat. Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk menegakkan salat lima waktu dalam sehari.
Allah SWT juga mempermudah pelaksanaan salat wajib. Apabila tidak dapat berdiri, diperbolehkan duduk dan apabila kesusahan dalam duduk, dapat berbaring.
Namun ada masa di mana manusia tidak bisa menjalankan salat. Alasannya karena sakit parah, lalai dengan sengaja, dan yang pasti karena orang tersebut sudah tidak ada alias meninggal dunia.
Hukum Fidyah Shalat Untuk Orang Meninggal
Dikutip dari NU online oleh M Ali Zaenal Abidin (2019), dalam hal ini ulama para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat tentang salat yang ditinggalkan oleh seseorang di masa hidup dapat diqadha oleh orang lain atau tidak.
Pendapat masyhur dalam mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa ibadah salat mayit (orang yang sudah wafat) tidak dapat diqadha oleh siapa pun, serta tidak dapat digantikan dengan pembayaran fidyah berupa menyedekahkan makanan pokok.
Perbedaan pendapat ini dibahas dalam kitab Fathul Mu’in yang bermakna sebagai berikut:
“Faidah. Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki tanggungan shalat, ia tidak wajib mengqadha’ dan membayar fidyah (atas shalat tersebut).
Sedangkan menurut sebagian pendapat-seperti sekelompok mujtahid-shalat tersebut diqadha’i, berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan lainnya.
Pendapat ini juga dipilih oleh para imam mazhab kita (Syafi’i) dan Imam as-Subki melakukan hal ini pada sebagian kerabatnya. Imam Ibnu Burhan menukil dari qaul qadim bahwa wajib bagi wali untuk menshalati atas shalat yang mayit tinggalkan, jika memang mayit meninggalkan harta tirkah (warisan).”
Dalam pendapat lainnya, disebutkan bahwa salat mayit dapat digantikan dengan fidyah sesuai dengan hadis mauquf dari sahabat Ibnu ‘Abbas sebagai berikut:
لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ ، وَلاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
Artinya: “Seseorang tidak dapat shalat atas ganti shalat orang lain dan tidak dapat puasa atas ganti puasa orang lain, tetapi ia dapat memberi makan atas ganti (shalat atau puasa) orang lain, setiap hari satu mud dari gandum”. (HR. An-Nasa’i)
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shalat atau puasa yang ditinggalkan oleh mayit dapat digantikan dengan pembayaran fidyah apabila mayit mewasiatkan untuk pembayaran fidyah atas shalat yang ditinggalkan.
Jika mayit tidak mewasiatkan pembayaran fidyah ini, maka para ulama Hanafiyah tidak mengamini pendapat ini.
Namun, menurut pandangan Muhammad bin Hasan bahwa pembayaran fidyah tetap dapat menggantikan shalat yang ditinggalkan oleh mayit, meskipun mayit tidak mewasiatkannya.
Tata Cara Membayar Fidyah Untuk Orang Meninggal
Cara membayar fidyah jika berpijak kepada mazhab Syafi’i yaitu dengan memberi makanan pokok (beras) senilai satu mud (0,6 kilogram atau ¾ liter) kepada fakir miskin sebagai pengganti setiap satu salat yang ditinggalkan oleh mayit.
Sedangkan, jika berpijak kepada mazhab Hanafi yaitu dengan membayar berupa salah satu di antara dua pilihan, yakni setengah sha’ (1,9 kilogram) gandum atau tepung atau satu sha’ (3,8 kilogram) kurma atau anggur.
Wali mayit juga dapat mengeluarkan fidyah dengan uang yang nominalnya sama (setara) dengan harga dua pilihan di atas.
Wali mayit juga dapat memilih pendapat tentang pengganti salat yang ditinggalkan oleh mayit, misalkan dengan cara mengqada setiap salat yang ditinggalkan oleh mayit.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dhita Koesno