Menuju konten utama

Perlukah Puan dan Pramono Diperiksa Usai Setnov Divonis?

Mantan bendahara umum Partai Demokrat M. Nazaruddin pernah menyebut semua ketua fraksi di DPR menerima aliran dana proyek E-KTP.

Perlukah Puan dan Pramono Diperiksa Usai Setnov Divonis?
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Senin (12/3/2018). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mendalami keterlibatan Pramono Anung dan Puan Maharani dalam kasus korupsi E-KTP tanpa menunggu putusan majelis hakim tindak pidana korupsi terhadap terdakwa Setya Novanto. Salah satunya dengan menelusuri informasi dari orang-orang yang terlibat dalam proyek tersebut.

"Artinya kalau ada bukti informasi yang cukup kuat bisa langsung proses penyelidikan tidak perlu menunggu putusan untuk mengambil tindakan," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yunto saat ditemui di Cikini, Jakarta, Sabtu (24/3).

Emerson mengatakan KPK bisa memeriksa Puan dan Pramono dalam penyidikan tersangka Made Oka Masagung. Ia menjelaskan KPK bisa melakukan penyelidikan langsung setelah menemukan informasi dari hasil pengembangan perkara. KPK pun bisa menghentikan penyelidikan bila bukti permulaan tidak mencukupi untuk naik ke tingkat penyidikan.

"Jadi kalau menurut KPK perlu mendalami kesaksian yang lain, pertanyaannya kenapa kita harus menunggu putusan hakim?" Tanya Emerson.

Mantan bendahara umum Partai Demokrat M. Nazaruddin dalam kesaksian di persidangan pernah menyatakan semua ketua fraksi di DPR RI ikut menerima aliran dana proyek E-KTP. Salah satu ketua fraksi saat proyek itu berjalan adalah Puan Maharani dari PDI Perjuangan. Emerson mengatakan KPK mestinya mencari tahu apakah uang $7,1 juta dollar Amerika Serikat hanya dinikmati Novanto sendiri atau juga pihak lain, termasuk ke Puan.

"Kalau 7,1 juta dolar Amerika Serikat itu dibagi-bagi yang bagi-bagi itu menerimanya wajib proses," tegas Emerson.

Ahli pidana dari Universitas Indonesia Churdy Sitompul memandang KPK bersikap berhati-hati merespons pengakuan Novanto di persidangan tentang aliran uang kepada Puan dan Pramono. Menurutnya pengakuan Novanto bisa saja datang dari dorongan penyidik dan inisiatif sendiri. Akan tetapi, pria yang juga dosen UI itu yakin KPK tidak mencari aman dengan memroses dua nama tersebut pasca putusan.

"Saya kira KPK dalam hal ini bukan cari aman Tetapi dia mencari bukti mengumpulkan bukti," kata Churdy.

Churdy melihat KPK menerapkan strategi penindakan dari tokoh termudah hingga tokoh tersulit. Salah satu cara adalah dengan menunggu vonis hakim. Ia menerangkan, vonis hakim adalah bukti tertulis. Vonis tersebut dapat digunakan sebagai bukti untuk menjerat seseorang sebagai tersangka, baik dalam status inkracht (putusan tetap) maupun tidak.

"Kalaupun dia belum inkracht itu sudah salah satu bukti sebenarnya walaupun nanti masih bisa diperdebatkan, bahwa itu kan belum final and binding (final dan mengikat) belum inkracht, Tapi kalau sudah inkrah wah itu bukti yang kuat itu," tegas Churdy.

Senada dengan Emerson, Churdy berpendapat KPK harus memproses keterangan Novanto soal aliran uang proyek E-KTP kepada Puan dan Pramono. Hal ini bukan saja untuk kepentingan proses penegakkan hukum tapi juga agar publik tahu siapa saja orang-orang yang menikmati proyek dengan kerugian negara sekitar Rp2,3 triliun itu.

Di sisi lain ia menilai apabila Novanto tidak bisa membuktikan ucapannya, mantan ketua umum Golkar itu bisa digugat secara perdata dengan dengan tuduhan pencemaran nama baik dengan dalih kerugian imaterill.

"Kalaupun Novanto ngaco nggak bakal nama-nama yang disebut itu dijadikan tersangka tapi kalau misalnya ada bukti bisa jadi [tersangka]," kata Churdy.

Politikus PDIP Masinton Pasaribu mempersilahkan KPK menindaklanjuti keterangan Novanto. PDIP menurutnya menghormati seandainya KPK ingin menunggu putusan hakim terhadap Novanto. "Kami serahkan pada mekanisme di proses hukum di KPK," kata Masinton.

Masinton mengatakan PDIP tidak akan menghalangi proses hukum terhadap Puan dan Pramono sepanjang itu berkaitan dengan penanganan perkawa. Namun ia mengingatkan KPK mesti memiliki dalil dan bukti yang kuat sebelum memeriksa Puan juga Pramono.

Anggota Komisi III DPR RI ini juga meminta KPK tidak hanya fokus pada nama Puan dan Pramono. KPK seharusnya berfokus pada pembuktian nama-nama yang disebut di dakwaan. Hingga saat ini, KPK baru memroses 8 nama dari puluhan nama yang disebut menikmati uang proyek yang merugikan negara Rp 2,3T itu. "Nama-nama di dalam itu juga sangat banyak yang belum ditindaklanjuti. Melebar ke mana-mana malah nanti bias persoalan penanganan kasus E-KTP ini," kata Masinton.

"tadi sudah saya cek ke timnya, tim jpu akan menyusun tuntutan terlebih dahulu dan pengembangan fakta fakta sidang nanti kita lihat setelah putusan pengadilan."

Sidang kasus korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (22/3) memunculkan dua nama politikus PDI Perjuangan: Pramono Anung dan Puan Maharani. Setya Novanto terdakwa yang menjalani sidang itu menyebut Pramono dan Puan telah menerima uang masing-masing sebesar $500 ribu dolar. Informasi ini ia dapat dari pengusaha Made Oka Masagung dan Andi Naragong—yang juga terdakwa kasus e-KTP.

Menurut Novanto, uang berasal dari Made, diberikan saat Puan masih menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP DPR periode 2012-2014. Sedangkan Pramono menjabat sebagai Wakil Ketua DPR.

Kabiro Humas KPK Febri Diansyah sebelumnya mengatakan pihaknya perlu waktu mempelajari keterangan yang disampaikan Novanto. Ia beralasan persidangan Novanto sudah sudah menjelang proses tuntutan dan akan memasuki proses pembacaan vonis. KPK tak ingin terseret kepentingan politik dalam penyebutan nama Puan dan Pramono.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Muhammad Akbar Wijaya