tirto.id - Setya Novanto duduk di kursi pesakitan. Sudah hampir setengah jam ia menjawab pertanyaan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Seperti biasa, Setnov mengaku sudah lupa mengenai sebagian peristiwa penting sebelum tahun 2011. Misalnya, keterlibatan anaknya Dwina Michaella sebagai Komisaris PT Murakabi Sejahtera.
“Saya tidak ingat [dengan] jelas, Yang Mulia. Saya tidak tahu,” kata Novanto.
Meski banyak lupa atas peristiwa terkait korupsi e-KTP, tetapi Setnov masih ingat orang-orang yang dituduhnya menerima mega suap proyek e-KTP. Pada sidang 22 Maret 2018, ia menyebut dua nama baru dari lingkaran Istana.
“Ada juga ke Pramono Anung dan Puan Maharani sebesar [masing-masing] 500 ribu dolar AS," katanya.
Pramono Anung adalah sekretaris kabinet. Ketika mega korupsi e-KTP dilakukan, ia masih menjabat wakil ketua DPR RI. Begitu pula Puan Maharani, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Menurut Setnov, cucu presiden pertama Indonesia itu menerima aliran uang saat masih jadi anggota legislatif di Senayan.
Setnov bahkan pernah mengonfirmasi pemberian uang itu kepada Pramono saat mereka bertemu pada salah satu hajatan pejabat negara di Hotel Alila, Solo, Jawa Tengah.
"Mas, bener tidak itu?" kata Setnov mengulangi pertanyaannya kepada Pramono saat itu.
Pramono mengaku lupa. "Wah, yang mana? Nanti inget lagi di Jakarta [kita] ngobrol,” kata Setnov menirukan ucapan Pramono.
Pernyataan Setnov segera dibantah oleh Puan dan Pramono. Mereka kompak menjawab bahwa nyantian Setnov di persidangan itu bohong belaka.
“Yang dinyatakan Pak SN itu tidak benar. Saya tidak pernah ikut membahas KTP elektronik dan saya tidak terima uang,” kata Puan sehari setelah pernyataan Novanto.
Pernyataan Setnov juga dibantah oleh Made Oka Masagung, seorang pengusaha yang disebut Setnov terlibat dalam suap e-KTP. Pengacara Made Oka mengatakan tak pernah memberikan uang kepada Puan dan Pramono seperti yang ditiupkan Setnov.
“Kalau menurut klien saya, pernyataan Setnov di muka pengadilan itu tidak benar dan sudah dibantah oleh yang bersangkutan," kata Bambang Hartono, pengacara Made Oka, usai mendampingi pemeriksaan kliennya di Gedung Merah Putih KPK, Senin lalu, (26/3/2018).
Nama-Nama Lain
Sebelum menyebut Pramono Anung dan Puan Maharani, Setnov menyebut nama-nama politisi lintas partai di DPR. Beberapa nama yang pernah dinyanyikan Setnov adalah Chairuman Harahap (politisi Golkar), Ganjar Pranowo (politisi PDIP, Gubernur Jawa Tengah), dan sejumlah politisi di Badan Anggaran (Banggar) DPR: Olly Dondokambey (PDIP), Melchias Markus Mekeng (Golkar), dan Tamsil Linrung (PKS).
"Waktu Andi [Narogong, pengusaha] ke rumah saya itu menyampaikan telah memberikan uang dan dana untuk teman-teman di Komisi II dan Banggar, dan untuk Pak Ganjar sekitar bulan September dengan jumlah $ 500 [ribu]. Itu disampaikan kepada saya," kata Setnov saat sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2018).
Ganjar Pranowo langsung membantah ucapan Setnov. Ia menegaskan ia tidak pernah menerima uang dari Novanto. Ia justru membuka fakta lain bahwa ia pernah bertemu Novanto di Bandara Ngurah Rai, Bali. Saat itu Novanto memperingatkan Ganjar agar tidak “galak” terkait proyek e-KTP.
"Dia bilang, sudah selesai, jangan galak-galak,” kata Ganjar pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (8/2/2018).
Novanto kemudian mengaku tak pernah sama sekali membicarakan proyek e-KTP dengan Ganjar. Ia membenarkan pernah bertemu Ganjar di bandara Ngurah Rai, Bali.
“Di mata saya, Pak Ganjar bukan orang yang galak,” kata Setnov.
"Ongkos Segel" & "Uang Kongres" Golkar
Selain menyebut orang-orang yang disebut menerima aliran uang, Setnov juga berkicau soal Rp20 miliar sebagai ongkos segel KPK. Uang itu kali pertama terbongkar saat Jaksa KPK memutar rekaman pembicaraan antara Novanto dan Andi Narogong dan Johannes Marliem. Dalam rekaman itu, Novanto menyebut “ongkos segel” KPK sebesar Rp20 miliar.
Setnov segera mengklarifikasi ucapannya dalam rekaman. “Ongkos Segel” yang dimaksudnya adalah biaya yang disiapkan untuk penasihat hukum jika kasus itu terbongkar oleh KPK. Ia membantah bahwa uang itu digunakan untuk menyuap KPK.
"Jujur, ya, saya pernah mengalami kena masalah dengan KPK, biaya pengacara memang, Pak, mahal. Enggak etis kalau menyampaikan [di sini], tapi kalau saya tunjuk tiga orang [pengacara], ya mahal, Pak. Jadi, sebenarnya, soal biaya ini memang berat," kata Setnov dalam persidangan hari Kamis (22/3/2018).
Tak cuma “ongkos segel” Rp20 miliar, pada saat Rapimnas Partai Golkar tahun 2012 di Bogor, ada aliran uang sebesar Rp5 miliar dari mantan Direktur PT Murakabi, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo. Karena tahu ada aliran dana itu, pada 15 Maret 2018, Novanto mengembalikannya ke rekening KPK.
"Melalui istri saya, Deistri Astriani, dan kuasa hukum saya telah mengembalikan uang itu," kata Novanto dalam persidangan.
Tidak hanya uang untuk kongres Partai Golkar. Irvanto mengaku pernah memberikan uang 3,5 juta dolar AS kepada Setnov, berasal dari PT Biomorf Mauritius yang dikirim lewat money changer.
Setnov membantah omongan Irvanto, yang juga keponakannya sendiri. Ia mengaku tidak pernah menerima uang itu.
"Saya mohon sejujur-jujurnya. Karena saya sudah membuat pernyataan kepada penyidik KPK. Dan saya juga pernah sampaikan kepada jaksa penuntut umum. Apabila memang pernah, saya sudah siap mengganti,” kata Setnov menantang Irvanto dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (5/3/2018).
Hari ini, sesuai agenda sidang, Pengadilan Tipikor akan membacakan tuntutan kepada Setnov. Dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum KPK pada sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 13 Desember 2017, Setnov berpunya sebagai sosok kunci dalam jaringan mega korupsi e-KTP. Setnov bahkan mengajukan diri sebagai justice collaborator alias saksi pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum yang telah merugikan negara Rp2,3 triliun.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam