tirto.id - Kasus bunuh diri di kalangan anak muda kembali mencuat.
Rabu (15/10/2025), seorang mahasiswa Universitas Udayana diduga mengalami masalah kesehatan mental hingga mengakhiri hidup dengan melompat dari Gedung FISIP. Korban juga diduga mengalami perundungan oleh teman-temannya di kampus.
Kisah seperti ini bukan sekadar angka di berita, melainkan potret dari keputusasaan yang tak sempat menemukan ruang aman untuk bersuara.
Jepang, salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia, telah lama bergulat dengan luka yang sama.
Melansir Asahi, laporan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang yang rilis pada Maret lalu menyebutangka bunuh diri pada 2024 sebanyak 20.320 kasus, terendah kedua sejak statistik nasional dilakukan pada 1978.
Angka bunuh diri paling rendah tercatat pada 2019 silam, yaitu 19.959 kasus.
Lebih spesifiknya, jumlah kejadian bunuh diri pada anak SD, SMP, dan SMA, mencapai 529 kasus.
Menurut analisis pihak Kementerian, penyebab utama bunuh diri di kalangan pelajar laki-laki sering kali berakar pada kegagalan akademik, sementara pada perempuan berkaitan dengan persoalan kesehatan fisik dan mental.
Di samping itu, usia 21 tahun dipandang sebagai titik usia paling rentan pada kelompok mahasiswa karena mereka dihadapkan pada ketidakpastian tentang masa depan.
Dalam wawancara dengan NHK Worldpada Februari lalu, Okaku Terumi, CEO Live on, organisasi dukungan duka dan pencegahan bunuh diri di Jepang, menyinggung sisi lain tentang tantangan anak muda masa kini.
“Yang sering saya dengar dari anak-anak, perundungan dan pengucilan di media sosial umum terjadi. Sementara perundungan dalam bentuk kekerasan fisik cenderung telah berkurang. Banyak anak khawatir tentang bagaimana diri mereka dipersepsikan oleh orang lain,” ujarnya.
Okaku juga mengamati pergeseran tempat kejadian perundungan.
Dulu terbatas di sekolah, kini perundungan bisa terus membayangi anak-anak sampai ke kamar tidur mereka di rumah, atau di mana pun mereka berada, salah satunya karena kemudahan akses terhadap gawai dan media sosial.
Di satu sisi, selama ini sudah digencarkan kampanye pencegahan bunuh diri di sekolah-sekolah melalui pesan yang membangun, seperti "meminta tolong itu tidak apa-apa" dan "kuat, pintar, tangguh".
Persoalannya, kata Okaku, generasi lama Jepang tidak terbiasa, atau lebih tepatnya tidak dibesarkan, dengan pesan afirmatif demikian sehingga mereka bisa jadi kesulitan untuk memahami dan mengakui tantangan mental anak-anak zaman sekarang.
Hal tersebut, Okaku tegaskan, juga mustahil dipisahkan dari realitas bahwa kelompok dewasa Jepang pada hari ini pun tengah berjuang keras di bawah tekanan ekonomi dan berbagai persoalan sistemik lainnya, belum lagi fenomena krisis pendidik atau kekurangan guru.
Okaku tidak setuju dengan kecenderungan publik untuk membingkai persoalan bunuh diri sebagai isu yang perlu ditangani organisasi tertentu.
"Padahal, di balik bunuh diri, ada perjuangan yang lebih mendalam, kemiskinan anak, ketidakhadiran di sekolah, dan seksualitas,” jelasnya.
Okaku percaya, selain sekolah dan rumah, perlu ada ruang ketiga yang bisa membebaskan anak-anak untuk mengekspresikan rasa sakit, belajar merawat diri, dan menumbuhkan ketahanan. Di situlah pentingnya kehadiran edukasi publik, terutama melalui kolaborasi organisasi dan pemangku kepentingan.
Selaras dengan yang disampaikan Okaku, Tirto pernah mengulas tentang cara Jepang mengadvokasikan kesehatan mental terutama pencegahan bunuh diri pada anak dan remaja.
Sejak 2018, pemerintah Jepang proaktif memperluas akses layanan bagi penduduknya untuk berbagi cerita dan mencari pertolongan. Informasi ini tersedia di situs resmi milik Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan.
Melalui layanan konsultasi yang terhubung 24 jam lewat nomor telepon, staf ahli dari departemen pemerintah siap untuk merespons mereka yang sedang dalam situasi "ingin mengakhiri hidup" atau "ingin menghilang".
Konsultasi juga dapat dilakukan secara daring melalui situs web, aplikasi LINE, sampai media sosial Facebook.
Pendek kata, siapa pun dapat menjangkau bantuan dengan cara yang lebih akrab dengan keseharian mereka.
Inisiatif pemerintah ini juga berjalan semakin lancar karena turut melibatkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat sebagai mitra penyedia tenaga ahli yang selalu siap mendengarkan dan memberi pendampingan.
Respons awal masyarakat, terutama kalangan muda, sangat besar.
Menurut data dari pihak Kementerian, sepanjang Maret 2018 yang diperingati sebagai bulan kesadaran pencegahan bunuh diri, tercatat lebih dari 10 ribu kasus telah ditangani oleh konselor daring.
Sejumlah remaja SMP membagikan pengalamannya tentang konsultasi melalui layanan Ikizurabitto.
"Selama ini aku belum pernah menemukan situs web yang memungkinkan sesi konsultasi dengan orang secara langsung, jadi sebelumnya aku cuma curhat atau konsul dengan AI. Karena itu, aku tetap gelisah dan tidak tenang. Namun kali ini, untuk pertama kalinya, aku bisa bercerita kepada seseorang secara langsung, dan itu membantuku memahami serta meluruskan isi pikiran dan masalah yang sedang kuhadapi."
Remaja lainnya bercerita, "Aku senang karena didengarkan dengan tulus dan tidak dihakimi. Itu membuatku merasa ingin terus hidup sedikit lebih lama lagi."
Meski kejadian bunuh diri di Jepang cenderung menurun, kenyataan bahwa angkanya di kalangan anak dan remaja tak banyak berubah dapat menjadi pengingat penting bahwa di balik kemajuan sistem dan kampanye kesadaran, masih ada ruang-ruang sunyi yang belum tersentuh.
Dari ratusan catatan peninggalan yang tertinggal, alasan mereka tidak selalu terkait hal yang kompleks. Ada yang menyerah karena masalah di sekolah, ada yang lelah dengan sakit yang tak kunjung sembuh, dan ada pula yang terjebak dalam problem keluarga di rumah.
Di baliknya, tersimpan kisah tentang betapa rapuhnya perasaan ingin didengar dan dimengerti.
Barangkali, tantangan terbesar bagi Jepang dan negara mana pun yang tengah berjibaku dengan persoalan ini bukanlah tentang sekadar menurunkan angka bunuh diri, melainkan menemukan cara agar setiap anak merasa keberadaannya berarti: bahwa mereka boleh lemah, boleh menangis, dan tidak harus sendirian menanggung beratnya dunia.
Sebab, di balik setiap statistik yang kita baca, selalu ada seseorang yang mungkin hanya membutuhkan satu telinga untuk mendengarkan sebelum semuanya terlambat.
------------------------
Jika kalian merasakan tendensi untuk menyakiti diri sendiri/ orang lain atau mengakhiri hidup, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































