tirto.id - Sejak memutuskan pensiun lebih cepat dari tempatnya bekerja, Suwarno (58), justru banyak berurusan dengan makhluk hidup. Tanaman hias, ikan di kolam, serta beberapa ekor bebek menjadi pusat perhatiannya membunuh waktu. Jika urusan pemeliharaan rampung, ia akan menghabiskan hari dengan membenahi rumah, memasak, atau sekadar memanaskan motor bebek miliknya.
Pria asal Kabupaten Bogor itu tidak ingin berhenti bergerak. Menurutnya, jika orang berumur atau menuju usia lanjut sudah memilih bermalas-malasan, selesai hidupnya.
“Nanti itu mudah lupa dan maunya dilayani terus, kata orang itu justru jadi pikun,” katanya lewat sambungan telepon kepada Tirto, Kamis (15/5/2025).
Di rumah, Suwarno tinggal dengan istri serta anak bungsunya yang belum menikah. Dua anak tertuanya sudah bertempat di rumah mereka masing-masing karena telah berkeluarga. Istri Suwarno masih bekerja sebagai guru di sebuah SD swasta. Anak bungsunya, bekerja pula mengurus toko pakaian sehingga sering pulang malam.
Alhasil, tinggal Suwarno yang lebih banyak punya waktu sendiri sehari-hari. Menurutnya, terkadang ada saja perasaan sepi yang mampir di dadanya. Namun, jika sedang merasa kesepian, ia lebih senang mengusir kegalauannya itu dengan menyambangi kawan-kawan lama.
Itulah mengapa, Suwarno, yang berada dalam kelompok umur pra-lansia, tidak begitu tertarik dengan layanan panti wreda atau panti khusus lansia. Terlebih, di benaknya, panti wreda di Indonesia lebih semacam penampungan orang-orang uzur yang terlantar. Suwarno tak bisa membayangkan jika dirinya justru berada di tengah-tengah mereka.
“Kok kayak sedih ya, padahal yo saya tahu toh ada juga panti jompo yang mahal itu terawat dan punya kegiatannya ya. Tapi kan sayang kalau mau tinggal di sana juga [masih] ada keluarga,” ujar Suwarno.

Di sisi lain, Suwarno ada kekhawatiran apabila kelak harus tinggal di panti wreda. Sebab, belum terlihat ada perhatian serius dari pemerintah terkait pengelolaan panti. Itu jadi pertanda baginya, nasib di panti bakal tidak jelas. Maka, ia memilih tinggal sendirian apabila kelak sanak famili sudah berpulang atau berpisah rumah membina keluarga mereka sendiri.
Sementara Gomah (54), perempuan yang juga berasal dari Bogor, menilai panti wreda atau griya lansia masih cukup asing di kalangan masyarakat. Di kampung, cerita dia, lansia atau orang tua memang dirawat oleh anak-anak meskipun sudah pisah rumah. Konsekuensinya, ada saja orang tua yang akhirnya tinggal sebatang kara di rumah.
Biasanya, ada satu anak yang mengalah dan tinggal di dekat orang tua yang sudah berusia lanjut. Atau, Gomah melanjutkan, anak-anak menitipkan orang tua agar diawasi tetangga di dekat rumah. Tentunya dengan sejumlah imbalan kepada tetangga yang dimintai tolong itu.
“Yang pasti nggak ada sih kepikiran ke panti jompo, nggak ada di sini tuh dari dulu,” ujar ibu rumah tangga itu kepada wartawan Tirto, Kamis.
Gomah sendiri tidak mampu membayangkan jika anak-anaknya meminta dia tinggal di panti wreda. Dalam benaknya, ada kesan seperti ditinggalkan oleh buah hatinya sendiri. Terlebih, ia sendiri dulu merawat orang tuanya di rumah sampai mereka wafat.
Namun, ia menegaskan tidak menolak atau merasa panti jompo tak diperlukan. Sebaliknya, Gomah merasa panti jompo sangat berguna bagi lansia kondisi tertentu. Sayangnya, panti wreda atau jompo di Indonesia dilihatnya terkesan seperti penampungan lansia yang ringkih dan tidak punya keluarga.
“Kalau di kampung ya sudah pasti bisa jadi omongan kalau masukin orang tuamu ke panti. Kan dilihat [oleh masyarakat] panti isinya orang tua yang nggak bisa lagi ngapa-ngapain,” tutur Gomah.
Belum Memadai
Sejak tahun 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mewanti-wanti bahwa Indonesia telah memasuki fase struktur penduduk tua (ageing population). Artinya, di mana sekitar 1 dari 10 penduduk adalah lansia. Hal ini merupakan alarm agar pemberdayaan dan perawatan lansia menjadi prioritas jangka panjang pemerintah supaya fenomena ini dapat disambut sebagai berkah, bukan beban.
Panti wreda (jompo) atau griya lansia sebetulnya bisa menjadi alternatif perawatan sekaligus ruang pemberdayaan lansia yang produktif. Namun, akses panti wreda sendiri terlihat belum memadai. Panti wreda milik pemerintah juga baru terfokus pada lansia terlantar.
Terlebih, isu kelanjutusiaan seakan-akan menjadi persoalan yang dipinggirkan. Tercermin dari minimnya terobosan pemerintah dalam mendorong pemberdayaan penduduk senior. Ini diperparah dengan minimnya akses perawatan lansia jangka panjang yang layak.

Sementara panti wreda swasta, tentunya mematok harga yang tak murah untuk layanannya. Jika ini dibiarkan, bonus demografi kedua, di mana lansia produktif mampu menyumbang dampak perekonomian, bisa jadi sekadar angan-angan.
Panti wreda—yang mampu menjadi solusi—akhirnya banyak dipandang negatif. Masyarakat melihatnya sebagai tempat “pembuangan” orang tua. Pemerintah membiarkan panti berjalan tanpa standar, anggaran, atau pengawasan yang memadai.
Padahal, panti wreda bisa menjadi pusat perawatan sekaligus pemberdayaan lansia.
Dari data yang diperoleh Tirto dari Kementerian Sosial (Kemensos), Rabu (14/5/2025), jumlah panti sosial atau yang termasuk dalam kategori bagian dari Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), ada 17.123 lembaga yang mengikuti sertifikasi. Namun, dari jumlah itu, baru sebanyak 1.529 lembaga yang tersertifikasi atau memenuhi standar kelayakan. Itu pun tak seluruhnya panti wreda, pasalnya terdapat 15 kategori panti sosial di Indonesia.
Jika menengok jumlah itu, jumlah panti wreda yang layak tentu masih perlu ditingkatkan. Hal ini dapat memperluas akses perawatan lansia jangka panjang alternatif yang lebih inklusif.
Pasalnya, dalam laporan BPS bertajuk “Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024”, berdasarkan aspek demografi, sebesar 12 persen penduduk Indonesia pada tahun 2024 adalah lansia. Dengan rasio ketergantungan lansia mencapai angka 17,08.
Jika dilihat menurut jenis kelamin, lansia yang berstatus kawin didominasi oleh lansia laki-laki (85,60 persen) dibanding lansia perempuan (48,48 persen).
Secara tren, proporsi lansia tampak merangkak naik, setidaknya 4 persen selama lebih dari satu dekade (2010-2023). Pada 2010 misalnya, data BPS menunjukkan, persentase lansia berada di level 7,59 persen, kemudian pada 2015 meningkat menjadi 8,43 persen, hingga menyentuh 9,92 persen lima tahun setelahnya. Sementara pada 2023, tercatat 11,75 persen penduduk Tanah Air adalah lansia.
Namun, perlu diingat bahwa jumlah penduduk juga terus berubah setiap tahunnya.
Masih dari data BPS 2024, lansia yang berstatus cerai mati didominasi lansia perempuan (47,86 persen), dibandingkan lansia laki-laki (12,69 persen). Terungkap pula, mayoritas lansia tinggal di dalam rumah tangga yang berisi tiga generasi (35,73 persen) dan bersama keluarga inti (34,45 persen).
Lebih rinci, sebanyak 36,05 persen rumah tangga memiliki anggota keluarga lansia, dengan separuh lansia (53,91 persen) tersebut bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.
Ironisnya, jumlah lansia yang tinggal sendiri cukup banyak. Pada 2024, BPS mencatat lansia yang tinggal sendiri sebanyak 5,50 persen. Jumlah ini memang turun dari data BPS tahun 2023, yang mencatat terdapat 7,1 persen lansia yang tinggal sendirian.
Seharusnya, kelompok ini berpotensi menjadi target layanan panti wreda, atau bisa disebut pula griya lansia, apabila aksesnya mudah dan terjangkau secara finansial.
Data Panti Wreda Bermasalah
Manajer Penelitian dan Pengetahuan The PRAKARSA, Eka Afrina Djamhari, menilai bahwa sampai saat ini belum ada data pasti jumlah panti wreda di Indonesia serta sebarannya di setiap wilayah. Menurutnya, persoalan dasar ini perlu dibenahi terlebih awal jika pemerintah serius ingin memberdayakan dan membuat lansia Indonesia bermartabat.

Eka memandang perluasan akses panti wreda sangat penting di tengah struktur penduduk Indonesia yang akan mengalami penuaan penduduk. Negara mestinya memenuhi perlindungan sosial dan pemenuhan hak-hak lansia serta memastikan lansia hidup sejahtera dan bermartabat.
“Pilihan lansia untuk bertempat tinggal di mana merupakan salah satu hak yang dipenuhi, sehingga penyediaan rumah perawatan lansia yang layak sangat diperlukan,” ungkap Eka kepada wartawan Tirto, Rabu (14/5/2025).
Menurut Eka, penyediaan rumah perawatan lansia swasta dengan standar yang baik mulai banyak tumbuh di luar Jakarta. Namun, biasanya berbiaya mahal. Sementara, tidak semua lansia berada di level ekonomi yang cukup untuk mengakses panti wreda swasta tersebut.
Persoalannya, panti wreda milik pemerintah masih difokuskan untuk lansia terlantar. Belum terdapat opsi untuk lansia miskin atau ekonomi menengah. Panti wreda pemerintah untuk lansia terlantar juga dalam kondisi yang belum layak, bahkan jauh dari standar.
Temuan PRAKARSA pada 2020 silam, tutur Eka, ada panti di Kabupaten Pandeglang yang hanya memiliki fasilitas ruangan dan tempat tidur. Sedangkan untuk fasilitas lainnya, seperti fasilitas kesehatan, tidak tersedia. Umumnya, satu ruangan dihuni lebih dari 10 lansia dan hanya disediakan tempat tidur dan lemari bersama. Dengan kata lain, fasilitasnya belum sepenuhnya layak.
“Pemerintah perlu memastikan panti wreda dibangun dan dijalankan sesuai dengan standarisasi dan kelayakan. Kualitas pelayanan yang baik yang diberikan oleh panti akan mengubah paradigma negatif tentang keberadaan panti wreda,” terang Eka.
Persepsi Negatif Panti Wreda
Persepsi cenderung negatif terkait panti wreda atau griya lansia juga muncul dalam riset mandiri Tirto bersama Jakpat tahun lalu. Riset ini berfokus memotret pandangan anak muda atau Gen Z (16-27 tahun) terkait pemanfaatan panti wreda untuk perawatan lansia. Survei yang Tirto lakukan bersama Jakpat ini dilaksanakan pada 7-8 Juni 2024.
Mayoritas responden paling banyak berasal dari kelompok 20-25 tahun (59,79 persen), diikuti kelompok 26-27 tahun (20,37 persen) dan kelompok 16-19 tahun (19,77 persen).
Dari survei terhadap 1.499 responden tersebut, didapati hampir setengah responden (48,63 persen) tidak setuju pandangan mengirim orang tua ke panti lansia. Bahkan, terdapat 35,76 persen responden yang menjawab, “sangat tidak setuju” dengan pemikiran tersebut.
Terkait alasannya, kebanyakan responden mengutarakan keinginan mereka untuk merawat orang tua sendiri sebagai alasan tak mempertimbangkan memilih layanan panti wreda (78,5 persen). Hampir separuh responden (46,56 persen) merasa cukup dukungan dan sumber daya dari keluarga untuk merawat orang tua di masa lansia.
Menariknya, terdapat sekitar sepertiga responden dari yang memilih tidak setuju dengan pendekatan mengirim orang tua ke panti wreda, mengaku khawatir dengan stigma sosial. Mereka merasa masih ada pandangan negatif di masyarakat yang menganggap anak tidak berbakti jika menempatkan orang tua ke panti wreda.
Terdapat juga 26,8 persen yang mengatakan tidak percaya dengan kualitas perawatan panti wreda. Jawaban-jawaban ini setidaknya menunjukkan masih banyaknya stigma negatif soal panti lansia di Indonesia.
Eka dari The PRAKARSA menambahkan, saat ini masyarakat cenderung memandang panti wreda sebagai tempat pembuangan orang tua. Panti wreda dianggap bertentangan dengan kewajiban anak merawat orang tua. Bahkan, temuan Eka, di beberapa wilayah seperti di Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Polewali Mandar, tidak ada panti wreda sama sekali.
Hal itu dipicu budaya ‘siri’ yang diterapkan masyarakat. Jika terbukti terjadi penelantaran lansia atau orang tua, keluarga yang menelantarkan akan mendapat hukuman sosial berupa menjadi bahan gunjingan masyarakat sekitarnya. Pada umumnya, meskipun keluarga memiliki keterbatasan ekonomi, alasan tak memilih panti wreda disebabkan agar terbebas dari anggapan tidak berbakti.
“Hal ini yang membuat pemerintah setempat berasumsi masyarakat tidak memerlukan panti wreda,” kata Eka.
Anggapan negatif diperparah dengan panti wreda milik pemerintah yang belum memenuhi standar, baik dalam pengelolaan maupun fasilitasnya. Laporan dari The PRAKARSA (2020) menemukan, anggaran panti pemerintah dinilai oleh pengurus belum mencukupi meskipun sudah ada bantuan dari donatur. Ini tersebab oleh pengeluaran yang tinggi, bahkan diakui pengurus, pembelian untuk popok dewasa saja memerlukan biaya tersendiri.

Ditambah, jajaran SDM yang terbatas, dengan gaji karyawan panti non-PNS masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Keterbatasan anggaran itu mengakibatkan fasilitas menjadi minim serta daya tampung yang tak memadai.
The PRAKARSA juga mendapati belum ada standardisasi tenaga perawatan lansia di panti, termasuk tenaga kerja pada lembaga-lembaga swasta yang selama ini bergerak di bidang perawatan lansia.
“Keberadaan panti atau rumah perawatan lansia pemerintah masih diperuntukkan bagi lansia terlantar, belum dipandang sebagai pemenuhan hak,” ujar Eka.
Karena aksesibilitas dan pengelolaan panti wreda di Indonesia yang centang perenang, hal ini berdampak pula pada persepsi kelompok muda atau produktif terhadap pemanfaatan layanan griya lansia di masa mendatang.
Tercermin dari hasil survei Tirto, responden Gen Z menunjukkan sikap kontra yang sama untuk rencana mereka sendiri di masa tua.
Gen Z cenderung tidak tertarik dengan konsep panti wreda. Sebanyak 29,02 persen responden Gen Z menjawab, “tidak yakin” bisa melihat diri mereka tinggal di griya lansia saat usia lanjut. Sementara yang dengan tegas menjawab pasti tidak bisa mencapai 28,89 persen dan 16,61 persen menjawab, “mungkin tidak bisa”.
Sisanya, sebanyak 19,41 persen menyatakan, “mungkin bisa,” melihat diri mereka tinggal di panti wreda di masa tua nanti. Hanya 6,07 persen responden yang menjawab “pasti bisa”. Maka, cuma sekitar satu dari empat Gen Z yang punya perspektif positif terhadap panti wreda untuk diri mereka di masa depan.
Namun, tidak semua memang memandang panti jompo atau griya lansia sebagai pilihan negatif. Survei Tirto juga merekam, ada sekitar 15,61 persen responden Gen Z yang menanggapi positif konsep panti wreda untuk orang tua mereka (menjawab “setuju” atau “sangat setuju”). Dari 243 responden tersebut, Tirto menanyakan juga alasannya.
Kebanyakan memberi alasan kepercayaan terhadap layanan perawatan yang diberikan oleh panti wreda. Selain itu, faktor kenyamanan serta kemudahan akses juga membuat mereka yakin dengan layanan panti wreda untuk orang tua yang memasuki usia lansia.
Sementara dari gabungan responden yang memilih setuju/sangat setuju mengirim orang tua ke panti wreda, serta bisa/pasti bisa melihat diri mereka tinggal di panti wreda di masa depan, kualitas perawatan menjadi faktor paling penting bagi Gen Z memilih menggunakan layanan griya lansia.
Direktur The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar, menilai adat ketimuran memang melihat perawatan orang tua atau lansia menjadi tanggung jawab anak atau keluarga. Masalahnya, pandangan ini menutup ruang perawatan jangka panjang lansia alternatif seperti panti wreda dengan fasilitas dan program yang dapat membantu lansia tetap berdaya dan bermartabat.

Adinda memahami panti wreda atau griya lansia bukan satu-satunya solusi memperbaiki isu kelanjutusiaan di Indonesia. Namun, aksesibilitas layanan panti wreda yang terjangkau dan layak akan menjadi salah satu dorongan penting dalam menyambut penuaan usia penduduk Indonesia di masa mendatang.
“Kalau di luar negeri sebenarnya untuk lansia pun bukan dilihat untuk orang-orang yang dianggap ringkih, tidak berdaya, ada juga yang memang sudah usia senja tapi masih bekerja dan memang bisa menggunakan fasilitas tersebut,” kata Adinda kepada wartawan Tirto, Rabu (14/5/2025).
Mewujudkan Lansia Berdaya dan Bermartabat
Paradigma isu kesejahteraan kelanjutusiaan di Indonesia cenderung terpaku pada pandangan bahwa penduduk senior merupakan beban fiskal yang mesti diatasi. Pendekatan ini menafikkan peluang pemberdayaan penduduk senior atau lansia dengan langkah yang produktif dan berbasis hak.
Paradigma yang mengedepankan hak-hak lansia tentu berfokus pada aspek yang lebih holistik, seperti kesejahteraan, kesehatan, perawatan jangka panjang alternatif, hingga pemberdayaan dan jaminan sosial.
Adinda dari The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) menilai, akses panti wreda atau griya lansia menjadi salah satu yang perlu dibenahi. Ketersediaan dan kebutuhan panti wreda, menurut dia, seharusnya berbasis data penduduk.
Artinya, jika saat ini penduduk lansia melonjak namun akses terhadap panti wreda minim, maka aspek perawatan jangka panjang lansia di Indonesia belum ideal.
Di tengah keterbatasan anggaran dan kebijakan efisiensi, tentu peran untuk menyediakan panti wreda yang layak tidak bisa dibebankan cuma kepada pemerintah. Untungnya, kata Adinda, sudah banyak griya lansia swasta yang dapat diakses masyarakat.
Namun, usaha ini tak akan cukup jika negara mengabaikan potensi lansia dan hanya menganggap mereka sebagai beban. Padahal, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia sudah berusia lebih dari dua dekade—dan sebagian besar isinya belum benar-benar diimplementasikan secara serius.
“Saya pikir itu kalau lintas kementerian dan lembaga terkait seharusnya dengan lembaga yang gemuk di Kabinet Merah Putih ini seharusnya juga bisa mengantisipasi permasalahan isu kebijakan publik termasuk bagaimana memfasilitasi lansia. Tapi lagi-lagi saya tegaskan bahwa semuanya harus berdasarkan need assessment,” lanjut Adinda.

Banyak lansia masih sehat, memiliki keterampilan, dan tetap bekerja. Sayangnya, dukungan dari negara belum memadai menggali potensi yang dimiliki para penduduk senior. Hal itu juga tercermin dari masih banyaknya lansia yang bekerja dalam kondisi yang kurang ideal.
Dalam laporan Statistik Penduduk Lansia 2024 milik BPS tercatat, rata-rata penghasilan pekerja lansia cuma sebesar Rp2,070 juta per bulan. Jumlah ini jauh di bawah upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Laporan itu juga menukil data Sakernas per Agustus 2024, terlihat bahwa lebih dari separuh lansia masih bekerja (55,32 persen).
Sekitar 3 dari 5 lansia (65,24 persen) pedesaan masih bekerja, lebih besar daripada lansia di perkotaan yang bekerja (48,55 persen). Tingkat pendidikan dari lansia bekerja didominasi mereka yang tamat SD sederajat (37,64 persen) atau tidak tamat SD sederajat (40,54 persen).
Dari lansia yang bekerja, sebanyak 84,75 persen di antaranya bekerja di sektor informal, sebanyak 75,21 persen bekerja sebagai pekerja rentan, dan 18,66 persen sebagai pekerja tidak tetap. Menurut status jam kerja berlebih (excessive hours), sebanyak 20,69 persen pekerja lansia bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu.
Bicara pemberdayaan lansia, terutama dalam aspek perawatan jangka panjang, maka perlu disoroti pula gambaran kesehatan penduduk senior di Indonesia. Masih dalam laporan BPS, sekitar dua dari lima (42,81 persen) lansia mengalami keluhan kesehatan selama sebulan terakhir dengan angka morbiditas lansia sebesar 20,71 persen.
Keluhan kesehatan yang dicatat pada Susenas Maret 2024 itu mencakup gangguan yang sering dialami seperti panas, batuk, pilek, diare, dan sakit kepala. Selain itu, mengidap keluhan yang disebabkan oleh penyakit menahun, disabilitas, kecelakaan, atau keluhan kesehatan lainnya.

Dari sisi kebijakan kesehatan, perawatan lansia jangka panjang akan sangat terbantu jika aksesibilitas dan layanan panti wreda bisa dimaksimalkan.
Anggota Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (Pergemi), Kuntjoro Harimurti, menyampaikan perawatan jangka panjang bagi lansia di panti wreda perlu memperhatikan beberapa aspek. Pertama, latar belakang dan kondisi yang menyebabkan lansia berada di panti wreda tersebut.
Apakah karena keinginan sendiri, kebutuhan perawatan khusus, ketidakmampuan keluarga merawat, atau karena tidak ada keluarga (tinggal sendirian). Maka, panti wreda atau fasilitas perawatan jangka panjang (long-term care facility) harus menentukan kemampuan fasilitas untuk merawat lansia dengan berbagai latar belakang.
“Standar fasilitas harus disesuaikan dengan penetapan level layanan jangka panjang yang diberikan. Standar minimal yang harus ada adalah: kebersihan, keamanan, asupan gizi, aktivitas fisik, dan layanan kesehatan oleh dokter atau nakes yang terlatih,” kata Kuntjoro kepada wartawan Tirto, Rabu (14/5/2025).
Menurut Kuntjoro, pemerintah dan masyarakat harus memahami dan menyepakati bahwa lansia memerlukan tempat tinggal dan fasilitas pelayanan yang berbeda-beda. Panti wreda dan fasilitas perawatan jangka panjang menjadi konsekuensi pada suatu masyarakat yang penduduk lansianya cukup banyak.
Tantangannya, kebijakan kesehatan Indonesia masih berfokus pendekatan kuratif. Padahal, mempersiapkan kondisi lansia yang sehat, aktif, sejahtera dan bermartabat, harusnya dapat dimulai sejak masa muda. Seperti melakukan upaya-upaya promotif dan preventif yang lebih besar.
Anggaran pelayanan kesehatan seharusnya lebih banyak dialokasikan pada upaya promotif dan preventif. Termasuk, kata Kuntjoro, menggandeng masyarakat serta organisasi profesi dalam upaya pemberdayaan dan perawatan lansia.
“Namun perlu juga diingat, mengingat saat ini banyak lansia yang sudah dalam kondisi sakit dengan berbagai komplikasi dan ketergantungannya, maka upaya rehabilitatif pun harus diupayakan,” ujar Kuntjoro.
Menurut data Riskesdas 2018 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan, tercatat prevalensi diabetes melitus dan hipertensi meningkat seiring pertambahan usia. Bahkan, peningkatan signifikan prevalensi diabetes melitus terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun, yaitu meningkat dari 3,88 persen pada usia 45-54 tahun menjadi 6,29 persen.
Terlebih, baik penyakit jantung maupun stroke, prevalensi keduanya meningkat seiring penambahan usia. Pada penyakit jantung, prevalensi meningkat menjadi 2,4 persen di usia 45-54 tahun. Peningkatan prevalensi stroke juga terjadi pada kelompok umur 55-64 tahun, yaitu meningkat dari 14,2 persen pada umur 44-54 menjadi 32,4 persen.
Pada kelompok lansia, prevalensi penyakit tidak menular (PTM) tertinggi adalah hipertensi dengan angka 32,5 persen. Diikuti dengan penyakit sendi (18 persen), obesitas (14,6 persen), diabetes melitus (5,7 persen), jantung (4,5 persen), dan stroke (4,4 persen).
Policy and Advocacy Manager CISDI, Fachrial Kautsar, melihat peran panti wreda dalam persoalan ini. Menurutnya, panti wreda bisa difungsikan sebagai tempat perawatan, penyediaan makanan bergizi, dan dukungan sosial bagi lansia. Selain itu, kehadiran panti wreda juga membantu keluarga yang memiliki keterbatasan untuk merawat orang tua mereka.
Sebenarnya pemerintah sudah memiliki berbagai regulasi meningkatkan kesejahteraan hidup lansia. Misal, lewat Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan (Stranas Lansia) yang bertujuan mewujudkan lansia yang mandiri, sehat, dan bermartabat. Selain itu, program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) juga menyertakan lansia sebagai salah satu penerima manfaat.

Di tingkat komunitas, posyandu yang digerakkan kader kesehatan juga telah menyediakan layanan kesehatan gratis bagi lansia. Namun, komitmen pemerintah masih dibutuhkan untuk menguatkan implementasi regulasi yang sudah ada.
Dalam tahapan perawatan lansia dengan PTM, penting untuk mempertimbangkan layanan paliatif atau layanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang memiliki gangguan kesehatan serius. Sayangnya, keberadaan layanan paliatif di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan.
“Seperti tenaga kesehatan layanan paliatif yang masih kurang dihargai, pandangan bahwa layanan paliatif berarti “menyerah” terhadap penyakit, hingga belum tercakupnya bentuk-bentuk layanan paliatif dalam sistem jaminan kesehatan nasional," kata Fachrial kepada wartawan Tirto, Kamis (15/5/2025).
Sementara itu, Pengajar Poltekesos Kementerian Sosial Bandung, Nahar, menjelaskan bahwa dalam UU 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia disebutkan, upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia potensial dan/atau tidak potensial salah satunya dilakukan lewat perlindungan sosial.
Perlindungan sosial dilakukan lewat pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang diselenggarakan baik di dalam maupun di luar panti sosial. Mencakup pelayanan fisik, mental, sosial, kesehatan, dan pendekatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, regulasi terkait standar lembaga kesejahteraan sosial (LKS) seperti panti wreda mesti mengacu UU 11 Tahun 2009 dan PP Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Hal ini juga diatur dalam Permensos Nomor 107/ HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang kesejahteraan Sosial.
Nahar menekankan bahwa tugas pemberdayaan dan perawatan lansia jangka panjang harus dilakukan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat.
“Pemerintah dan masyarakat dimandatkan UU 13 Tahun 1998 soal kesejahteraan lansia melakukan upaya kesejahteraan lansia. Agar lanjut usia tetap dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” terang Nahar kepada wartawan Tirto, Rabu (14/5/2025).
Lebih luas, perlu mulai dibangun cara pandang: dari lansia sebagai kelompok lemah dan ringkih, menjadi lansia sebagai warga negara penuh hak dan potensi. Lansia bukan beban. Bangsa yang melupakan para lansianya, sedang membuang masa depannya sendiri.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































