tirto.id - Dalam gelar perkara korupsi E-KTP yang diduga merugikan negara sebesar Rp2,55 triliun versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Rp2,3 triliun versi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), KPK memang baru menetapkan dua terdakwa. Mereka adalah Irman, selaku Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Sugiharto, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Akan tetapi, nama-nama yang diduga turut menikmati aliran dana selain kedua terdakwa sudah muncul bahkan telah menyebar ke publik. Dalam berkas halaman mencapai 24.000 halaman, ada beberapa nama besar. Dari yang dianggap bersih, punya rekam jejak nyleneh, sampai yang sudah meringkuk di penjara karena kasus korupsi yang berbeda.
Penerima Bung Hatta Award Pun Tercoreng
Salah satu di antaranya adalah Gamawan Fauzi. Gamawan pertama kali diperiksa KPK pada 12 Oktober 2016. Saat itu Gamawan diperiksa sebagai saksi atas dua tersangka, Irman dan Sugiharto, dalam kasus penggelembungan anggaran E-KTP menjadi Rp5,9 triliun dari yang terpakai hanya Rp3,35 triliun.
Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dollar AS atau lebih dari Rp60 miliar.
Menurut Jaksa KPK, sebagai pelaksana program E-KTP di Indonesia, Gamawan punya peran yang signifikan dalam kasus ini. Terutama dalam proses penganggaran awal. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, pada 1982 ini diduga mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), terkait usulan pembiayaan proyek E-KTP.
Isi surat itu yang kemudian menjadi petunjuk bahwa Gamawan Fauzi, yang saat itu masih menjabat Mendagri, menolak menggunakan dana pinjaman hibah luar negeri dan meminta pendanaan menggunakan uang negara.
Tuduhan ini tentu mencoreng nama Gamawan Fauzi yang pernah dianggap sebagai sosok pejabat antikorupsi. Citra ini tergambar sejak menjabat Bupati Solok pada 2 Agustus 1995 dan terpilih kembali secara demoktratis pada 20 Agustus 2000.
Beberapa kebijakan yang diberlakukan di Kabupaten Solok bahkan termasuk revolusioner saat itu. Seperti membuat kantor pelayanan masyarakat satu pintu. Sistem yang dianggap sebagai bagian dari efisiensi birokrasinya. Efisiensi sistem yang di sisi lain juga mempersempit peluang bagi pejabat untuk korupsi. Selain itu, Gamawan Fauzi juga menerapkan aturan agar pengurusan izin pemerintah maksimal selesai dalam jangka waktu 9 hari.
Selain itu, pada 11 November 2003, Gamawan juga menandatangani Pakta Integritas Kabupaten Solok pada 11 November 2003. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Solok termasuk pemerintah daerah pertama di Indonesia yang menandatangani pakta integritas yang berkonsentrasi untuk menaati prinsip-prinsip Good Governance dan Clean Governance.
Atas beberapa aktivitasnya, Gamawan kemudian menerima Bung Hatta Award pada 2004. Anugerah bagi tokoh Indonesia yang dikenal sebagai pribadi yang bersih dalam praktik korupsi, dan tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan maupun jabatannya. Pada akhirnya, tahun 2009, Presiden SBY menunjuk Gamawan sebagai Mendagri pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II untuk periode 2009-2014.
Nama tenar lain yang terlibat adalah bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Terpidana dalam kasus megakorupsi yang lain, yaitu Proyek Hambalang, yang pertama kali menuduh Gamawan terlibat dalam kasus korupsi E-KTP pada September 2016. Menurut Nazaruddin, Gamawan berperan dalam Konsorsium Percetakan Negara Indonesia (PNRI) agar menjadi pemenang proyek E-KTP.
“Mendagri (Gamawan) mengarahkan konsorsium itu yang menang,” ujar Nazaruddin kala itu.
Menanggapi tuduhan tersebut, Gamawan Fauzi mengaku bahwa ia sama sekali tidak melakukan korupsi seperti yang selama ini diduga. Bahkan Gamawan mengaku bahwa proyek E-KTP di bawah kepemimpinannya selama 2009-2014 dilakukan secara transparan dengan melibatkan KPK serta BPK sebagai pengawas.
Tokoh Licin Setya Novanto
Selain menyebut nama Gamawan, Nazaruddin juga menyebut nama Setya Novanto. Ketua DPR RI ini diduga menerima aliran dana sebesar Rp574,2 miliar saat masih menjabat Ketua Fraksi Golkar.
Perjalanan politik Novanto memang unik. Dimulai dari bawah, Novanto berhasil dipercaya mengisi beberapa posisi strategis termasuk menjadi Bendahara Umum Partai Golkar. Kariernya sebagai bagian dari DPR RI sejak 1999 sudah menggambarkan betapa berpengalamannya Novanto sebagai politisi.
Berbeda dengan Gamawan, Novanto mempunyai jejak yang nyleneh. Sejak terpilih menjadi Ketua DPR RI pada awal Oktober 2014, kontroversi selalu menyertai Novanto. Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini berkali-kali menjalani pemeriksaan sebagai saksi oleh KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pada 2001, Novanto menjadi salah satu saksi di persidangan kasus hak piutang PT. Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia. Juga kasus penyelendupan 60 ribu ton beras Vietnam yang perkaranya ditangani Kejaksaan Agung pada 2005.
Novanto pada periode Maret 2013 juga pernah diperiksa karena perkara suap yang terkait dengan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII yang menjerat Gubernur Riaur, Rusli Zainal. Bahkan ruang kerja Novanto pernah digeledah oleh penyidik KPK pada 19 Maret 2013 karena kasus ini.
Hebatnya, dari semua kasus tersebut, tidak pernah sekalipun kasus korupsi menjerat Novanto sebagai tersangka, maksimal status Novanto hanya sebagai saksi dan dinyatakan tidak pernah terlibat. Nazaruddin mengakui bahwa Novanto adalah orang kuat.
“Dua ribu persen orang ini (Setya Novanto) dilindungi orang yang sangat... sangat kuat,” ujarnya setelah pemeriksaan kasus korupsi Hambalang pada Oktober 2013 lalu.
Beberapa kasus di atas belum memasukkan citra Novanto yang pernah memburuk karena pelanggaran etika dua kali. Pertama, pada September 2015, bersama Pimpinan DPR lain, Fadli Zon bertemu dengan Donald Trump, yang saat itu sedang berjuang menjadi kandidat Calon Presiden Amerika Serikat. Kedua, saat Novanto diduga melakukan pemufakatan jahat dalam perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia yang melibatkan nama Sudirman Said sebagai pelapor.
Adapun peran Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar adalah pihak yang diduga menyetujui dan memastikan Fraksi Golkar mendukung anggaran proyek E-KTP. Selain dugaan itu, Novanto juga berperan sebagai pihak yang melakukan koordinasi dengan pimpinan fraksi yang lain.
Terpidana Hambalang Pun Terseret Lagi
Selain Novanto, nama yang disebut dalam “nyanyian” Nazaruddin adalah Anas Urbaningrum. Terpidana kasus korupsi Hambalang saat menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat ini diduga kebagian jatah Rp574,2 miliar. Bahkan Nazaruddin juga menyebut bahwa korupsi E-KTP juga menjadi salah satu sumber dana untuk biaya pencalonan Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
“Saya ditanya, siapa yang aktif dan terlibat di proyek E-KTP? Saya sampaikan yang mengendalikan adalah namanya (Setya) Novanto sama Anas (Urbaningrum),” ujar Nazaruddin pada Agustus 2013.
Masih lekat dalam ingatan, Anas sempat mengklaim bahwa ia siap digantung di Monas jika terbukti melakukan korupsi pada kasus Hambalang. Sayangnya, gertakan itu tidak membuat KPK melunak saat menetapkan Anas sebagai tersangka pada 22 Februari 2013.
Pada saat menjalani masa hukuman di Lapas Sukamiskin, pada 10 Januari lalu Anas diperiksa sebagai saksi terkait kasus E-KTP dan diperiksa selama lima jam untuk tersangka Sugiharto. Hasilnya, dalam dakwaan Jaksa (9/3) terungkap dugaan pembayaran yang bertujuan guna memastikan proyek E-KTP direalisasikan oleh Kementerian Dalam Negeri. Pembayaran yang kemudian mengalir ke sejumlah anggota Komisi II DPR, salah satunya terduga Anas Urbaningrum.
KPK melalui juru bicaranya, Febri Diyansyah menyebut bahwa diduga penyimpangan anggaran korupsi E-KTP terjadi dalam tiga tahap. Pertama, pertemuan-pertemuan informal. Pertemuan sebelum rapat resmi yang membahas besaran anggaran. “Kita temukan adanya indikasi-indikasi pertemuan sejumlah pihak untuk membicarakan proyek e-KTP ini,” jelas Febri.
Setelah tahap pertemuan informal mendapat kata sepakat, tahap kedua kemudian dimulai pembicaraan dilanjutkan ke forum resmi dengan melibatkan sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, Badan Anggaran, dan Pelaksana Undang-undang yang dalam hal ini adalah Kemedagri.
Pada tahap berikutnya atau tahap ketiga, penyelewengan ini kemudian berlanjut sampai pada pengadaan. Kemendagri pada Juni 2011 kemudian menunjuk pemenang tender, konsorsium PT. PNRI dengan total anggaran Rp5,9 triliun. Mengalahkan PT. Astra Graphia yang menawarkan pada angka Rp6 triliun. Dari total anggaran yang harusnya digunakan sebanyak Rp5,9 triliun, pada prosesnya sebanyak Rp2,55 triliun tidak digunakan sebagaimana mestinya dan diduga dibagikan ke beberapa pihak.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS