Menuju konten utama
Decode

Survei: Mayoritas Gen Z Tidak Mau Kirim Orang Tua ke Panti Wreda

Hampir setengah responden (48,63 persen) Gen Z tidak setuju dengan pandangan mengirim orang tua ke griya lansia.

Survei: Mayoritas Gen Z Tidak Mau Kirim Orang Tua ke Panti Wreda
Header Periska Data Mayoritas Gen Z Tidak Setuju dengan Konsep Panti Wreda. tirto.id/Fuad

tirto.id - Baru-baru ini, pernyataan dari Menteri Sosial (Mensos) Republik Indonesia, Tri Rismaharini, mengenai panti wreda, atau panti jompo, menuai kontroversi. Pasalnya, Mensos menyebut bahwa konsep panti wreda tidak cocok dengan budaya Indonesia. Ia khawatir keberadaan panti wreda menjadi pembenaran bagi anak untuk menolak merawat lansia yang tinggal di keluarganya.

"Itu budaya dari luar negeri. Sebetulnya menurut saya ya, gak sesuai. Tidak sesuai dengan budaya, begitu kan," katanya, saat peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) di Aceh Utara, 29 Mei 2024 lalu, dilansir dari Antara.

Namun, benarkah begitu?

Ternyata, menurut survei Tirto bersama lembaga riset Jakpat, pandangan Risma yang kontra terhadap keberadaan panti wreda ini juga sejalan dengan Gen Z. Dari survei terhadap 1.499 responden usia 16-27 tahun, didapatkan hampir setengah responden (48,63 persen) tidak setuju dengan pandangan mengirim orang tua ke griya lansia. Bahkan terdapat 35,76 persen lainnya yang menjawab, “sangat tidak setuju”.

Sebagai informasi, survei yang Tirto lakukan bersama Jakpat ini dilaksanakan pada 7-8 Juni 2024. Kebanyakan responden paling banyak berasal dari kelompok 20-25 tahun (59,79 persen), diikuti kelompok 26-27 tahun (20,37 persen) dan kelompok 16-19 tahun (19,77 persen).

Proporsi antara responden laki-laki dan perempuan cenderung seimbang (49,97 persen berbanding 50,03 persen). Responden juga berasal dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, dengan mayoritas dari Pulau Jawa (65,31 persen).

Survei ini juga menggali alasan keengganan mayoritas Gen Z menggunakan layanan panti wreda untuk orang tua mereka.

Terkait alasannya, kebanyakan responden mengutarakan keinginan mereka untuk merawat orang tua sendiri sebagai alasan tidak mempertimbangkan layanan panti wreda (78,5 persen). Hampir separuh responden (46,56 persen) juga merasa punya cukup dukungan dan sumber daya dari keluarga untuk merawat orang tua di masa lansia.

Menariknya, terdapat sekitar sepertiga responden, dari yang memilih tidak setuju dengan dengan pendekatan mengirim orang tua ke panti wreda, yang mengaku khawatir dengan stigma sosial. Mereka merasa masih ada pandangan negatif di masyarakat yang menganggap anak tidak berbakti jika menempatkan orang tua ke panti wreda.

Terdapat juga 26,8 persen yang mengatakan tidak percaya dengan kualitas perawatan di panti wreda.

Jawaban-jawaban ini bisa menunjukkan masih banyaknya stigma negatif soal panti jompo di Indonesia.

Panti Jompo Pasti Tidak Layak?

Menurut para peneliti di lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, The PRAKARSA, presepsi ini timbul karena bayangan masyarakat masih tertuju ke panti jompo yang kondisinya tidak layak.

Manajer Penelitian dan Pengetahuan The PRAKARSA, Eka Afrina Djamhari, pun maklum dengan temuan survei Tirto.

“Karena kalau kita bilang panti jompo itu identik dengan panti jompo yang dibuat oleh pemerintah, atau kalau kita lihat kondisinya panti jompo yang dibuat oleh pemerintah, baik pemerintah provinsi atau yang dimiliki Kementerian Sosial (Kemensos), itu kondisinya sangat amat tidak layak,” ujarnya saat berbincang dengan Tirto, Jumat (14/7/2024).

Menurut Eka, hal ini terkait dengan peruntukan panti wreda yang dikelola oleh pemerintah, yang berdampak terhadap terbatasnya layanan yang bisa diberikan juga.

“Jadi wajar saja kalau masyarakat atau Gen Z (kelompok usia 15-27 tahun) bilang bahwa mereka enggak mau tinggal di panti jompo. Karena memang kondisinya itu sangat buruk kalau kita bisa bilang ya. Panti jompo pemerintah saat ini ditujukan untuk lansia-lansia yang terlantar atau lansia yang miskin, sangat miskin,” begitu terang Eka.

Kembali ke survei Tirto, responden Gen Z juga menunjukkan sikap kontra yang sama untuk rencana mereka sendiri di masa tua. Gen Z masih cenderung tak tertarik dengan konsep panti wreda.

Sebanyak 29,02 persen responden Gen Z menjawab, “tidak yakin” bisa melihat diri mereka tinggal di griya lansia di usia lanjut. Sementara yang dengan tegas menjawab pasti tidak bisa mencapai 28,89 persen dan 16,61 persen menjawab, “mungkin tidak bisa”.

Sisanya sebanyak 19,41 persen menyatakan, “mungkin bisa,” melihat diri mereka tinggal di panti wreda di masa tua nanti. Hanya 6,07 persen responden yang menjawab “pasti bisa”. Hanya sekitar satu dari empat Gen Z yang punya perspektif positif terhadap panti wreda untuk diri mereka di masa depan.

Tirto mencoba mengelaborasi temuan ini dengan bertanya secara acak kepada beberapa orang yang usianya termasuk di kelompok Gen Z. Dari tiga orang yang kami wawancarai, satu orang menyatakan dirinya terbayang tinggal di panti wreda jika nantinya dia memutuskan untuk childfree (memilih tak punya anak).

Agresti (26), yang sehari-hari bekerja di sebuah agensi iklan di Jakarta, bilang, kalau dia ingin menabung untuk kebutuhan dirinya di panti wreda sejak usia produktif. Namun begitu, jika ia punya anak, maka ada kemungkinan uang tabungannya bakal dialokasikan untuk kebutuhan anak.

“Jadi gak tau bisa afford (menjangkau) panti jompo yang bagus apa enggak. Kalo pantinya gak lebih bagus dari rumahku ngapain tinggal di sana?” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (19/6/2024).

Kalau memang nantinya memiliki anak dan dananya tersedia, Agresti mengaku bisa saja ia tinggal di panti wreda. Faktor utamanya bukan tak ingin merepotkan anak, melainkan berharap tak merasa sendirian dan tetap bisa mengaktualisasi diri, serta bersosialisasi.

“Karena di panti jompo yang bagus ada kelas-kelasnya juga kayak ekskul (ekstra kurikuler) gitu. Siapa tahu bisa belajar line dancing, tetep nyanyi-nyanyi sama teman-teman yang sehobi 'kan seru,” katanya, yang kebetulan juga hobi bernyanyi.

Selaras, Ferna (26), juga mengungkap bahwa dirinya berencana tinggal di panti wreda ketika usianya senja dan jika pasangannya sudah tiada. Alasannya, karena ia tak yakin dengan rumah yang bakal ditinggali kelak dan siapa saja yang ada di sekitarnya.

“Jadi daripada aku merepotkan anak cucuku, kayaknya mending aku di panti jompo aja, setidaknya ada yang merawat aku secara willing (berdasarkan kemauan), mereka memang kerjanya kayak gitu,” katanya, saat ditemui di dekat kediamannya di Lamongan, Jawa Timur, Rabu (19/6/2024).

Tapi pandangan seperti itu tak berlaku buat Balya (24). Wanita yang kini tengah menjalani studi pascasarjana di Yogyakarta itu justru tak bisa membayangkan dirinya menabung untuk kebutuhan tinggal di panti wreda nantinya.

Saat ini Balya hanya berharap punya lingkungan yang baik dengan tetangga-tetangga yang saling peduli satu sama lain kelak. Katanya, kalau ke panti, artinya ia harus menabung banyak, sementara dia juga tak ingin merepotkan anaknya untuk membiayai kebutuhannya di panti wreda.

“Aku lebih pengen punya teman-teman baik di lingkungan rumahku biar kebutuhan sosialnya tetap terpenuhi. Atau memastikan di masa tua tetep ada yang ngecek lah biar nggak meninggal sendirian di dalam rumah,” ujarnya, ketika berbincang dengan Tirto, Rabu (19/6/2024).

Hal yang menarik adalah, baik Agresti, Ferna, dan Balya mengaku tak berencana menitipkan orang tua ke panti wreda. Selain karena tak umum di lingkungan keluarga, mereka merasa orang tuanya bakal lebih memilih tinggal di rumah ketimbang di griya lansia.

Agresti menyatakan, apalagi jika tak ada “consent” atau persetujuan dari orang tuanya, maka ia pun tak akan tega untuk mengirimkan orang tuanya ke panti wreda. Opsi yang dirasa cocok yakni dengan tinggal satu kota bersama orang tuanya, kemudian merekrut Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk merawat orang tuanya.

“Terus kalau tanpa persetujuan mereka aku titip ke panti jompo, pasti bakal jadi omongan di keluarga besar, juga malah jadi dicap sebagai anak nggak tau diri. Karena di keluarga besarku juga belum pernah ada yang titip ortu-nya ke panti jompo. Dulu nenek-kakekku juga yang merawat pakde-budeku. Pasti mereka berkaca ke situ,” ujar Agresti.

Balya pun mengungkap kekhawatiran serupa. Ia mengatakan jika ia menawarkan orang tuanya untuk tinggal di panti wreda, maka ia merasa orang tuanya bakal tersinggung.

“Karena stereotype-nya masi ya begitu lah kalau menaruh orang tua ke panti berarti nggak peduli. Tapi nanti kalo ibu-bapakku pengen dan sudah ada panti wreda yang bagus, bisa aja. Biar ada temennya. Kalau dikasih kesempatan dan ibu-bapakku mau, aku mau juga merawat sendiri,” katanya.

Ferna bahkan sempat menyoroti ketersediaan griya lansia di kota tempat tinggalnya, Lamongan. Dia tidak pernah menjumpai panti wreda yang dekat rumahnya. Paling tidak Ferna harus menempuh sekitar 40 kilometer (km) ke Gresik, demi menemukan griya lansia terdekat.

“Kayaknya di sini gak ada gak sih panti jompo yang terkenal yang setidaknya punya kredibilitas?” kata Ferna.

Bagaimana dengan Gen Z yang pro dengan konsep panti wreda?

Di sisi lain, survei Tirto bersama Jakpat juga menemukan masih ada sekitar 15,61 persen responden Gen Z yang menanggapi positif konsep panti wreda untuk orang tua mereka (menjawab “setuju” atau “sangat setuju”).

Dari 243 responden tersebut, Tirto menanyakan juga alasannya. Kebanyakan memberi alasan kepercayaan terhadap layanan perawatan yang akan diberikan oleh panti wreda. Selain itu, faktor kenyamanan serta kemudahan akses juga membuat mereka yakin dengan layanan panti wreda untuk orang tua mereka yang memasuki usia lansia.

Terdapat juga jawaban lainnya dari sejumlah responden. Beberapa menyebut bahwa ketika orang tua berada di panti wreda, mereka bisa bertemu banyak teman sebaya untuk menghabiskan waktu dan berkegiatan bersama. Seperti yang diungkapkan beberapa sumber Tirto, faktor sosial menjadi hal yang penting dan menjadi pertimbangan.

Meski begitu, ada juga 23,9 persen responden yang memilih opsi setuju dengan rencana untuk mengirim orang tua ke panti wreda karena tidak punya waktu untuk orang tua mereka.

Lebih lanjut, Tirto juga menyaring sekitar 25 persen responden yang memberi tanggapan positif terkait tinggal di panti wreda untuk masa depan mereka sendiri (19,41 persen menjawab “mungkin bisa” dan 6,07 persen menjawab “pasti bisa”).

Dari responden yang memilih setuju/sangat setuju mengirim orang tua ke panti wreda, dan/atau bisa/pasti bisa melihat diri mereka tinggal di panti wreda di masa depan, kami mengulik faktor yang penting dari panti wreda menurut mereka.

Hasilnya dari 423 responden, kualitas perawatan dari panti wreda menjadi faktor paling penting bagi kelompok Gen Z untuk kemudian memutuskan menggunakan layanan griya lansia tersebut. Faktor lainnya, seperti reputasi, biaya, lokasi, juga rekomendasi, cenderung tidak menjadi faktor utama.

Dari jawaban tersebut, terlihat layanan menjadi pertimbangan utama bagi Gen Z. Hal ini bisa menjadi catatan penting bagi lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta dalam menyediakan panti wreda.

Proporsi Lansia Terus Naik tapi Ketersediaan Panti Tak Merata?

Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada tahun 2035, bahkan kemungkinan puncaknya akan maju di tahun 2032. Setelah era bonus demografi selesai, maka penduduk usia produktif yang semula mendominasi otomatis bergeser menjadi penduduk usia tua.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menegaskan, apabila Indonesia tidak segera bersiap menyambut hadirnya ageing-population, dikhawatirkan negara akan menanggung beban biaya yang tidak sedikit.

“Kita perlu beri warning bahwa tugas kita adalah mempersiapkan angkatan kerja untuk produktif. Karena orang yang berada di usia produktif belum tentu produktif kalau dia tidak bekerja secara produktif juga. Ini yang harus kita pastikan supaya nanti siap memasuki aging-population,” katanya, saat mewakili Presiden Jokowi membuka Musyawarah Nasional (Munas) II Perhimpunan Organisasi Alumni Perguruan Tinggi Negeri (Himpuni), di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Sabtu (26/2/2022).

Indonesia saat ini memang memasuki ageing population, kondisi peningkatan umur harapan hidup yang diikuti dengan peningkatan jumlah lansia juga. Sejak tahun 2021, proporsi lansia alias mereka yang berusia 60 tahun ke atas, terus naik dan mencapai 10 persen atau lebih dari keseluruhan jumlah penduduk.

Secara tren, proporsi lansia tampak merangkak naik setidaknya 4 persen selama lebih dari satu dekade (2010 - 2023).

Pada 2010 misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase lansia berada di level 7,59 persen, kemudian pada 2015 meningkat menjadi 8,43 persen dan menyentuh 9,92 persen, lima tahun setelahnya.

Lalu pada 2023, tercatat sebanyak 11,75 persen penduduk Tanah Air adalah lansia. Sementara rasio ketergantungan lansia sendiri sebesar 17,08. Artinya dari 100 orang penduduk usia produktif (umur 15-59 tahun), harus menanggung sekitar 17 orang lansia.

Merujuk ke Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023 keluaran BPS juga terlihat masih terdapat 7,1 persen lansia yang tinggal sendiri. Kelompok ini berpotensi menjadi target dari layanan panti wreda, jika memang tersedia.

Data tersebut juga menunjukkan, paling besar, 34,68 persen lansia, tinggal bersama anak/menantu dan cucunya dalam satu rumah atau dengan orang tua dan anak mereka. Kondisi ini yang kemudian menciptakan kelompok yang akrab disebut sandwich generation.

Keberadaan generasi sandwich ini, dalam beberapa kasus juga menimbulkan masalah baru lagi. Tirto pernah membedah masalah yang timbul dari anak-anak generasi sandwich ini pada November 2023 lalu.

Sementara itu, jika melihat dari persebaran lansia di Indonesia, data BPS 2023 menyingkap bahwa DI Yogyakarta menjadi provinsi dengan proporsi lansia terbesar (16,02 persen), disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Celakanya, meski Jawa Timur termasuk daerah dengan proporsi lansia yang cukup besar, seperti pernyataan Ferna, keberadaan panti wreda masih sangat asing di sekitar tempat tinggalnya.

Terkait eksistensi panti wreda, ada juga masalah dari pendataan. Persebaran dan jumlah panti wreda di Indonesia tidak mudah ditemukan, kalaupun ada dan dipublikasikan. Hal ini juga yang dikeluhkan The PRAKARSA. Sejauh ini, data yang mereka dapat hanya data total, itupun dari pemberitaan media massa.

Pencarian Tirto juga berujung ke hasil yang serupa. Misalnya dari artikel CNBC Indonesia berikut yang menyebut berdasar data Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2022, ada 800 panti jompo di Indonesia dengan jumlah penghuni mencapai 25 ribu. Namun, pencarian kami ke situs resmi Kemensos tidak menemukan detail informasi tersebut.

Informasi mengenai jumlah panti wreda dan penghuninya, kami temukan dari data BPS daerah. Itupun hanya beberapa daerah yang berhasil terkumpul. Temuan Tirto setidaknya BPS Kalimantan Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Kabupaten Bangka Tengah menyediakan data soal panti wreda.

Dari data yang sangat terbatas itu saja, ada beberapa temuan menarik. Misalnya di Jawa Tengah, dari 35 kota/kabupaten, hanya ada delapan di antaranya yang tidak punya fasilitas panti wreda. Hal ini juga yang membuat okupansi panti wreda di Jawa tengah mencapai 7.699 orang pada tahun 2021. Kota Semarang, ibu kota Jawa Tengah, punya 16 panti wreda, 15 di antaranya dikelola oleh entitas swasta.

Sementara itu, data dari BPS Bangka Tengah menunjukkan, di sana tidak ada satupun panti wreda, setidaknya sampai data tahun 2020.

Terkait kondisi ini, Eka dari The PRAKARSA pun menyatakan kalau memang tidak semua daerah memiliki panti wreda. “Ini berdasarkan riset PRAKARSA waktu di 2020 tentang kesejahteraan lansia, kenapa seperti itu, ini dari pemerintah daerah ya, kita dapat infonya, pemda misal di Sulawesi Tenggara ya waktu itu ya, atau Sulawesi Barat, merasa memang mereka tidak membutuhkan panti jompo di daerahnya,” ujarnya.

Eka membeberkan, di daerah tersebut kuat sekali pemahaman masyarakat, atau barangkali “stigma”, bahwa panti wreda adalah tempat pembuangan orang tua. Dengan asumsi pemda bahwa warga setempat tak membutuhkan panti wreda, maka hingga kini tak dibangun satupun panti.

Sayangnya, di sisi lain justru ada pula kasus di mana panti wreda menampung lansia melebihi kapasitasnya. Eka mencontohkan sebuah panti di DKI Jakarta, yang memiliki kapasitas 60 orang, tetapi diisi oleh 200 orang.

“Jadi lansia itu ditaruh di selasar, bahkan mereka itu tidur di atas meja dipan, cuman ditaruh kasur tipis gitu, tapi di atas meja. Kebayang nggak mereka harus naik bangku dulu untuk sampai ke tempat tidurnya gitu,” kata Eka kepada Tirto, Jumat (14/6/2024).

Untuk mengecek kondisi di lapangan, Tirto mencoba menghubungi Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 3 lewat akun Instagram resminya. Berdasarkan informasi yang kami terima, saat ini di panti tersebut ada sekira 358 lansia terlantar yang menetap.

Jumlah tersebut terbagi ke tiga panti. Sejumlah 288 orang tinggal di panti yang berlokasi di Margaguna Raya, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, sementara sebanyak 38 orang berdiam di Sasana Tresna Werdha (STW) Budi Mulia 3 Centex, dan 32 orang sisanya tinggal di STW Dukuh 5 yang beralamatkan di Keramatjati, Jakarta Timur.

Sedikit lebih banyak dari kapasitasnya, merujuk ke laman resmi PSTW Budi Mulia 3, kapasitas total untuk panti ini yakni 350 orang, terdiri atas 285 lansia di Margaguna, 35 lansia di Dukuh, dan 30 orang di Keramatjati.

Pentingnya Perspektif Hak dalam Memandang Panti Wreda

Eka sebagai Manajer Penelitian dan Pengetahuan The PRAKARSA menggarisbawahi bahwa pemerintah harus menganggap panti wreda sebagai persoalan yang serius dan melihatnya dari pendekatan hak, yakni hak dari pilihan lansia untuk tinggal.

Salah satu caranya bisa dibuat percontohan untuk rumah tinggal lansia atau rumah perawatan lansia yang standar kualitasnya sangat baik, tidak sekadar tempat penampungan untuk lansia terlantar.

“Bukan cuma yang standar minimum gitu dan juga overload (melebihi kapasitas) gitu ya. Bisa dibuat itu dulu percontohan, sehingga image panti jompo itu bukan panti jompo yang kayak sekarang gitu,” kata Eka.

Dengan demikian, bayangan soal panti wreda bisa baik secara holistik, mencakup dari sisi kualitas, keterjangkauan, dan perawatan yang ditawarkan.

“Tapi memang yang paling mendasar menurut kami adalah pengetahuan pemerintah sendiri ya, pejabat publik, pengetahuan pejabat publiknya sendiri itu juga harus dibenerin tuh,” sambung Eka.

Pengamat Kebijakan Publik The PRAKARSA, Darmawan Prasetya, pun menimpali, keberadaan panti wreda itu harus menjadi opsi, akan tetapi tak menjadi kewajiban.

“Karena rumitnya, rumitnya relasi keluarga dan negara dalam konteks lansia itu adalah at some point banyak keluarga yang punya resource yang cukup itu mau merawat orang tua. Resource tuh dalam artian ya anaknya punya waktu, anaknya bisa punya ART dan sebagainya,” katanya, dalam kesempatan yang sama, Jumat (14/6/2024).

Selain itu, menurut Darmawan, harus ada juga standardisasi terhadap panti wreda. Sebab, Indonesia tak memiliki aturan untuk standardisasi operasi panti wreda.

“Ada aturan yang hanya menyinggung tentang pendaftaran, bagaimana pendirian, namanya LKS ya, Lembaga Kesejahteraan Sosial. Yang itu aturannya sudah diatur di tahun 2012 oleh Kemensos. Tapi itu kan hanya mengatur tentang pendaftaran. Dan itu lebih ke pendaftaran bagaimana suatu lembaga itu di-approve gitu oleh pemerintah,” katanya.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait DECODE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty