Menuju konten utama

Proyek E-KTP Jalan Terus di Tengah Kasus Korupsi

Mendagri Tjahjo Kumolo mengaku penyelesaian proyek e-KTP memang terhambat kasus korupsi.

Proyek E-KTP Jalan Terus di Tengah Kasus Korupsi
Warga mengikuti perekaman foto untuk keperluan e-KTP di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (17/11). Sekitar 27 persen penduduk di Kota Palu yang sudah melakukan perekaman foto tapi hingga saat ini belum mendapatkan e-KTP karena kekosongan blangko sejak awal bulan Oktober 2016 lalu. ANTARAFOTO/Basri Marzuki/aww/16.

tirto.id - Megaproyek e-KTP sudah dimulai sejak awal 2010. Proyek ini bertujuan mengintegrasikan secara nasional identitas warga negara Indonesia yang awalnya berbasis kertas menjadi KTP elektronik, berbasis chip. Namun, sejak proses lelang dan penganggaran di DPR pada 11 Mei 2010, uang untuk pelaksanaan megaproyek ini malah dirayah secara berjamaah hingga merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku program pendataan penduduk secara digital menjadi tertatih-tatih karena kasus itu. Tapi upaya pendataan terus dilakukan, walau pun berjalan beriringan dengan penyelidikan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) selama tiga tahun terakhir.

"Enggak masalah, kami jalan terus walaupun ibarat naik mobil persenelingnya belum bisa lancar. Tapi kami terus memacu bahwa perekaman data bisa," ungkap Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/3/2017).

Wujud megaproyek e-KTP ialah mendata ulang identitas penduduk dan diberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tunggal. Masa berlakunya seumur hidup. Merujuk pada Permendagri Nomor 9 tahun 2011, tentang pedoman penerbitan KTP berbasis NIK dalam pasal 1 ayat (9), fungsi NIK guna memecahkan suatu perkara kejahatan yang sulit seperti terorisme, pelaku penggelapan pajak, penyelundupan, pembobolan bank via ATM, pemilikan KTP ganda, digunakan untuk Pemilu, tercipta data penduduk yang akurat, dan sebagainya.

Maka yang didata bukan hanya biometrik menyangkut foto diri, sidik jari, iris mata, dan tanda tangan saja. Data-data lain juga dikumpulkan, sepertirekam cacat fisik atau mental, status perkawinan, perceraian, riwayat perpindahan, status dalam keluarga, pengakuan pengesahan anak, hingga pencatatan kematian.

NIK nantinya akan diintegrasikan untuk penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya. Database kependudukan berdasar NIK, akan diserap pemerintah daerah, Dirjen Pajak, Departemen Hukum dan HAM Imigrasi, Departemen Agama, Perbankan atau lembaga keuangan, BKKBN, KPU, Depnakertrans, Departemen sosial, Departemen Kesehatan, Bappenas, Departemen Pertahanan, Badan Intelijen Negara, Polri, Badan Pertanahan Nasional, dan sebagainya.

Namun, permasalahan muncul sejak dibentuknya panitia tender atau pelelangan. Panitia tender atau pelelangan disahkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 027-109MD Tahun 2011 pada 10 Februari 2011. Ketua panitia Pengadaan Barang atau Jasa Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipi ialah Drajat Wisnu dan Pringgo HT sebagai sekretaris.

Sembilan hari kemudian lelang dibuka. Nilai pagu megaproyek tersebut Rp 5.952.083.009.000. Kemudian Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 5.951.886.009.000. Keseluruhan dana diambil dari APBN 2011.

Dari 26 peserta lelang, hanya ada 5 perusahaan yang memenangkan tender. Beberapa di antaranya, Konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), bertugas mencetak blangko e-KTP dan personalisasi untuk memangkas identitas ganda. Selain itu PT LEN Industri mengadakan perangkat keras AFIS. Kemudian PT Sucofindo melaksanakan tugas bimbingan dan pendampingan teknis. Sedangkan PT Quadra Solution bertugas mengadakan perangkat keras dan lunak. Selain itu PT Sandipala Arthaputra (SAP) bersama PT Paulus Tanos bertugas mencetak blanko e-KTP dan personalisasi dari PNRI.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya kejanggalan dalam proses lelang. KPPU lantas menerbitkan Penetapan Komisi Nomor 21/KPPU/Pen/III/2012 pada 30 Maret 2012 untuk pemeriksaan pendahuluan perkara. Pada akhirnya KPPU menemukan persekongkolan vertikal antara panitia tender dengan Konsorsium PNRI sebagai pemenang tender dan Konsorsium Astragraphia selaku pemenang cadangan. Ada proses tender atau komunikasi informal yang juga dilakukan pada hari libur atau di luar jam kerja (Sabtu dan Minggu).

Dari Kehabisan Blanko Sampai Pungutan Liar

Salah satu problem yang berlarut-larut adalah pengadaan blanko atau lembar e-KTP berisi chip. Seharusnya pengadaan blanko selesai pada Desember tahun lalu melalui anggaran APBN 2016. Namun lelang dengan penawaran Rp 109.921.000.000 untuk pengadaan 8 juta blanko e-KTP tersebut gagal pada 9 November 2016.

“Mudah-mudahan tender yang kemarin saya batalkan karena tidak clear and clean. Kita tidak mau di kemudian hari ada masalah. Mudah-mudahan tender Maret ini sudah bisa menemukan pemenang dengan baik. Kita minta saran LKPP juga,” ujar Tjahjo.

Namun, saat lelang dibuka kembali, jumlah pengadaan blanko e-KTP dikurangi dari 8 juta menjadi 7 juta keping. Ada 52 peserta lelang yang berebut nilai pagu anggaran Rp 367.898.188.000 dengan harga perkiraan sendiri (HPS) sebesar Rp 92.182.778.188. Dana diambil dari APBN 2017.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh memastikan bahwa proses lelang tersebut telah selesai pada 8 Maret 2017. Pemenang tender segera melimpahkan 7 juta blanko e-KTP kepada Dispendukcapil untuk segera disebarkan ke berbagai daerah.

“Pemenang lelangnya sudah ada. Diharapkan sekitar tanggal 20 Maret sudah terdistribusi. Sesuai target minggu ketiga,” ungkap Zudan saat berbincang dengan Tirto, Kamis (9/3/2017).

Terkait pengadaan blanko e-KTP, Ombudsman sempat melakukan pemantauan di 34 provinsi di Indonesia. Pada Senin, 10 Oktober 2016, Ombudsman mengaku menemukan sekitar 17,5 juta jiwa penduduk ditelantarkan dalam pelayanan e-KTP.

Ombudsman menyebutkan, pada Juli 2016 masih ada 22 juta penduduk yang belum terlayani e-KTP. Pada tahun tersebut, hanya ada tambahan 4,5 juta blanko e-KTP. Ahmad Suaedy, anggota Ombudsman, mengatakan 4,5 juta blanko tersebut sudah habis sejak 1 Oktober 2016.

Ombudsman juga mendapati minimnya minat masyarakat merekam identitas untuk e-KTP dipicu karena buruknya pelayanan. Meski tak dijelaskan secara rinci, Ombudsman menemukan beberapa tempat pengurusan e-KTP tak menyediakan sarana khusus bagi difabel.

Kepala perwakilan Ombusdman Republik Indonesia (ORI) Papua, Sabar Olif Iwanggin, mengatakan pihaknya mendapatkan laporan dari warga masyarakat di Kelurahan Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura. masih ada oknum yang memanfaatkannya dengan melakukan praktik pungutan liar sebesar Rp 50 ribu per e-KTP dengan dalih biaya administrasi.

Zudan membantah temuan Ombudsman terkait ada 17,5 juta jiwa penduduk terlantar tak bisa mendapatkan e-KTP. Menurut Zudan, selama ini tak ada komunikasi antara Ombudsman dengan pihaknya terkait hasil monitoring itu. Zudan juga mempertanyakan validitas temuan Ombudsman.

“Data di kami, yang sudah rekam dan belum dapat KTP-el sekarang hanya 4,5 juta. Penduduk yang belum merekam 6 juta. Tidak tahu data Ombudsman dari mana itu. Itu bisa dipertanggungjawabkan atau tidak saya juga enggak tahu. Sekarang sisa penduduk yang belum merekam tinggal 6 juta,” tuturnya.

HL jalan terjal evolusi identitas KTP

Jaminan Data Aman

Zudan mengingatkan kembali agar masyarakat tak cemas data yang direkam akan diumbar ke publik. Menurutnya data identitas masyarakat dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Revisi Administrasi Kependudukan dalam Kompilasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara.

Pada pasal 84 misalnya, ada beberapa data penduduk yang harus dilindungi, di antaranya keterangan tentang cacat fisik dan atau mental, sidik jari, iris mata, tanda tangan, dan elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang.

Hal tersebut mengacu pada pelaksanaan Pasal 8, bahwa instansi pelaksana urusan administrasi kependudukan wahib menjamin kerahasiaan dan keamanan data. Sedangkan pasal 96a, menyangkut ancaman pidana bagi setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan atau mendistribusikan dokumen kependudukan dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

“Oh itu ada pidanya, ada dendanya. Ada milyaran dendanya,” tutup Zudan.

Zudan juga mengatakan bahwa data tersimpan di dalam negeri, bukan di luar negeri. “Servernya ada di kantor. Ada tiga di Kalibata, Kemendagri, dan satu lagi di Batam. Server itu berat, alatnya berat, tidak bisa diangkat-angkat,” kata Zudan.

Tiga tempat penyimpanan server e-KTP adalah, pertama, di kantor pusat Kemendagri di Jalan Merdeka Utara (Jakarta Pusat), 600 terabyte. Kemudian server Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan Disaster Recovery Center (DRC) di kantor Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Jalan TMP Kalibata, Jakarta, sebesar 35 terabyte. Sedangkan untuk cadangan yang mem-backup data e-KTP, berada di Batam dengan kapasistas 200 terabyte.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS