tirto.id - Belum lama ini, sebuah akun gaming ber-handle@PlaymenID mengunggah sebuah meme yang menunjukkan bahwa orang-orang dewasa lebih memilih memainkan gim single player ketimbang gim daring kompetitif.
Dalam meme yang bersumber dari film Rogue One (2017) tersebut, tampak bagaimana gamer dewasa lebih menyukai gim-gim seperti Red Dead Redemption 2, The Witcher III, The Legend of Zelda: Breath of the Wild, dan God of War ketimbang gim kompetitif seperti Apex Legends, Fortnite, dan Call of Duty: Warzone.
Alasannya? Karena gim single player lebih mampu memberikan kedamaian.
Sebagai seseorang yang aktif (kembali) bermain gim video sejak 2017, buat saya, meme tersebut amat sangat relatable. Saya memilih bermain gim single player karena ingin tenggelam sepenuhnya dalam dunia baru yang mampu mengalihkan pikiran dari penatnya kehidupan sebagai pekerja ibu kota.
Bahkan, saya terkadang berpikir main gim untuk membatasi atau menghindari interaksi dengan sesama manusia. Dalam konteks itu, tidaklah masuk akal apabila saya kemudian memilih untuk memainkan gim daring, lebih-lebih apabila gim tersebut dimainkan secara kompetitif.
Saya pun tidak sendirian. Menilik respons terhadap meme unggahan @PlaymenID tersebut, banyak orang yang merasakan apa yang saya rasakan. Pendek kata, ada sebagian dari kami yang memilih bermain gim bukan untuk meraih kemenangan, tapi semata-mata untuk bersenang-senang. Dan biasanya, yang bermain gim untuk bersenang-senang adalah mereka yang sudah "berumur".
Meski demikian, tidak semua gamer "berumur" memilih jalan yang sama. Nun jauh di Swedia sana, ada sekelompok lansia yang justru menemukan angin kedua dalam hidupnya melalui skena gim kompetitif. Di bawah panji Silver Snipers, Inger "Trigger Finger" Grotteblad (70 tahun), Oevind "Windy" Toverud (82), Rick "CrazyB00mer" La Roche (77), Yvonne "VonneTrap" Kalldin (65), dan Sven "Sgt Ven0m" Flink (67) mengguncang dunia esports melalui kiprah mereka di berbagai kompetisi CS:GO.
Memperluas Jangkauan Esports
CS:GO atau Counter Strike: Global Offensive sendiri merupakan gim multiplayer rilisan Valve dan Hidden Path Entertainment yang sudah menjadi salah satu cabang esports sejak pertama dirilis pada 2012. CS:GO merupakan keluaran keempat dari seri gim Counter Strike yang dulu pernah mewabah di warnet-warnet dan game center Indonesia.
Pada 2017, produsen komputer dan elektronik asal Cina, Lenovo, berinisiatif membentuk sebuah tim CS: GO berisikan para lansia untuk memperluas jangkauan dari esports itu sendiri. Bukan rahasia bahwa esports lebih digemari oleh anak-anak muda, tapi bukan berarti mereka yang lebih tua, bahkan sudah menginjak usia senja, tidak bisa berpartisipasi di dalamnya.
Inilah yang membuat Lenovo Legion kemudian memasang sebuah iklan yang isinya mencari lansia untuk dijadikan pemain esports.
Ketika itu, Silver Snipers disiapkan untuk mengikuti sebuah turnamen CS:GO dalam festival digital DreamHack di Swedia. Waktu mereka tak banyak, hanya sekitar tiga minggu dan dalam waktu yang singkat itu para lansia tadi digembleng secara intensif oleh eks pemain Counter Strike profesional, Tommy "Potti" Ingemarsson.
Tantangan terberat bagi Ingemarsson? Tak satu pun dari para lansia itu pernah memainkan CS:GO.
Persiapan tiga pekan itu pun berjalan lambat. Pasalnya, Ingemarsson benar-benar harus mengajari para gamer baru itu dari hal-hal paling mendasar seperti membidik, mengenali siapa kawan dan lawan, bahkan untuk sekadar mengakses menu settings pada gim tersebut.
Di sisi lain, para lansia tersebut benar-benar serius mengikuti "bootcamp" yang digelar Lenovo dan Ingemarsson. Dilansir The Verge, pemain-pemain baru itu sangat rajin bertanya kepada sang mentor. Mereka bahkan ada yang sampai mencetak layout kibor komputer beserta petunjuk kontrol dan membagikannya kepada rekan-rekan setimnya supaya lebih mudah diingat.
Tak lupa, para lansia itu juga menciptakan julukan bagi mereka masing-masing. Dari situ, sudah bisa dilihat betapa tingginya antusiasme para anggota Silver Snipers untuk mempelajari hal yang benar-benar baru bagi mereka.
Lalu, kendati penampilan perdana mereka berujung pada hasil kurang mengenakkan, tetap ada catatan positif yang bisa dipetik darinya. Silver Snipers langsung kalah dua kali dalam turnamen CS:GO perdananya. Namun, salah satu anggota mereka kala itu, Wanja "Knitting Knight" Godaenge, sukses mencatatkan tiga headshot.
Beranjak dari sana, para anggota awal Silver Snipers itu pun kian bersemangat dalam berlatih. Tak cuma itu, salah satu dari mereka, Monica Idenfors, bahkan kemudian ikut menjadi instruktur bagi para lansia lain yang ingin memulai karier sebagai gamer profesional. Kursus itu diberikan Idenfors secara gratis setiap pekannya.
Skena Esport di Mata Warga Senior
Komposisi Silver Sniper selalu berubah setiap tahun. Pada 2019, misalnya, ketika mereka menjuarai Piala Dunia CS:GO senior di DreamHack 2019, Idenfors sudah tidak lagi menjadi anggota tim, tetapi Godaenge masih bertahan. Selain itu, Grotteblad dan Toverud juga sudah mulai jadi penggawa Silver Snipers pada tahun tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan Lenovo pada 2019, para anggota Silver Snipers membeberkan alasan mengapa mereka begitu menikmati skena kompetitif itu. Grotteblad, misalnya, mengatakan bahwa dirinya mendapat dukungan penuh dari keluarganya, termasuk sang cucu yang sering kali menjadi sparring partner-nya.
Godaenge mengaku bahwa bermain CS:GO "membuat otaknya senantiasa responsif", sementara Toverud menyoroti "betapa asyiknya bermain dengan teman-teman".
Dunia esports sendiri bisa menjadi sangat toksik, terutama lewat ujaran-ujaran kebencian yang dilontarkan satu pemain kepada pemain lain. Akan tetapi, bagi Silver Snipers, situasinya tidak demikian. Mereka justru merasakan sambutan yang begitu hangat dari komunitas dan belajar banyak dari dunia yang baru itu.
Salah satu yang terpenting bagi mereka adalah munculnya kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang dari berbagai belahan dunia.
"Hal paling hebat dari esports adalah bagaimana kamu bisa berhubungan dengan banyak orang di luar sana. Setiap kali bermain, aku berbincang dengan orang-orang dari seluruh dunia dan kami semua punya kemampuan berbeda-beda," tutur Godaenge.
Manfaat lain yang dirasakan oleh Grotteblad adalah bagaimana dia bisa menjalin hubungan yang lebih baik dengan anak dan cucunya. Seakan-akan, dengan mulai bermain Counter Strike, gamer dengan rasio kemenangan 47 persen itu mampu memasuki dunia yang sebelumnya begitu tertutup baginya.
"Hubunganku dengan anak dan cucuku semakin membaik sejak aku mulai bermain. Sekarang, kami punya ketertarikan yang sama dan ini fantastis! Bagiku, impaknya jauh lebih dari apa yang kuperkirakan sebelumnya dan rasanya betul-betul menyenangkan," tutur Grotteblad.
Menciptakan Pasar Gim Baru
Dari apa yang dituturkan para anggota Silver Snipers, bisa dicatat ada beberapa manfaat yang muncul dari keberadaan tim esports lansia ini. Ada yang memberdayakan sesama lansia dengan pelatihan esports, ada yang mampu menjalin hubungan lebih baik dengan keluarganya, ada yang merasa bahagia semata-mata karena bisa bermain dengan teman-teman, dan ada yang merasakan manfaat kesehatan darinya.
Namun, bagi Lenovo sendiri, tetap ada "udang di balik batu" dari inisiatif apik mereka ini. Industri gim dan esports adalah industri raksasa. Pada 2022, menurut Grand View Research, nilai pasar industri ini mencapai US$1,88 miliar atau sekitar Rp29 triliun. Hasil riset yang sama menemukan bahwa dari 2023 sampai 2030, proyeksi pertumbuhan industri ini per tahunnya bisa mencapai 26,8 persen.
Inklusivitas jelas menjadi sebuah jalan bagi terciptanya pasar-pasar baru. Menurut temuan AARP (Asosiasi Pensiunan Amerika Serikat) pada 2023, satu dari empat orang Amerika berusia 50 tahun ke atas bermain gim setidaknya sebulan sekali. Artinya, bermain gim, baik secara kasual maupun kompetitif, memang bukan cuma milik orang-orang berusia muda. Mereka yang sudah "berusia lanjut" pun sebenarnya mampu mendapatkan kesenangan tersendiri dengan bermain gim.
Di Indonesia pun, kita bisa lihat banyak contoh. Berapa emak-emak yang kecanduan bermain Hay Day atau Candy Crush, misalnya? Ini adalah bukti bahwa gim, apa pun genrenya, akan selalu memiliki penggemar dari berbagai kelompok umur. Ceruk-ceruk pasar inilah yang disasar oleh produsen-produsen seperti Lenovo. Sebagai catatan, Lenovo saat ini adalah pemimpin pasar PC di seluruh dunia.
Namun, terlepas dari "udang di balik batunya" itu, apa yang dilakukan Lenovo Legion sangatlah patut untuk diacungi dua jempol. Bahkan, sudah sepatutnya langkah serupa dipraktikkan di lebih banyak tempat, termasuk di Indonesia.
Pasalnya, sering kali para lansia ini bukannya sudah tidak bisa berbuat apa-apa, mereka cuma tidak tahu apa yang mesti dilakukan untuk mengisi waktu di usia tua. Bisa jadi, yang mereka butuhkan adalah menjadi anggota Silver Snipers yang baru.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi