Menuju konten utama

Hukum Puasa Ramadhan Bagi Orang Sangat Tua & Cara Bayar Fidyah

Apa hukum puasa Ramadhan bagi orang yang sudah sangat tua dan uzur?

Hukum Puasa Ramadhan Bagi Orang Sangat Tua & Cara Bayar Fidyah
Ilustrasi Puasa. foto/istockphoto

tirto.id - Kendati ibadah puasa Ramadhan wajib dijalankan semua umat Islam, terdapat beberapa golongan yang dikecualikan boleh tidak melaksanakan ibadah ini. Di antara kelompok tersebut adalah orang tua renta yang uzur dan tidak lagi mampu menahan lapar serta haus di siang hari.

Pada muasalnya, hukum ibadah puasa Ramadhan wajib dilaksanakan karena merupakan bagian dari rukun Islam. Kewajiban melaksanakan puasa termaktub dalam Q.S. Albaqarah ayat 183: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Akan tetapi, salah satu syarat wajib puasa adalah kemampuan menunaikannya. Jumhur ulama bersepakat bahwa orang tua yang tidak kuat lagi berpuasa, boleh tidak berpuasa, dan tidak ada qadha (berpuasa di waktu lain) selepasnya. Namun, sebagai gantinya, orang yang sudah tua itu harus membayar fidyah sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan puasanya.

Hal ini dirujuk dari firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 184, "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, [yaitu]: memberi makan seorang miskin.”

Jika demikian, lantas berapa besaran fidyah yang wajib dibayarkan bagi orang tua renta tidak mampu lagi berpuasa?

Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar Ra. pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, "Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan." (H.R Baihaqi).

Hadis di atas menerangkan bahwa takaran fidyah yang dibebankan bagi orang yang tidak mampu berpuasa adalah sebanyak satu mud atau setengah sha'. Pernyataan gandum di atas merupakan bentuk makanan pokok yang lazim dikonsumsi masyarakat saat itu. Sementara di wilayah lain, pembayaran fidyah disesuaikan dengan makanan pokok dan selayaknya ditambahkan dengan lauk pauk yang lazim dikonsumsi masyarakat bersangkutan.

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. dalam bukunya Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2010) menjelaskan bahwa pembayaran fidyah satu mud atau setengah sha' dapat diberikan dalam bentuk satu kilogram beras dan lauk pauk jika disesuaikan dengan masyarakat Indonesia.

Lalu bagaimana jika fidyah ingin dibayarkan dalam bentuk uang tunai? Menurut Madzhab Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku. Apalagi jika dipandang bahwa uang tunai lebih dibutuhkan dan bermanfaat bagi penerima fidyah.

Adapun jika ingin dibayarkan dalam bentuk uang, Ali Mustafa Yaqub menuliskan bahwa dalam ukuran orang Indonesia, ia dapat dikonversi ke nilai rupiah sebesar Rp15.000.

Jika dikalikan menjadi 30 hari dalam satu bulan, maka orang yang sangat tua wajib membayar sebesar Rp450.000 bagi yang tidak mampu lagi menunaikan puasa.

Akan tetapi, berdasarkan pendapat dari mayoritas ulama, mulai dari Syafiiyah, Malikiyah dan Hanabilah, fidyah tidak boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Ia harus diberikan dalam bentuk makanan pokok. Pendapat kedua ini didasari oleh dalil syar’i dari ayat disebutkan di atas, yakni: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankanya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Q.S. Al-Baqarah: 184).

Adapun tata cara pembayaran fidyah dirangkum oleh al-Imam Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah al-Ramli al-Anshari (957H) dalam Fatawa al-Ramli fi Furu' al-Fiqh al-Syafi'i (2011) yang menurut Madzhab Syafi'i dapat dilakukan dalam tiga cara.

Pertama, fidyah cukup dibayarkan sekali sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan.

Kedua, fidyah sebaiknya diberikan setelah terbit fajar. Bagi orang tua yang tak bisa berpuasa sejak hari pertama Ramadan, dimulai dari selepas fajar pertama Ramadan, fidyah dapat dibayarkan.

Ketiga, fidyah dapat dibayarkan sekaligus atau dicicil setiap harinya hingga tuntas sebagaimana jumlah hari-hari puasa yang ia ditinggalkan.

Baca juga artikel terkait PUASA atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom