Menuju konten utama

Di Balik Kemenangan Tiga Konsorsium dalam Lelang E-KTP

Para tersangka mengkondisikan agar konsorsium PNRI memenangkan lelang.

Di Balik Kemenangan Tiga Konsorsium dalam Lelang E-KTP
Sejumlah Jaksa Penuntut Umum KPK membawa berkas perkara kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ke dalam gedung pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (1/3). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc/17.

tirto.id - Ruang sidang Koesoemah Atmadja I di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pepak oleh manusia. Ratusan orang berjejal memenuhi ruang sidang sejak Kamis (9/3/2017) pagi. Mereka datang untuk mendengar sidang perdana kasus korupsi proyek E-KTP dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yakni Irman dan Sugiarto.

Sidang kasus dugaan korupsi proyek E-KTP memang mengundang rasa penasaran. Berdasarkan dakwaan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mega proyek senilai Rp 5,9 triliun ini diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2.314.904.234.275,39.

Proses penyelidikan dan penyidikan kasusnya juga memakan waktu panjang yakni sekitar 2,5 tahun sejak tersangka pertama ditetapkan 22 April 2014 dengan pemeriksaan saksi mencapai 294 orang. Penyelidikan dan penyidikan tersebut juga menghasilkan 24 ribu berkas setebal 2,5 meter.

Bukan cuma itu, beberapa hari sebelum sidang digelar, sempat beredar selebaran yang berisi materi dakwaan. Dalam selebaran tersebut termuat sejumlah nama beken di DPR, pejabat eksekutif, dan pengusaha yang diduga turut mengatur dan menikmati aliran dana proyek E-KTP. Mereka misalnya Gamawan Fauzi, Ganjar Pranowo, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Melchias Markus Mekeng, Olly Dondokambe, dan Setya Novanto.

Perjalanan Janggal Proyek E-KTP

Kejanggalan dalam proyek ini mulai tercium pada Agustus 2011. Ketika itu, Polda Metro Jaya menerima laporan ketidakberesan dalam penetapan Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai pemenang lelang proyek E-KTP pada Maret 2011. Laporan itu disampaikan salah satu perusahaan yang kalah dalam proses lelang.

“Saksi pelapor yang merasa dirugikan dalam proses tender yang dilakukan Kemendagri sudah diperiksa,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sufyan Syarif, Selasa, 9 Agustus 2011.

Selanjutnya September 2011 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai meyelidiki adanya kejanggalan dalam penetapan pemenang tender E-KTP. Hasilnya, 13 November 2012, KPPU menyatakan adanya persekongkolan antara panitia lelang E-KTP, konsorsium PNRI, dan PT Astra Graphia.

Mereka terbukti melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Atas pelanggaran ini konsorsium PNRI diharuskan membayar denda sebesar Rp20 miliar dan PT Astra Graphia Tbk denda sebesar Rp4 miliar. Sedangkan denda kepada panitia lelang diserahkan sepenuhnya kepada Gamawan selaku Menteri Dalam Negeri.

Pihak PNRI dan PT Astra Graphia tidak tinggal diam dengan keputusan KPPU. Mereka mengajukan permohonan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kamis 7 Maret 2013, keberatan itu dikabulkan. “Mengabulkan upaya hukum keberatan oleh pemohon seluruhnya dan membatalkan putusan KPPU,” kata Ketua Majelis Hakim Kasianus Telaumbanua saat membacakan putusan.

Atas putusan tersebut KPPU melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam amar putusan 29 Oktober 2014, MA menolak kasasi yang diajukan KPUU. MA juga menghukum KPUU membayar biaya perkara sebesar Rp 500.000.

Namun, gong kongkalikong proyek E-KTP baru nyaring berbunyi setelah Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin “bernyanyi” di KPK. Akhir Agustus 2011, kepada penyidik KPK, Nazar mengatakan penganggaran proyek E-KTP diatur Anas Urbaningrum selaku Ketua Fraksi Demokrat dan Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar. Menurut Nazar, Anas menjadikan proyek E-KTP sebagai salah satu sumber pendanaan untuk bertarung di bursa Ketua Umum kongres Partai Demokrat yang berlangsung di Bandung.

Nyanyian tersebut kemudian dirinci Nazar ke KPK pada 24 September 2013 melalui pengacaranya Elza Syarief. Usai menyerahkan laporan Elza menjelaskan bagaimana proses rekayasa proyek E-KTP dilakukan oleh DPR, pejabat Kemendagri, dan konsorsium. Dari sinilah kemudian pengusutan proyek E-KTP mulai dilakukan KPK.

“Ditelaah dulu isi laporannya atau informasinya,” kata Juru Bicara KPK saat itu Johan Budi SP.

Pada 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan Sugiharto selaku Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri dan Pejabat Pembuat Komitmen Proyek E-KTP sebagai tersangka pertama. Selanjutnya pada 30 September 2016 KPK menetapkan mantan Direktur Jendral Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman sebagai tersangka kedua.

Di Balik Kemenangan Tiga Konsorsium

Dalam pembacaan dakwaan kepada Sugiharto dan Irman, Jaksa Penutut Umum KPK mengungkapkan bagaimana kongkalikong proyek penganggaran E-KTP berlangsung.

Menurut Jaksa, Sugiharto bersama Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Golkar DPR, Drajat Wisnu Setyawan selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri tahun 2011, Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang/jasa Kemendagri, Isnu Edhi Wijaya selaku Ketua Konsorsium PNRI, Diah Anggraini selaku Sekretaris Jenderal Kemendagri telah mengarahkan pemenang proyek E-KTP yakni Konsorsium PNRI yang terdiri dari Perum Percetakan Negara Repubik Indonesia (PNRI), PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra.

Setelah adanya kepastian akan dibentuk beberapa konsorsium untuk mengikuti lelang pengadaan dan penerapan e-KTP, pada sekira Februari 2011 Irman dan Sugiharto menemui Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni di kantornya. Dalam pertemuan itu Diah meminta kepada Irman dan Sugiharto mengamankan tiga konsorsium yang dibawa Andi Narogong yakni PNRI, Murakabi Sejahtera, dan Astra Graphia. Alasannya Andi sudah lama menjadi rekanan Kemendagri.

Adapun konsorsium PNRI terdiri dari Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, dan PT Sucofindo. Konsorsium Astragraphia terdiri dari PT Astra Graphia IT, PT Sumber Cakung, PT Trisakti Mustika Graphika, dan PT Kwarsa Hexagonal. Terakhir konsorsium Murakabi Sejahtera yang terdiri dari PT Murakabi, PT Java Trade, PT Aria Multi Graphia, PT Stacopa.

Maret 2011 Sugiharto dan Irman memerintahkan Husni Fahmi dan Drajat Wisnu Setiawan selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang atau Jasa di lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri melancarkan tiga konsorsium PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera.

Selanjutnya, Wisnu, Husni, dan Fahmi menyusun dokumen lelang di perumahan Kemang Pratama Bekasi agar ketiga konsorsium lolos proses lelang.

Pada 11 Februari 2011 Irman yang telah diangkat Sugiharto menjadi Pejabat Pembuat Komitmen di Lingkungan Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri menetapkan HPS dan analisa harga satuan blangko E-KTP senilai Rp 18.000 per keeping. Dari angka itu Irman menetapkan total anggaran yang dibutuhkan sepanjang 2011-2012 Rp 5.951.886.009.000. Dengan perincian tahun 2011 sejumlah Rp 2.291.231.220.000 dan tahun 2012 sejumlah Rp3.660.654.789.000.

Jaksa penuntut umum KPK menyatakan penetapan HPS bermasalah karena tidak didahului dengan data survei harga pasar setempat. Selain itu Irman juga bersekongkol FX Garmaya Sabarling, Tri Sampurno, dan Berman Jandry S. Hutasoit membuat spesifikasi teknis dan kerangka acuan kerja yang bertujuan meminimalisir peserta lelang, sehingga dapat memenangkan konsorsium PNRI. Caranya dengan menyatukan sembilan lingkup pekerjaan yang berbeda dengan tuntutan kompetensi berbeda ke dalam satu paket pekerjaan.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah (LKPP) sebenarnya sudah memberikan saran agar Irman tidak menggabungkan Sembilan lingkup pekerjaan menjadi satu. Sebab hal ini dapat menciptakan kegagalan dalam proses pemilihan dan pelaksanaan pekerjaan yang berpotensi merugikan negara. Namun, Irman mengesampingkan saran LKPP.

Untuk semakin memuluskan ketiga konsorsium dalam proses lelang, Irman beberapa kali melakukan addendum dokumen pemilihan secara mendadak. Terakhir ia melakukan addendum III pada tanggal 6 April 2011 dengan memasukan persyaratan Sertifikat ISO 9001 (ISO manufacturing dan after sales) dan ISO 14001 (ISO untuk lingkungan) yang dicopy dan dilegalisir oleh distributor untuk produk yang ditawarkan. Dengan persyaratan itu, maka terdapat beberapa perusahaan yang tidak dapat memenuhinya dan pada akhirnya mengurangi perusahaan yang ikut memasukkan dokumen penawaran.

Sekitar Mei 2011 Ketua Komisi II Chaeruman Harahap dari Fraksi Golkar meminta $100.000 dolar kepada Sugiharto melalui anggota Komisi II Fraksi Hanura Miryam S Haryani. Sugiharto kemudian memerintahkan Irman mencari dana sesuai yang diminta Chaeruman. Permintaan itu akhirnya terpenuhi dari Achmad Fauzi selaku Direktur PT Quadra Solution yang juga anggota konsorsium PNRI.

Sebelum panitia pengadaan mengumumkan pelelangan, Irman dan Drajat menemui Andi di ruko Fatmawati. Dalam pertemuan itu mereka menerima uang dari Andi sejumlah $650.000 dolar untuk dibagikan kepada: Diah Anggraeni $200.000 dolar (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat), Sugiharto $150.000 dolar, Irmas $100.000 dolar, Drajat Wisnu $40.000 dolar. Enam orang anggota panitia pengadaan masing-masing sejumlah $25.000 dolar, Husni Fahmi $50.000 dolar. Lima orang anggota tim teknis masing-masing sejumlah $10.000 dolar. Selain menerima uang di Ruko Fatmawati, Irman juga menerima uang dari Andi $500.000 dolar melalui Yosep Sumartono dan $500.000 dolar dari Anang S Sudihardjo di Mall Cibubur Junction Jakarta Timur.

Infografik Tunggal Kasus Korupsi E-ktp

Jaksa KPK mengatakan maksud pemberian uang tersebut adalah agar para terdakwa dan panitia pengadaan mempermudah jalannya proses lelang dan dapat memenangkan salah satu konsorsium yang terafiliasi dengan Andi yakni konsorsium PNRI, konsorsium Astragraphia atau konsorsium Murakabi Sejahtera

Pada 21 Juni 2011 Irman mengusulkan agar Gamawan menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5.841.896.144.993. Gamawan setuju. Selanjutnya Irman menandatangani kontrak Nomor : 027/886/IK tanggal 1 Juli 2011 dengan jangka waktu pekerjaan sampai dengan 31 Oktober 2012.

Atas pengumuman dan penetapan pemenang lelang tersebut, PT Lintas Bumi Lestari dan PT Telkom Indonesia mengajukan sanggahan yang pada pokoknya keberatan atas penetapan pemenang lelang dimaksud.

Atas sanggahan tersebut, pada 28 Juni 2011, Drajat Wisnu mengirimkan surat penjelasan kepada PT Telkom Indonesia dan PT Lintas Bumi Lestari yang pada pokoknya proses lelang dan penetapan pemenang telah sesuai dengan prosedur. Terhadap penjelasan tersebut, PT Telkom Indonesia dan PT Lintas Bumi Lestari mempunyai hak untuk mengajukan sanggah banding paling lambat 5 Juli 2011. Namun sebelum masa sanggah habis, pada 30 Juni 2011 Sugiharto sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sudah menunjuk konsorsium PNRI sebagai pelaksana proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2012 dengan nilai pekerjaan Rp5.841.896.144.993.

Ia melanggar Pasal 85 ayat 1 Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 yang beriai larangan menandatangani dokumen Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) sebelum masa sanggah selesai.

Belakangan PT Lintas Bumi Lestari melalui kuasa hukum Handika Honggowongso melaporkan Irman dan Drajat Wisnu ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan sangkaan melakukan tindak pidana penipuan, penggelapan, pelanggaran praktek monopoli dan persaingan usaha serta pelanggaran keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 372, Pasal 374, Pasal 415 KUHP jo Pasal 22, Pasal 48 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jo Pasal 52 UU No. 14 tahun 2008 tentang Informasi Publik. Sampai akhirnya kasus bergulir ke tangan KPK.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Hukum
Reporter: Jay Akbar & Agung DH
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS