tirto.id - Malam-malam pada akhir bulan Maret 2014 selalu mendebarkan bagi Bonifasius Jehadin. Ia nyaris tak bisa tidur nyenyak selama dua minggu. Tiap kali beranjak tidur, ia mematikan semua lampu ruangan asrama Perhimpunan Mahasiswa Katolik (PMKRI) dan hanya menghidupkan lampu luar asrama. Ia bahkan menyiapkan parang di dekatnya untuk berjaga-jaga. Jika sewaktu-waktu ada orang menyerang, pikirnya, ia bisa melawan.
Ketakutan Bojes, panggilan akrab Bonifasius, membesar sejak menggelar konferensi pers menolak politikus busuk di Dapil II NTT pada 27 Maret 2014. Sekjen PMKRI Kupang ini berkata bahwa "orang-orang tak dikenal" berseliweran di sekitar asrama. Ia menduga orang-orang itu adalah preman. Apalagi ancaman melalui telepon berkali-kali diterima Bojes.
“Badannya besar, muka sangar,” katanya mengenang kejadian yang meramaikan politik lokal di NTT saat pemilu legislatif 2014.
Dalam konferensi pers itu, Bojes menyebut tiga nama politikus busuk yang "tidak layak dipilih" dalam Pileg 2014: Herman Hery dari PDI Perjuangan, serta Charles Mesang dan Setya Novanto dari Partai Golkar.
Kampanye politikus busuk digerakkan oleh sejumlah organisasi nonpemerintah, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), yang merilis daftar caleg dalam skala nasional. Dari sana Bojes mengetahui ada tiga "politikus busuk" dari NTT.
Pendeknya, Bojes dan sejumlah aktivis lokal setuju menggelar konferensi pers untuk melakukan kampanye "politikus busuk", yang sudah ditunggu para wartawan serta intel.
Menyebut nama para politisi ini memang perkara sensitif di Kupang. Herman Hery terkenal sebagai pengusaha hotel di NTT, salah satunya Sotis Hotel di Kota Kupang. Herman sudah menjadi anggota DPR RI sejak 2004.
Charles Mesang tak kalah berpengaruh di NTT; ia menjadi anggota DPR RI sejak 1997 sampai 2014. Pada 2017, ia divonis empat tahun penjara karena menerima suap terkait pengajuan anggaran di Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2014.
Setya Novanto juga tak kalah garang karier politik dan pengaruhnya. Ia menjadi anggota DPR RI selama empat periode dari NTT sejak 1999 dan menjadi ketua DPR RI. Ia memiliki sejumlah bisnis di NTT. Di Partai Golkar, ia pernah menjadi bendahara sebelum akhirnya menjadi ketua umum partai. Kini Setnov terjerat korupsi e-KTP.
Lantaran orang-orang ini punya pengaruh, dari pedagang pinggir jalan hingga pemerintahan, aktivitas Bojes dan kawan-kawannya setelah menggelar konferensi pers tersebut dipantau oleh polisi setempat.
Sebelumnya, Johannes SEO, jurnalis Tempo, sempat bikin geger Kota Kupang setelah menerbitkan laporan tentang bisnis Setnov di NTT. Sesudahnya, Johannes menerima ancaman dibunuh oleh orang-orang dekat Novanto.
Teror dan Ancaman
Dalam hitungan jam, berita tentang tiga politikus busuk itu menyebar. Namun, dalam sekejap pula kabar tak sedap menyebar. “Informasi dari kawan wartawan, kami bakal dihabisi. Kami diminta untuk meninggalkan Kupang malam itu juga,” ujar Bonifasius Jehadin.
Meski ada rasa takut, Bojes meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. Ia meminta dukungan dari para senior PMKRI.
“Senior bilang lawan saja. Tapi lawan bagaimana? Ini saya bisa kehilangan nyawa,” ujar Bojes, yang pada satu titik bersikap pasrah jika harus mati di tangan orang tak dikenal.
Bojes merasa sendiri setelah ancaman pembunuhan bikin takut sejumlah koleganya. "Kalau mau pergi, silakan," katanya. "Jangan balik lagi ke sini. Kalau sampai ada yang ke sini, aku hajar kalian."
Cuma ada dua kolega yuniornya yang bersedia menemani Bojes di asrama PMKRI. Pada satu malam, Bojes berada di luar asrama. Ia berencana kembali tapi niat itu urung setelah menerima pesan pendek, “Abang, jangan ke sekretariat [PMKRI] dulu. Kondisi sedang tidak aman.”
Di depan asrama, ada "puluhan orang" tak dikenal, yang dia duga sebagai preman, tengah berkumpul seakan-akan menunggu seseorang.
Bojes memutuskan untuk menunda-nunda kembali ke asrama. Sekitar pukul 1 malam, orang-orang itu baru angkat kaki dari depan asrama. Usai memastikan semua orang itu pergi, barulah ia memasuki asrama.
Teror itu bikin Bojes selalu waspada saat berpergian. Ia selalu mengenakan pakaian berbeda dan motor yang berbeda. Sampai suatu hari sebuah panggilan dari nomor tak dikenal berbunyi ke ponselnya. Ia mengangkatnya.
“Saya minta kamu bikin konferensi pers lagi, bilang ke media bahwa semua yang kamu katakan kemarin adalah salah. Jika tidak, kamu akan tanggung akibatnya,” demikian Bojes menirukan ancaman dari suara seorang lelaki di ujung telepon.
Ancaman ini bikin Bojes berang. Ia menantang si penelepon, “Saya ada di sekretariat PMKRI. Lokasi di seberang Polda. Bapak tanya saja orang, semua pasti tahu.”
Setelah itu, Bojes dihubungi oleh romo pembina PMKRI. Malam itu Bojes diminta ke seminari dan mematikan ponsel. Ia diminta segera meninggalkan Kota Kupang. Eesok harinya Bojes pulang ke kampungnya di Labuan Bajo. Ia baru kembali ke Kupang sesudah pemilu 2014 kelar.
Gairah Penolakan terhadap Setnov
Meski pada akhirnya ketiga politisi itu kembali terpilih pada Pileg 2014, tetapi gaung konferensi pers yang digelar aktivis mahasiswa di Kota Kupang bukan tanpa hasil. Tak berselang lama usai konferensi, muncul gerakan warga menolak ketiga calon anggota DPR tersebut. Khusus untuk Novanto, penolakan lebih kencang sampai muncul kampanye “asal bukan Setnov”.
Gerakan ini juga muncul di dunia maya. Sebelum ramai daftar politisi busuk, seorang warga NTT bernama John Ndapa Tugu sudah membuat grup Facebook menolak Setnov sebagai wakil rakyat NTT pada pertengahan 2013. Bernama “Tolak Setya Novanto sebagai Caleg”, grup ini menarik 2.286 akun Facebook. Selain itu ada petisi online oleh orang yang sama, meski gaung dukungannya minim.
Gerakan menolak Novanto sempat redup sampai suatu hari sang politikus itu melakukan blunder. Ia menuding gereja sebagai "tempat berlindung" LSM-LSM penolak tambang.
“Daerah ini kaya mangan, marmer, emas, dan pasir besi. Namun, saat investor hendak mengelola potensi sumber daya alam, ada penolakan dari LSM yang berlindung di bawah gereja,” kata Novanto dalam satu seminar yang merayakan peran misi gereja di Kupang, Februari 2015.
Pernyataan Novanto itu terlontar terkait upaya gereja menggalang gerakan tolak tambang di beberapa daerah di NTT. Salah satu tambang yang ditolak adalah tambang mangan yang dikelola PT Laki Tangguh Indonesia milik Novanto di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. Selain itu ada gelombang penolakan warga terhadap proyek pariwisata Pantai Pede, yang juga dikelola oleh perusahaan Novanto.
Romo Alsis Goa Wonga OFM, Koordinator Justice, Peace, and Integration of Creation (JPIC)-OFM untuk Flores, mengatakan bahwa penolakan terhadap tambang tak hanya dilakukan oleh gereja, tapi masyarakat yang memang dirugikan.
“Tahun 2011 sebenarnya kita sudah melakukan penolakan terhadap Novanto karena PT Laki Tangguh sudah mulai melakukan eksplorasi di Flores. Memang betul ini bukan dapilnya Setnov, tapi dia punya bisnis di sini,” kata Alsis.
Perhimpunan Mahasiswa Katolik (PMKRI) lagi-lagi terlibat dalam gerakan ini. Pada Maret 2015, mereka merilis pernyataan bersama dengan gereja dan aktivis di NTT melawan tudingan Novanto terhadap gereja. Ketua PMKRI cabang Kupang, Marco Gani, mengatakan saat itu mereka menuntut Novanto mundur sebagai wakil rakyat NTT.
“Novanto, kan, memang punya kepentingan bisnis,” kata Gani.
Perlawanan PMKRI terus berlanjut sampai akhirnya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dalam mega korupsi e-KTP. Namun, PMKRI tidak berhenti pada Novanto saja. Penolakan terhadap politikus busuk di NTT terus dilakukan di tengah persoalan daerah itu sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam