Menuju konten utama

Ketagihan Duit E-KTP

Megakorupsi e-KTP menyerat nama-nama besar.

Ketagihan Duit E-KTP
Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto (tengah) meninggalkan gedung KPK usai pemeriksaan penyidik terkait dugaan korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP nasional tahun 2011-2012, di Jakarta, Senin (16/1). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/17

tirto.id - Berdasarkan survei yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB), DPR menjadi instansi yang dianggap paling korup. Menyusul kemudian birokrasi pemerintah dan DPRD. Tingginya wewenang DPR dalam pembuatan undang-undang, menyetujui anggaran, dan pengawasan dinilai menjadi akar masalah bagi munculnya korupsi.

Survei tersebut melibatkan 1.000 responden berusia 18 hingga 55 tahun yang tersebar di 31 provinsi. Melalui metode wawancara langsung maupun melalui telepon, survei dilakukan sejak 26 April hingga 27 Juni 2016.

Persepsi publik tersebut disambut surat dakwaan yang dibacakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (9/3/2017). Surat merujuk peranan terdakwa I yakni mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan terdakwa II mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto. Sebelum membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tersebut, KPK telah mendalami kasus e-KTP tersebut sejak tahun 2013.

Setidaknya lebih dari 24 nama anggota DPR yang disebut dalam dakwaan itu. Meski demikian, nama-nama tersebut belum cukup bukti menjadi tersangka.

Peran Besar Andi Narogong

Dalam dakwaan KPK, dana gelap yang diambil dari anggaran negara mulai mengalir sejak awal Februari 2010. Saat itu, DPR mengadakan rapat pembahasan anggaran. Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) meminta agar proyek e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) tak menggunakan dana Pinjaman Hibah Luar Negeri. Gamawan meminta sumber pendanaan murni dialirkan dari APBN.

Usai rapat, Burhanudin Napitupulu yang kala itu menjabat sebagai ketua komisi II DPR, meminta uang pelicin proyek e-KTP kepada Irman, yang saat itu merupakan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Seminggu kemudian Irman menemui kembali Burhanudin. Dalam pertemuan itu disepakati pembahasan permintaan anggaran e-KTP sudah disetujui, asal ada barter dengan mengucurkan dana pada anggota komisi II DPR.

Beberapa hari kemudian sekitar pukul 06.00 di Hotel Gran Melia Jakarta, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Diah Anggaini melakukan pertemuan dengan Setya Novanto. Novanto saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar DPR sekaligus Bendahara Umum DPP Partai Golkar. Dalam pertemuan, Novanto menyatakan dukungannya untuk memperlancar pembahasan anggaran proyek e-KTP.

“Saudara Andi (Narogong) permah ketemu saya, tapi dalam kapasitas jual beli kaos. Waktu saya selaku bendahara umum (Partai Golkar), semuanya kita serahkanlah, nanti dalam sidang kan masing-masing bisa jelaskan, kita tunggu aja di persidangan,” kata Novanto di Kompleks Parlemen DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/3/2017). Meski mengaku tak menerima dana korupsi, namun Novanto memastikan pernah bertemu dengan Narogong.

Beberapa hari kemudian Irman dan Narogong mendatangi ruang kerja Novanto di Fraksi Partai Golkar, lantai 12, Nusantara I, DPR, Senayan, Jakarta. Pertemuan tersebut guna mendalami keseriusan dukungan Novanto. Hingga muncul pernyataan bahwa Novanto berjanji melobi pimpinan fraksi lainnya.

Sebelum Rapat Dengar Pendapat (RDP) dimulai pada Mei 2010, ada pertemuan informal antara Irman dan Narogong dengan beberapa anggota komisi II DPR. Beberapa di antaranya Chaeruman Harahap,

Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh Juwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arif Wibowo, dan Muhammad Nazaruddin. Dalam pertemuan santai tersebut, disepakati bahwa proyek e-KTP diambil dari APBN 2011 dan bersifat multiyears. Percakapan berujung pada Mustoko yang menegaskan bahwa Narogong akan memberikan fee pada anggota DPR dan beberapa pejabat Kemendagri. Sedangkan Narogong mengiyakan perkataan Mustoko.

Saat dikonfirmasi, Ganjar mengaku tak kenal Narogong. Dia justru tahu Narogong setelah diberi tahu penyidik KPK, saat diminta oleh lembaga antirasuah sebagai saksi. Begitu juga dengan Teguh Juwarno dan Arif Wibowo, mereka mengaku tak mengenal Narogong.

Sekitar bulan Juli hingga Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan RAPBN TA 2011, proyek e-KTP menjadi salah satu bagiannya. Di luar itu, Narogong semakin intensif melakukan pertemuan dengan Novanto, Nazaruddin, ditambah Anas Urbaningrum. Narogong menganggap mereka bagian terkuat dari Partai Golkar dan Partai Demokrat untuk mendorong menyepakati anggaran e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.

Dalam pertemuan intensif tersebut, muncul kesepakatan antara Narogong, Novanto, Anas, dan Nazaruddin. Hal tersebut terkait, 51 persen dari anggaran Rp 5,9 triliun, yakni sebesar Rp 2,6 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek e-KTP. Sisanya sebesar 49 persen direncanakan untuk mengguyur pejabat Kemendagri, anggota komisi II DPR, dan pelaksana pekerjaan atau rekanan konsorsium.

Rincian dari 49 persen atau senilai 2,5 triliun tersebut, sebanyak 7 persen atau Rp 365 miliar akan dibagikan ke pejabat Kemendagri. Kemudian anggota komisi II DPR akan diberi sebesar 5 persen atau 261 miliar. Sedangkan Novanto dan Narogong akan mendapatkan bagian 11 persen atau Rp 574 miliar yang dibagi dua. Anas dan Nazaruddin juga mendapat 11 persen yang dibagi dua. Selain itu sisa 15 persen atau Rp 783 miliar untuk pelaksana pekerjaan atau rekanan konsorsium.

Tak hanya kesepakatan terkait pembagian dana, mereka juga menyetujui sebaiknya pelaksana atau rekanan proyek yang mengeksekusi program e-KTP ialah BUMN. Hal tersebut agar mudah diotak-atik.

Terus Ketagihan

Sekitar antara bulan September hingga Oktober 2010, Mustoko kembali muncul. Kali ini dia mewujudkan janjinya untuk membagi-bagikan uang. Anas mendapat $500 ribu, diberikan melalui Eva Ompita Soraya. Sebelumnya, pada bulan April 2010, Anas sudah mendapat $2 juta, diberikan melalui Fahmi Yandri. Uang tersebut dipergunakan Anas untuk biaya akomodasi Kongres Partai Demokrat di Bandung. Pada bulan Oktober 2010, Naragong kembali membarikan uang pada Anas senilai $3 juta.

Anas juga membagikan uang yang dia dapat pada Anggota Komisi II DPR, Khatibul Umam Wiranu sebesar $400 ribu. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Mohammad Jafar Hafsah juga mendapat bagian dari Anas sebesar $100 ribu. Uang tersebut dipergunakan Jafar untuk membeli satu unit mobil Toyota Land Cruiser dengan nomor polisi B 1 MJH.

Beberapa anggota dewan yang lain juga mendapat percikan dana dari Mustoko. Arief Wibowo mendapat $100 ribu, Chaeruman Harahap selaku Ketua Komisi II DPR RI mendapat $550 ribu. Kemudian yang waktu itu menjabat sebagai anggota komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa dan Ignatius Mulyono mendapat USD 1 juta dan USD 250 ribu.

Selain itu, tiga wakil ketua komisi II DPR Ganjar Pranowo, Taufik Effendi, dan Teguh Djuwarno, mendapat masing-masing $500 ribu, $50 ribu, dan $100 ribu. Sedangkan Mustoko sendiri mendapat bagian $400 ribu.

HL bagi bagi jatah E KTP DPR

Setelah berhasil mendapat kesepakatan DPR terkait anggaran proyek e-KTP, Narogong menjamah ke badan anggaran DPR. Dia memberikan uang kepada Melchias Mekeng yang kala itu menjabat sebagai ketua badan anggaran DPR sebesar, $1,4 juta. Selain itu dua wakil ketua badan anggaran DPR yakni Mirwan Amir dan Olly Dondokambey mendapat bagian $1,2 juta dan $700 ribu.

Kemudian sebelum masa reses pada bulan Oktober 2010, Narogong kembali memberikan uang pada Arif Wibowo sebesar $500 ribu. Uang tersebut untuk dibagikan kepada Chaeruman Harahap sejumlah $30 ribu, tiga orang wakil ketua komisi II DPR masing-masing $20 ribu, sembilan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) pada Komisi II masing-masing sejumlah $15 ribu, dan 37 anggota komisi II DPR RI masing-masing beragam antara $5 ribu hingga $10 ribu.

Sekitar bulan Oktober 2010, Chaeruman Harahap diminta untuk segera menyetujui anggaran proyek e-KTP secara multiyears sesuai rencana besar yang disepakati di awal. Rinciannya, untuk anggaran 2011 sebesar Rp2,2 triliun. Kemudian untuk tahun 2012 sebanyak Rp3,7 triliun. Kemudian pada rapat komisi II DPR dengan Kemendagri, 22 November 2010, anggaran yang disepakati justru mengelembung, untuk tahun 211 disetujui sebesar Rp2,5 triliun bersumber dari APBN.

Chaeruman Harahap kembali meminta uang kepada Irman, sekitar Mei 2011. Chaeruman menetapkan dana yang harus diberi sebesar $100 ribu, dalihnya untuk membiayai kunjungan kerja komisi II DPR ke beberapa daerah. Permintaan tersebut dituruti.

Irman kembali diminta memberikan sejumlah uang. Kali ini yang meminta ialah Miryam S Haryani, anggota komisi II DPR Fraksi Hanura sebesar Rp5 miliar. Alasan Miryam, uang itu untuk biaya operasional komisi II DPR. Permintaan tersebut disetujui dan uang diberikan. Miryam membagi-bagikan uang tersebut. Beberapa di antaranya, diberikan pada Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Teguh Juwarno, dan Taufik Effendi masing-masing sejumlah $25 ribu. Uang tersebut juga diberikan pada 9 orang Kapoksi komisi II DPR, masing-masing sebesar $14 ribu. Lima puluh anggota komisi II DPR juga diberi Miryam uang, perorang sebesar $8 ribu.

Hasilnya, DPR menyetujui APBN tahun 2013 yang didalamnya memuat tambahan anggaran pengembangan Sistem Administrasi Kependudukan (SAK) terpadu sejumlah Rp1,5 triliun. Persetujuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan dan pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Annggaran, pada 5 Desember 2012.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS