Menuju konten utama

Cara Setya Novanto Mengaburkan Kepemilikan Bisnisnya

Sembari mendulang suara di NTT, Setya Novanto membangun bisnis di sana, dari proyek agrobisnis sampai PLTU. Tapi, banyak yang gagal.

Cara Setya Novanto Mengaburkan Kepemilikan Bisnisnya
Ilustrasi bisnis Papa Setnov di NTT. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - “Sebentar, Yang Mulia,” kata Setya Novanto menyela Jaksa Penuntut Umum. “Seingat saya tidak ada keluarga saya yang punya saham di PT Murakabi, kecuali Irvanto," tambahnya merujuk nama mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera.

“Yang benar, istri dan anak saya itu punya saham di PT Mondialindo,” ucapnya lagi di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, 22 Maret 2018.

Pengakuan politisi Golkar ini bukan hal baru. Pada sidang sebelumnya, ia pernah menyatakan hal serupa, yang intinya: Ia tak terlibat langsung pada perusahaan konsorsium tender e-KTP, PT Murakabi dan PT Mondialindo.

Meski membantah tudingan perusahaan itu adalah miliknya, tetapi fakta yang diungkap Novanto menunjukkan pola sang mantan ketua umum Partai Golkar itu mengelola bisnisnya. Satu catatan penting: ia nyaris tak pernah terlibat langsung sebagai pemilik saham dalam beberapa perusahaan yang dimilikinya.

Pola ini terlihat pada beberapa bisnis Novanto di Nusa Tenggara Timur (NTT), tempatnya mendulang suara sebagai tiket anggota DPR tanpa putus sejak 1999 hingga 2019.

Misalnya, bisnis tambang mangan di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. Nama Novanto disebut-sebut sebagai pemilik PT Laki Tangguh Indonesia yang mengelola tambang. Namun, secara yuridis, nama dia sama sekali tidak tercatat sebagai pemilik.

Nama-nama pemegang saham di perusahaan ini diisi oleh orang-orang dekat dan anak Novanto. Pemegang saham terbesar adalah putra sulungnya, Rheza Herwindo, senilai Rp3,6 miliar, dan putrinya, Dwina Michaella, senilai Rp1 miliar. Ada pula nama RD Buyung Rustam Effendi dan Mohammad Ansor—keduanya adalah orang dekat Novanto. Ansor adalah direktur Novanto Center di Kupang, yang memegang saham di PT Laki Tangguh senilai Rp892 juta; sementara Buyung memiliki saham senilai Rp2,6 miliar.

Bisnis tambang Novanto ini menjadi sorotan publik dan dikaitkan kasus suap yang menjerat Bupati Ngada, Marianus Sae.

Pastor Alsis Goa Wonga OFM, Koordinator Justice, Peace, and Integration of Creation (JPIC)-OFM untuk Flores, NTT mengatakan pada 2010, PT Laki Tangguh mendapatkan izin penambangan di Ngada dari Marianus Sae. Lucunya, izin ini diteken sang bupati jauh sebelum surat permohonan izin diserahkan pada 2011.

Pemberian izin itu ditentang warga dan gereja. Sebab, aktivitas tambang milik Novanto ini janggal secara prosedur hukum dan merusak lingkungan.

“Memang betul kami melakukan penolakan sejak 2011. Saat itu Novanto Center dan PT Laki Tangguh sedang gencar melakukan eksplorasi tambang,” kata Alsis saat saya ke Kupang pada 25 Februari 2018.

PT Laki Tangguh tak hanya melakukan eksplorasi tambang mangan di Ngada. Mereka juga mengeksplorasi tempat lain seperti di Flores. Tambang ini juga ditolak oleh warga.

Penolakan terhadap tambang yang diinisiasi oleh gereja bikin Novanto berang. Pada Februari 2015, di sebuah seminar yang dibuat oleh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), sebuah sinode terbesar di kawasan Timor dan berkantor pusat di Kupang, Novanto menuding gereja menjadi "tempat berlindung" LSM-LSM penolak tambang.

“Daerah ini kaya mangan, marmer, emas dan pasir besi. Namun, saat investor hendak mengelola potensi sumber daya alam, selalu ada penolakan dari LSM yang berlindung di bawah gereja,” kata Novanto, mengutip pemberitaan satuharapan.com(5/3/2015).

Buntut dari pernyataan itu, aktivis gereja dan LSM penolak tambang mengecam Novanto dan menuntutnya meminta maaf.

“Kami juga salah satu yang ikut mengecam Novanto. Karena statement Novanto itu tidak benar. Dia bicara karena punya kepentingan, dia punya tambang,” kata Alsis.

Hotel di Pantai Pede

Pola yang sama diterapkan Novanto pada bisnis hotel di Pantai Pede, Labuan Bajo. Hotel bintang lima itu digagas pada 2013 dan segera ditentang warga setempat. Hotel ini menempati lahan milik Pemerintah Provinsi NTT. Lahan itu disewa oleh PT Sarana Investama Manggabar selama 25 tahun.

Pembangunan hotel ini dilaporkan oleh Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG) ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Mei 2017. Penyebabnya, perjanjian bangun guna serah (build Operate transfer) antara PT Sarana Investama Manggabar dan Pemprov NTT melanggar UU 8/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat. Berdasarkan regulasi tersebut, seharusnya aset di Pantai Pede adalah aset milik Pemkab Manggarai Barat, bukan Pemprov NTT.

PT Sarana Investama Manggabar tidak terkait langsung dengan Novanto. Seperti bisnis lainnya, nama Novanto tak tercatat sebagai salah satu pemilik saham di perusahaan tersebut.

Saham terbesar PT Sarana Investama Manggabar dimiliki oleh Agro Tekno Nusantara dan PT Prima Mandiri Logistic; masing-masing memiliki saham senilai Rp2,5 miliar. Putra Novanto, Rheza Herwindo, tercatat sebagai komisaris utama tanpa memiliki saham; begitu pula direktur Novanto Center, Mohammad Ansor.

HL Papa Nova

Menggunakan Novanto Center

Cara lain yang dibuat Setya Novanto adalah dengan menggunakan lembaga sebagai pengelola bisnis. Salah satunya Novanto Center, yang mengelola agrobisnis kepunyaan Novanto di Desa Manusak, Kabupaten Kupang.

Pusat Agrobisnis ini menempati lahan seluas 5 hektare. Saat saya datang ke sana pada 28 Februari 2018, bisnis itu sudah tutup. Lahan ditumbuhi rumput liar. Petak-petak sawah tak terurus. Dua traktor terbengkalai di tengah lahan berumput; sudah berkarat dan mesinnya rusak. Ada empat kandang ayam besar yang sudah reyot dan atapnya roboh. Dua kandang sapi terbengkalai; nyaris tak terlihat karena tertutup semak belukar.

Saya bertemu Reinhard Mesak yang tengah membabat rumput ketika datang ke area agrobisnis tersebut. Ia bekerja sebagai penjaga pusat agrobisnis sejak perusahaan berdiri pada 2009, lalu sempat berhenti tapi mulai bekerja lagi pada 2015.

Mesak mengantar saya mengelilingi beberapa bangunan tak terawat dan berdebu. Ia menunjuk sebuah bangunan kecil yang semula tempat membuat kain tenun. "Ibu-ibu kerja di sana bikin kain, ada mesinnya," katanya, "tapi sekarang hilang semua dicuri orang."

“Di sana, ada mes untuk karyawan, sekarang cuma saya yang tinggal,” katanya, lagi.

Pusat agrobisnis ini selalu ramai, kata Mesak. Setidaknya setiap hari ada 30 pekerja, mayoritas adalah warga Desa Manusak. Ada ratusan ayam peternak dan lebih dari 30 ekor sapi yang dipelihara, sementara luas sawah hampir mencapai 5 hektare, menurut Mesak.

Bisnis yang Terhenti

Sebagian keuntungan dari pusat agrobisnis di desa tersebut, menurut Reinhard Mesak, digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat. Sayangnya, pada 2015, perusahaan ini harus ditutup. Penyebabnya, kata Mesak, ada orang yang menyalahgunakan properti perusahaan untuk kepentingan pribadi.

“Ayam dan sapi dijual, lalu uangnya dibawa lari. Setelah itu tidak ada lagi kegiatan di sini. Saya menyesal sekali, kenapa ada orang jahat sampai jual semua ini,” ujarnya.

Cerita miring tentang orang-orang Novanto di NTT yang menyalahgunakan bisnis dan bantuan dari Novanto bukanlah hal baru. Beberapa orang Novanto, yang enggan namanya ditulis dalam berita, berkata hal sama. Semuanya bercerita tentang bantuan yang dibawa kabur atau diselewengkan, dari bibit ikan sampai mesin kapal untuk nelayan.

Bisnis “idealis” lain yang pernah dibuat oleh Novanto adalah bisnis kain tenun ikat di Maulafa, Kota Kupang. Sama seperti pusat agrobisnis, upaya Novanto memasarkan produk lokal itu juga berjalan macet. Bisnis ini sudah tutup bersamaan bangkrutnya pusat pembuatan kain tenun ikat di pusat agrobisnis.

Peruntungan bisnis Novanto di NTT agaknya tidak semulus yang dibayangkan. Selain bisnis “idealis”, bisnis sungguhan Novanto juga tidak terlalu menonjol. Misalnya, dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di pusat industri Bolok, Kabupaten Kupang.

Saya sempat mendatangi lokasi PLTU milik Novanto pada 1 Maret 2018. Sayangnya saya tidak diperbolehkan untuk memasuki areal industri itu. PLTU ini sudah diresmikan pada 2016. Namun, informasi dari beberapa pekerja di pusat industri Bolok, dua PLTU tersebut sedang berhenti beroperasi.

Saya mengonfirmasikan hal itu kepada Novanto sebelum sidang di PN Jakarta Pusat, 8 Maret 2018. Ia membenarkan bahwa dua PLTU itu adalah miliknya. Namun, ia tidak mengetahui bagaimana perusahaannya di sana bekerja.

“Saya lupa, nanti saya tanya sama yang mengelola,” kata Novanto.

Baca juga artikel terkait SETYA NOVANTO atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam