tirto.id - Berposisi duduk dan saling berhadapan sesama jenis gender, sejumlah mahasiswa baru Universitas Sriwijaya (Unsri) mendapat perintah saling mencium kening. Suruhan itu datang dari mahasiswa senior. Mereka mengawasi gerak bibir yang tidak menempel kening. Ada pula yang sibuk merekam kejadian itu sambil tertawa.
“Giliran cium cewek dak malu, giliran kawan dewek malu," ucap seorang perempuan yang terekam video.
Kejadian itu terjadi di lingkungan kampus pada Sabtu (20/9/2025) saat momen orientasi studi dan pengenalan kampus atau yang akrab dikenal ospek. Ospek untuk mahasiswa baru angkatan 2025-2026 ini digarap Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian.
Tiga hari setelah video ospek tersebar di media sosial, pihak kampus angkat suara. Sekretaris Unsri, Aidil Fitri, mengatakan aksi saling cium kening bukan bagian kegiatan ospek. Dia mengklaim tindakan yang dilakukan mahasiswa senior kepada juniornya itu terjadi begitu saja.
"Perpeloncoan itu tidak benar, dalam kasus ini tindakan yang dilakukan oleh kakak tingkat tersebut merupakan perbuatan spontanitas," kata Aidil, Selasa (23/9), di Kampus Unsri Indralaya, Ogan Ilir, mengutip Ayo Palembang.
Pada waktu sama, muncul video klarifikasi yang menampilkan sejumlah mahasiswa himpunan. Dwinandra, yang mengaku penggerak kegiatan mengatakan bahwa ide menyuruh saling cium berasal dari alumni. Mulanya, kegiatan pengenalan himpunan sekaligus lingkungan kampus diisi bersih-bersih sampah. Tapi, di ujung hari muncul ide untuk membikin permainan bagi para mahasiswa baru.
"Saya mendapatkan ide itu dari alumni, yang menitipkan [ide] itu,” kata Dwinandra dalam rekaman video.
Belakangan, pihak kampus membekukan organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian hingga satu tahun ke depan akibat peristiwa ini. Pihak kampus tidak menyangkal bahwa perbuatan yang dilakukan senior himpunan adalah laku perundungan. Selanjutnya, bakal dilakukan investigasi oleh satgas pencegahan dan penanganan kekerasan kampus.
Kegiatan Ospek Sarat Kekerasan Telah Mengakar Puluhan Tahun
Laku perundungan menjadi masalah laten dalam kultur ospek di lingkungan kampus, oleh senior kepada junior. Oky (31), masih mengingat pengalaman ospek 13 tahun lalu, di salah satu kampus swasta di Jakarta Selatan. Kepada Tirto, dia bercerita mulanya mendaftar latihan dasar kepemimpinan yang dibikin senat fakultas untuk mahasiswa baru.
Dari kampus, dia dan kawan seangkatan menaiki truk milik TNI menuju tempat latihan, yang berlokasi di kawasan Cikoneng Kabupaten Bogor. “Awal sampai sana masih fine-fine aja,” cerita dia, Kamis (25/9).
Sesaat setelah sampai, para peserta dikumpulkan di dalam tenda untuk sesi materi soal manajemen aksi. Seturut itu, materi soal gerakan dan dasar kepemimpinan dipaparkan para senior fakultas.
Masuk petang, Oky mulai merasa ada yang aneh karena senior meminta mahasiswa baru keluar tenda. Oky tak menuruti karena situasi saat itu hujan. Dalih senior, kata Oky, untuk menguji kebersamaan seangkatan.

Dari situ, dia mulai sedikit paham bahwa kegiatan ini bukan latihan kepemimpinan, melainkan ospek di luar kampus. Mereka yang memilih bertahan di dalam tenda dihampiri senior seraya diteriaki. “Saat saya kritik perbuatan mereka, saya ditampar,” ujar dia.
Hari berikutnya kian menjadi momok. Oky dan para mahasiswa baru lain diarahkan menelusuri jalan setapak. Mereka mesti berhenti di setiap pos yang berisi senior dan alumni. Di satu pos, mereka dites ingatannya soal sumpah mahasiswa. Tapi, di pos lain maba diminta melakukan hal tak wajar seperti mengunyah permen bekas mulut ke mulut hingga berguling di tanah.
“Lalu pos berakhir ke daerah sungai, di situ kita mulai dibotakin. Tanpa ada concern dan meminta persetujuan kita mau dicukur atau tidak,” ucap Oky.
Setelah dua hari mengikuti ospek berkedok latihan kepemimpinan itu, Oky merasa tak mendapat apa-apa selain letih dan kepala yang gundul. Dia pulang tanpa mengetahui esensi soal apa itu budaya kampus sampai literasi akademis.
“Yang ada senioritas. Mereka menganggap lebih tahu sehingga bisa bersikap sewenang-wenang kepada junior. Sama sekali enggak berarti untuk pengembangan diri,” ucap Oky mengingat kejadian lampau itu.
Ospek Berlandaskan Kekerasan Kontradiktif dengan Pembentukan Intelektual
Peneliti sosiologi pendidikan dari BRIN, Anggi Afriansyah mengatakan ospek kerap menjadi ruang bagi senior dan alumni menunjukan kekuasaan baik secara simbolik maupun praktikal.
Relasi kekuasaan antara senior dan junior ini yang melanggengkan kultur ospek sarat kekerasan, alih-alih membentuk nalar akademis. “Enggak mungkin kekerasan membentuk intelektualitas,” kata dia kepada Tirto, Kamis (26/9/2025).
Anggi menjelaskan musabab langgengnya kekerasan pada ospek merupakan akumulasi kultur yang diwariskan. Sejumlah dalih mulai dari kebersamaan sampai pendisiplinan dipakai senior maupun alumni untuk menerangkan realitas bahwa kehidupan itu keras.
Tapi, dalam level terendah, kekerasan yang dilakukan senior maupun alumni hanya demi kepuasan diri mendikte dan mengontrol junior. Anggi menekankan nilai kekerasan selalu diproduksi tanpa koreksi. “Jadi internalisasi nilai (kekerasan) diwarisi dari ucapan senior, dari cerita-cerita yang dibangun 'abang-abangan',” ujarnya.
Anggi menyoroti trauma setiap angkatan yang terlibat kekerasan juga menjadi pemicu budaya ini selalu berulang. Sehingga tak jarang dosen yang diharapkan menjadi pendulum justru bersikap permisif. Ini lantaran ingatan kolektif sebagai pelaku sejarah yang merasakan kultur kekerasan semasa mahasiswa.
“Kasus di Unsri menjadi contoh kampus masih belum siap memposisikan kampus sebagai kawah candradimuka (tempat penggemblengan diri pribadi) penguatan intelektual,” ucapnya.
Kata Anggi, ruang kekerasan di kampus melalui ospek selalu menemukan celah. Ketika kampus melarang kegiatan ospek yang berbau perundungan, organisasi kemahasiswaan yang terdoktrin mengalihkan kegiatannya di luar kampus.
Regulasi Kekerasan di Kampus Masih Lemah
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mewanti-wanti perilaku pembiaran oleh rektorat yang mengakibatkan kultur kekerasan di kampus, termasuk saat ospek menjadi berlangsung. Sistem yang terbangun di kampus belum sepenuhnya berniat mengikis budaya kekerasan.
“Ketika ada aturan tapi tidak ditegakkan itu kan namanya pembiaran dan kesengajaan. Sejauh mana kampus tegas pada pencegahan kekerasan,” kata Ubaid kepada Tirto, Kamis (25/9/2025).
Ubaid menekankan regulasi yang menjadi acuan bagi kampus pun masih bersifat terbatas. Dia merujuk hanya ada satu aturan yang spesifik soal larangan kekerasan di perguruan tinggi. Itu pun baru ada baru-baru ini.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 55 tah 2024 tentang Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi yang dimaksud. Poin pencegahan tindakan sewenang-wenang di lingkungan pendidikan tertinggi tertuang dalam Pasal 1, yang berbunyi, setiap kampus mesti memiliki satuan tugas anti kekerasan.
“Mencegah kekerasan kampus harus jadi indikator kualitas kampus, indikator akreditasi kampus. Penilaian soal komitmen dan konkret penegakan anti-kekerasan harus jadi utama,” lanjutnya.
Sudah saatnya, kata dia, kampus dikembalikan ke jalurnya sesuai nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendekatan ospek yang berbasis penalaran akademis dan membangun nilai empati serta analitik mesti dilakoni. Kampus bukan cuma sibuk mengejar akreditasi dan peringkat, tapi lebih dari itu.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































